Drama Pilkada Serentak 2024 dan Ironi Anies Baswedan | Paradigma Bintang

Drama Pilkada Serentak 2024 dan Ironi Anies Baswedan

Tahapan pemilu kepala daerah serentak (Pilkada) yang akan berlangsung pada 27 November 2024 secara resmi telah ditutup pada 29 Agustus 2024. Beberapa kejutan terjadi sepanjang waktu pra pendaftaran, masa pendaftaran hingga detik-detik menjelang penutupan pendaftaran bakal calon kandidat kepala daerah. Sebut saja, tujuh hari sebelum pendaftaran Pilkada Serentak 2024 dibuka, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan besar dengan mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menetapkan syarat minimal pendaftaran bakal calon kepala daerah yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik sama dengan syarat pencalonan jalur independen atau perseorangan.

Drama Pilkada Serentak 2024 dan Ironi Anies Baswedan
Sumber: ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

MK juga mengeluarkan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batasan usia kandidat calon boleh mendaftar Pilkada Kabupaten/Kota/Provinsi 2024. Melalui putusan MK tersebut, peta politik Pilkada 2024 berubah 180 derajat. Partai politik yang sebelumnya terancam tidak dapat mencalonkan kader atau tokoh jagoannya akibat tidak memenuhi syarat pendaftaran harus memiliki 20 persen kursi legislatif di DPRD— dengan adanya putusan MK, partai politik atau gabungan partai politik baik yang memiliki kursi di parlemen atau nonparlemen bisa dengan mudah mencalonkan kader atau siapa pun yang akan mereka usung di kontestasi Pilkada 2024.

Penurunan ambang batas syarat pencalonan kepala derah oleh MK menjadi setara dengan syarat pencalonan perseorangan— di mana syarat minimal partai politik atau gabungan partai politik untuk mendaftarkan kandidat kepala daerah wajib memiliki 6,5—10 persen perolehan suara sah di pemilu legislatif—menutup celah terjadinya calon tunggal di suatu daerah akibat menumpuknya gabungan partai politik dalam satu poros politik besar guna mendukung kandidat tertentu dan menghindari kandidat atau poros politik tertentu. Putusan  MK ini tak pelak menjadi angin segar bagi partai politik menengah ke bawah utamanya bagi partai politik nonparlemen yang tidak memiliki kursi legislatif.

Mereka dapat mengusung calon di Pilkada 2024 sepanjang suara sah mereka atau gabungan suara sah mereka memenuhi syarat minimal pencalonan yaitu 6,5 persen. Mereka dapat mencalonkan kandidat terbaik mereka baik secara mandiri atau dengan berkoaliasi dengan partai politik lain. Putusan MK ini harus diakui membuat demokrasi Indonesia semakin sehat meski sebelumnya putusan tersebut sempat terancam akibat gerak cepat anggota komisi II DPR RI yang ingin merevisi UU Pilkada tanpa mengikuti amar putusan MK.  

Dampak lain dari keluarnya putusan MK di atas adalah batalnya rencana Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Jokowi yang sebelumnya berambisi akan maju sebagai calon wakil gubernur di Pilkada Jateng 2024. Ia tidak dapat maju karena terhalang aturan batas minimal usia 30 tahun bagi warga negara Indonesia yang ingin mendaftar sebagai kandidat calon gubernur/calon wakil gubernur. Usianya saat akan mendaftar Pilkada Jateng belum genap 30 tahun.

Dan di antara ratusan Pilkada serentak yang menurut jadwal akan diselenggarakan pada 27 November 2024, Pilkada DKI Jakarta menjadi seksi dan menarik untuk diperbincangkan. Magnet politik di Pilkada DKI 2024 begitu menyita perhatian publik. Teka-teki tentang siapa kandidat tokoh yang akan bertarung baru dapat terjawab menjelang pendaftaran bahkan menjelang penutupan pendaftaran. Tokoh populer dan memiliki peluang keterpilihan paling tinggi seperti mantan gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sekalipun pada akhirnya terlempar dari peta persaingan Pilkada DKI Jakarta 2024. Anies tidak mendapatkan tiket dukungan partai politik untuk mengikuti kontestasi Pilkada DKI 2024 sehingga harapannya untuk kembali memimpin DKI Jakarta lima tahun mendatang (2024—2029) harus dikubur dalam-dalam. Anies Baswedan yang semula akan didukung oleh tiga partai pengusungnya di Pilpres 2024 (Nasdem, PKS, PKB) rupanya ditinggal sendirian. Tiga partai tersebut balik kanan lalu putar haluan mendukung Ridwan Kamil yang sebelumnya telah mengantongi dukungan dari partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) beranggotakan Partai Gerindra, Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PSI Gelora, PBB. Prima, Garuda, Perindo, PKN. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2024, praktis hanya tersisa PDI-P, partai parlemen yang tidak tergabung dalam poros KIM..

Sebelum keluarnya putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, PDI-P tidak memenuhi syarat mengusung kandidat calon jagoan mereka karena perolahan kursi legislatif mereka di DPRD DKI Jakarta hanya sebatas 15 kursi sementara jika mengikuti undang-undang dan peraturan KPU lama, partai politik harus memiliki minimal 22 kursi DPRD atau 20 persen kursi DPRD untuk mengusung pasanan calon kepala daerah. Dengan adanya putusan MK yang mengubah syarat pencalonan di Pilkada 2024 berdasarkan perolehan suara sah minimal 6,5 persen, PDI-P DKI Jakarta yang pada Pemilu Legilatif 2024 memperoleh 850.196 suara/14.01 persen suara dapat mengusung calonnya secara mandiri tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain yang sebelumnya dengan kasat mata telah membentuk koalisi raksasa mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono seraya berharap PDI-P tidak dapat berpartisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta 2024.

Hidupnya kartu politik PDI-P untuk berpartisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 ini kemudian membuat Anies Baswedan mendekat. Anies yang sebelumnya telah ditinggalkan oleh Nasdem, PKS, dan PKB melakukan manuver politik dengan mendekati partai berideologikan nasionalis tersebut. Penjajakan, komunikasi politik, hingga safari politik dengan menemui tokoh-tokoh politik PDI-P dan mengunjungi kantor DPP PDI-P telah Anies lakukan guna mendapat dukungan politik dari PDI-P agar ia dapat maju di Pilkada DKI Jakarta 2024. Sayangnya, hingga hari terakhir pendaftaran, Anies Baswedan tak kunjung mendapat rekomendasi pencalonan untuk diusung menjadi bakal calon gubernur DKI 2024-2029 dari PDI-P.

Ketua Umum PDI-P, Megawati Sukarnoputri malah menunjuk Pramono Anung-Rano Karno untuk maju di Pilkada DKI Jakarta 2024. Pertanyaannya, mengapa Anies Baswedan yang menurut temuan survei elektoral Litbang Kompas Juni 2024 angka elektabilitasnya 29,8 persen alias paling tinggi di antara tokoh-tokoh lainnya, namun, pada akhirnya tidak ada partai politik yang berminat menacalonkannya di Pilkada DKI Jakarta 2024? Jawabannya, mereka para partai politik merasa tidak satu visi dengan Anies. Jika dilihat dari perspektif PDI-P, partai piminan Megawati tersebut urung mencalonkan Anies karena secara ideologi merasa tidak ada kecocokan dengan Anies selain juga faktor masa lalu seperti preseden pengalaman Pilkada DKI 2017 di mana pada waktu itu pasangan Ahok-Djarot yang diusung PDI-P dikalahkan Anies-Sandi dengan segala kontroversinya.

Posisi Anies yang bukan kader PDI-P lalu tiba-tiba datang mendekat untuk didukung maju di kontestasi politik DKI Jakarta secara logika akal sehat tentu akan mengejutkan PDI-P terlebih bagi Megawati, sang Ketua Umum yang pada pertemuan terbuka menyampaikan bahwa ia kaget mendapat desakan agar PDI-P mendukung Anies di Pilkada DKI 2024. Meski begitu, Megawati melempar syarat PDI-P terbuka kemungkinan akan mendukung Anies jika Anies bersedia nurut alias patuh terhadap apa yang menjadi ideologi dan garis perjuangan politik PDI-P. Sayangnya, hingga detik-detik akhir pendaftaran, baik Anies maupun PDI-P tidak menunjukkan adanya titik temu atau mufakat bersama sehingga pada akhirnya PDI-P pun memutuskan untuk mengusung kader sendiri yaitu Pramono-Rano untuk dicalonkan dalam Pilkada DKI Jakarta 2024.

Sementara jika dilihat dari perspektif Koalisi Indonesia Maju (KIM), mereka enggan mendukung Anies Baswedan karena secara idealisme politik mereka seperti minyak dan air, sukar dipertemukan. Idealisme Anies yang konsisten dengan narasi besar perubahan dan sangat berhasrat untuk merombak besar-besaran kebijakan-kebijakan politik negara yang telah berjalan berlawanan dengan idealisme dan kerja-kerja politik yang sedang dilakukan pemerintah saat ini. Tidak mengejutkan jika partai koalisi yang tergabung dalam KIM dan menjadi proksi pemerintah berupaya keras untuk menjadikan Pilkada DKI Jakarta tanpa keikutsertaan Anies dengan misal menarik tiga partai politik pengusung Anies di Pilpres 2024 menjadi bagian dari KIM untuk mensukseskan pencalonan Ridwan Kamil-Suswono sebagai calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta 2024-2029. Mereka merasa lebih nyaman bekerja sama dengan sosok yang dianggap memiliki kesamaan visi politik dalam melaksanakaan agenda pembangunan nasional di tahun-tahun mendatang daripada bekerja bersama orang yang secara visi politik berseberangan.

0 Response to "Drama Pilkada Serentak 2024 dan Ironi Anies Baswedan"

Post a Comment