Tri Mutualisme: Antara Pendidikan Berkualitas, SDM Unggul, dan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan | Paradigma Bintang

Tri Mutualisme: Antara Pendidikan Berkualitas, SDM Unggul, dan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Salah satu pilar penting dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Sidang Umum PBB pada September 2015 adalah terwujudnya pendidikan berkualitas (quality education). Sebagai sebuah bangsa berdaulat yang memiliki visi menjadi negara maju, konstitusi Indonesia sejatinya telah mengatur secara tegas bahwa 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara harus dibelanjakan untuk sektor pendidikan. Sayangnya, hal tersebut hanya sampai di level penganggaran (budgeting), DPR RI selaku pemegang kuasa penganggaran secara formal memang mengalokasikan 20 persen belanja negara untuk sektor pendidikan. Namun dalam praktiknya, anggaran pendidikan yang telah disusun DPR tersebut terdistribusi ke banyak Kementerian/Lembaga alias tidak fokus dikelola oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi selaku leading sector yang bertanggungjawab atas maju mundurnya pendidikan Indonesia.

Sebagai contoh, menurut data tahun anggaran 2024 sebagaimana dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada Mei 2024 lalu, terkuak fakta bahwa dari dana anggaran pendidikan sebesar Rp665,02 triliun, Kemendikbudristek hanya mengelola 15 persen saja dari anggaran fungsi pendidikan yaitu sejumlah 98,99 triliun. Selebihnya sebanyak RRp341,56 triliun atau 52 persen untuk dana transfer ke daerah dan dana desa, sebanyak Rp77 triliun atau 12 persen untuk pengeluaran pembiayaan, sebanyak Rp62,3 triliun untuk Kementerian Agama, 32,85 triliun atau 5 persen untuk Kementerian/lembaga lainnya, sebanyak Rp47,31 triliun atau 7 persen digunakan untuk belanja pendidikan non Kementerian/lembaga.

Sumber gambar: kemenkopmk.go.id

Fakta ini setidaknya dapat memberikan pemahaman bahwa ternyata  anggaran pendidikan Indonesia secara nominal cukup besar, namun, dalam pelaksanaannya yang murni dikelola untuk sektor pendidikan Pendidikan Anak Usia dini, Pendidikan Dasar dan Menengah hingga Pendidikan Tinggi  di bawah naungan Kemendikbudristek hanya sebagiannya saja (15 persen dari total anggaran pendidikan) alias tidak sepenuhnya dikelola oleh Kemendikbudristek. Dampak dari adanya kebijakan ini, seringkali Kemendikbudristek merasa kekurangan anggaran dalam mengeksekusi program-program pemajuan pendidikan Indonesia dan bahkan terkadang harus mengambil kebijakan tidak populis seperti menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mensiasati beban defisit anggaran pendidikan. Sebuah kondisi faktual yang mesti dipahami dengan baik oleh siapa pun anak bangsa agar persoalan ini kemudian mendapat solusi bijak. Apakah formula seperti ini perlu dipertahankan atau bagaimana baiknya? Dalam pandangan penulis, alangkah lebih ideal jika anggaran pendidikan seutuhnya dikelola oleh Kemendikbudristek. Namun, rasanya idealisme ini tidak akan terwujud karena sektor pendidikan rupanya tidak hanya menjadi tanggung jawab mutlak Kemendikbudristek, melainkan juga menjadi ranah kementerian-kementerian lain.

Sepanjang lima tahun terakhir, penulis mengamati pemerintah sejatinya telah melakukan banyak lompatan  besar dalam mengakselerasi transformasi pendidikan Indonesia dari yang sebelumnya terkesan jalan di tempat, tertinggal jauh dbanding kualitas pendidikan negara tetangga menjadi kian mengejar dan semakin mengejar. Beberapa gebrakan positif seperti program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), pemberlakuan Kurikulum Merdeka yang menekankan pada literasi, numerasi, penguatan karakter dan memberikan kemerdekaan sejati bagi siswa-siswi Indonesia untuk belajar mengeksplor diri sesuai minat dan kecendrungannya berkorelasi positif terhadap membaiknya pencapaian pendidikan Indonesia jika diilihat dari alat ukur internasional seperti Program for International Student Assessment (PISA). Wujudnya, peringkat PISA Indonesia di tahun 2022 berada di posisi 66 dari 81 negara naik 5 peringkat jika dibandingkan dari peringkat Indonesia pada PISA 2018 yang berada di posisi 72 dari 79 negara.

Di balik membaiknya peringkat PISA Indonesia, ada pekerjaan rumah besar yang mesti dituntaskan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tanpa terkecuali. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, terdapat 9,9 juta generasi Z (usia 15-24 tahun) yang menganggur alias tidak sedang mengikuti pendidikan, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan. Kondisi ini tampak anomali dengan semangat pemerintah yang ingin menjadikan penduduk usia produktif bisa berdaya saing dan siap menyongsong masa depan Indonesia dengan segudang kreativitas positif. Selain itu, rilis data Dirjen Dukcapil Kemendagri tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah rasio warga negara Indonesia yang mengenyam pendidikan S2─S3 dari jumlah total penduduk produktif usia 15-64 tahun sekitar 0,45 persen atau jika dilihat angkanya berdasarkan data Dirjen Dukcapil Kemendagri tahun 2022, warga Indonesia lulusan S2 sebanyak 855.757 orang (0,31 persen) dan warga Indonesia lulusan S3 sebanyak 61.271 orang (0,02 persen).

Realitas ini memperlihatkan dengan gamblang bahwa SDM Indonesia jika dilihat dari indikator jumlah warga berpendidikan magister dan doktoral sangatlah memperihatinkan apalagi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia, Vietnam di mana rasio penduduk mereka yang berpendidikan S2─S3 sudah berada di angka 2,43 persen. Untuk menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen, maka Indonesia harus memiliki SDM terampil, berpengetahuan, dan berpendidikan tinggi. Ketertinggalan Indonesia dari sisi SDM berkualifikasi pendidikan S2─S3 dan banyaknya angka pengangguran usia produktif harus disikapi dengan serius oleh negara agar visi presiden terpilih Prabowo Subianto yang bertekad ingin membawa perekonomian Indonesia tumbuh sampai 8 persen dalam tiga tahun masa kepemimpinanannya dapat terwujud.

Tidak ada cara lain bagi Indonesia untuk menumbuhkan ekonomi nasional setara dengan pertumbuhan ekonomi negara maju kecuali menggeber pembangunan sumber daya manusia secara besar-besaran. Pendidikan dan pelatihan menjadi kunci penting kemajuan ekonomi Indonesia. Dengan pendidikan dan pelatihan, manusia Indonesia menjadi terdidik, berpengetahuan, memiliki kecakapan hidup, dan berpendapatan layak.

Tanpa pendidikan dan pelatihan yang baik, tanpa kualitas sumber daya manusia yang unggul, mustahil Indonesia bisa menaikkan angka pertumbuhan ekonomi setinggi garuda terbang. Maka mengirim banyak anak bangsa sebanyak mungkin untuk belajar jenjang magister dan doktoral baik di dalam dan luar negeri adalah keniscayaan demi kemajuan Indonesia. Sejauh ini, negara sudah memiliki Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang bertanggung jawab memberikan beasiswa kuliah S2─S3 bagi warga negara Indonesia yang terseleksi. Hanya saja, kuotanya masih terbatas.

Penulis berharap jatah beasiswa LPDP perlu terus ditambah dan diperbanyak agar SDM Indonesia semakin kompetitif. Semakin banyak warga Indonesia yang menjadi master dan doktor maka semakin terbuka peluang kemajuan ekonomi Indonesia. Selain mendorong warga menempuh pendidikan tinggi jenjang magister dan doktor melalui LPDP, negara juga mesti berani memberikan pelatihan-pelatihan yang memberikan dampak terukur untuk warga produktif berdasarkan minat mereka sehingga mereka dapat terserap sektor industri sehiingga angka pengangguran terbuka dapat berkurang. Program link and match pada pelajar SMK melalui program SMK Pusat Keunggulan, Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) dan mahasiswa perguruan tinggi melalui Program Magang dan Studi Independen Kampus Merdeka yang selama ini telah berjalan harus lebih digalakkan dan diperluas lagi. Kemendikbudristek dengan segala inisiatif baiknya harus diapresiasi dan dapat diadopsi oleh instansi lain seperti Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Sosial dalam hal memberdayakan kaum tunakarya melalui fasilitasi program-program pelatihan yang membukakan akses pada keahlian, keterampilan, dan kemandirian.

Kemajuan ekonomi hanya akan tercapai jika SDM suatu negara berkualitas, terampil dan merata. Kita harapkan 5─10 mendatang, rasio jumlah penduduk Indonesia yang berpendidikan S2─S3 dengan jumlah penduduk usia produktif berada di atas angka 1 persen, Syukur-syukur bisa mencapai 2 persen. Penulis juga berharap, beberapa tahun mendatang lahir manusia-manusia Indonesia yang terampil, berdaya saing, dan mandiri. Penulis meyakini jika ini terjadi, maka dampaknya akan sangat dahsyat terhadap masa depan ekonomi Indonesia. Apalagi pada tahun 2030 Indonesia akan memasuki puncak bonus demografi di mana jumlah penduduk usia produktif (15─64 tahun) menjadi mayoritas dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Penulis meyakini keberadaan SDM-SDM berpendidikan dan terampil yang telah difasilitasi oleh negara tersebut akan dapat berperan aktif dalam memberikan kontribusi keahlian mereka dalam upaya membangun kejayaan bangsa utamanya di sektor ekonomi, pendidikan, sosial dan sebagainya. Negara tidak perlu ragu untuk berinvestasi secara masif di bidang pembangunan manusia. Apalagi dalam visi Indonesia Emas 2045 tertulis dengan jelas bahwa pilar-pilarnya adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan. Untuk mengeksekusi empat pilar tersebut, negara mutlak membutuhkan tenaga manusia terampil, kompeten, dan berkarakter.

Adapun terkait sektor pembangunan ekonomi berkelanjutan, adanya SDM berpendidikan S2─S3 dalam hemat penulis akan sangat membantu mempercepat terwujudnya target di bidang tersebut. Apalagi pemerintah Indonesia selama beberapa waktu terakhir telah menginisiasi pelaksanaan program hilirisasi dan industrialisasi komoditas dalam negeri guna menghasilkan nilai tambah produk.

SDM-SDM berkualitas yang terbentuk atas bantuan negara dapat diberdayakan untuk berperan serta mengkreasi harapan negara tersebut baik dengan melakukan inovasi, membuka lapangan pekerjaan baru, dan memberikan daya dukung positif lain bagi terciptanya pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan. Kehadiran SDM-SDM berkualitas akan sangat menopang target pertumbuhan ekonomi bangsa tanpa harus mengabaikan kelestarian lingkungan. Tantangan terbesar pembangunan ekonomi Indonesia yang dewasa ini menyasar pada hiliriisasi barang-barang ekstraktif pertambangan seperti nikel, bauksit, litium, emas, dan barang tambang lainnya adalah kelestarian lingkungan dan alam sekitar.

Semakin ditambang, sumber daya alam memang mendatangkan keuntungan ekonomi, memutus pengangguran, menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi kemiskinan. Namun jika aktivitas ekonomi pertambangan dilakukan secara membabi buta tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang akan ditimbulkan, maka dampaknya sangat merusak sehingga aktivitas pembangunan ekonominya tidak berkelanjutan karena targetnya hanya jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa memikirkan kebutuhan generasi mendatang.  Menyadari akan hal ini, hemat penulis, jika negara sudah memiliki banyak SDM berkualitas yang dicetak dengan uang negara maka negara mesti memberdayakan mereka untuk memastikan aktivitas pembangunan ekonomi Indonesia di satu sisi berjalan sesuai rencana dan di sisi lain alam serta lingkungan tetap terjaga nan lestari.

Negara jangan sampai anti-intelektual, libatkan para insan terdidik yang dibiayai negara tersebut untuk sebesar-sebesarnya kepentingan negara. Dengarkan setiap saran dan masukan mereka sehingga secara ekonomi Indonesia tumbuh dan secara lingkungan tetap terlindungi. Dengan begitu, semua pihak dimenangkan, generasi masa kini diuntungkan dengan tumbuh pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan generasi mendatang juga diutungkan karena kekayaan alam dan kelestarian lingkungan tetap terjaga. Semoga!


0 Response to "Tri Mutualisme: Antara Pendidikan Berkualitas, SDM Unggul, dan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan"

Post a Comment