Salah satu penanda berakhirnya Perang Dingin selain runtuhnya Uni Soviet adalah bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur. Proses reunifikasi Jerman awal mulanya ditandai dengan pembukaan Tembok Berlin yang memisahkan dua Jerman tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengungkap fakta sejarah yang jarang diketahui publik terkait dengan ibu kota dua Jerman (Barat dan Timur) setelah mereka resmi bersatu.
Jerman yang saat ini kita saksikan bersama dulunya pernah terbelah menjadi dua, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur. Hal ini terjadi karena Jerman kalah dari Sekutu dalam Perang Dunia II. Kekalahan Jerman memaksa negeri panser tersebut harus bertekuk lutut pada negara-negara Sekutu seperti Uni Soviet, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat. Tiga negara Sekutu (Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet) sebagai pemenang PD II lalu sepakat mengadakan Perjanjian Postdam yang berlangsung dari 17 Juli hingga 2 Agustus 1945 dan menghasilkan salah satu keputusan penting, yaitu mereka sepakat membagi wilayah kekuasaan Jerman menjadi empat zona. Masing-masing negara Sekutu seperti Uni Soviet, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat mendapatkan kuasa mengontrol satu zona wilayah Jerman. Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris menguasai 2/3 Jerman bagian barat. Sementara Uni Soviet menguasai 1/3 Jerman bagian timur.
![]() |
Sumber: Britannica |
Seiring dengan
berkecamuknya Perang Dingin antara Blok Barat yang melibatkan Amerika Serikat
dan negara aliansinya melawan Blok Timur yang melibatkan Uni Soviet dan negara
aliansinya, maka pembagian empat zona penguasaan wilayah di Jerman kemudian
menjadi dua (Barat dan Timur). Hal ini karena Inggris dan Amerika Serikat
menyatukan zona penguasaannya di Jerman Barat disusul kemudian oleh Prancis. Puncaknya, pada 23 Mei
tahun 1949, Jerman Barat yang bernama Republik Federal Jerman dideklarasikan oleh AS, Inggris,
dan Prancis sebagai negara baru dengan ideologi liberal sebagai haluannya.
Merespon hal tersebut, pada 7 Oktober 1949, Uni Soviet lalu mendirikan Jerman
Timur dengan nama Republik Demokratik Jerman dengan ideologi komunis
sebagai haluannya. Kedua negara lalu hidup normal sebagai negara berdaulat yang
tunduk pada konstitusi masing-masing. Masalah serius muncul ketika Jerman Timur
merasa dirugikan karena banyaknya warga mereka yang bermigrasi ke Jerman Barat.
Berdasarkan data, sepanjang tahun 1949—1961 sebanyak 2,7 juta
warga Jerman Timur melarikan diri ke Jerman Barat. Hal ini dipandang Jerman
Timur merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup ekonomi mereka sebagai suatu
entitas negara sehingga mereka memutuskan untuk membangun tembok pemisah yang
dapat menahan kaburnya warga Jerman Timur ke Jerman Barat.
Dalam perkembangannya,
Jerman Barat dan Jerman Timur kemudian benar-benar terpisah secara fisik dengan
dibangunnya tembok pembatas setinggi 15 kaki atau 5 meter dan mulai beroperasi
pada 13 Agustus 1961. Tembok ini dikenal dengan nama Tembok Berlin
yang secara resmi memisahkan dua negara satu bangsa tersebut. 27 tahun kemudian
tembok pemisah itu akhirnya runtuh. Seiring dengan terjadinya krisis sosial,
ekonomi, dan politik yang melanda Jerman Timur pada tahun 1989 membuat negara
bentukan Uni Soviet tersebut riskan dan tidak stabil. Kondisi nelangsa inilah
yang kemudian menjadi pembuka terwujudnya integrasi dua Jerman yang sebelumnya
saling terpisah.
Alhasil, Jerman Barat dan Jerman Timur lalu bersatu menjadi Republik Federal Jerman setelah momentum dibukanya Tembok Berlin pada 9 November 1989 oleh pemerintah Jerman Timur. Sebulan sebelumnya, Eropa Timur dilanda gelombang aksi demokratisasi termasuk di dalamnya demonstrasi massa dalam skala besar di Jerman Timur yang menuntut agar rezim komunis di negara tersebut mundur. Misi tersebut berhasil, Tembok Berlin benar-benar dibuka oleh otoritas Jerman Timur yang memungkinkan warga Jerman Barat dan Jerman Timur bebas bepergian tanpa perlu ribet seperti sebelumnya yang harus menghadapi banyak kekangan. Dibukanya Tembok Berlin kemudian ditindaklanjuti dengan adanya pemilu perdana di Jerman Timur pada 18 Maret 1990 dan menghasilkan kekuatan koalisi politik yang terdiri dari Partai Sosialis Demokrat dan Partai Liberal. Mereka lalu menunjuk Lothar de Maiziere, seorang Ketua Partai Persatuan Demokratik Kristen sebagai Perdana Menteri Jerman Timur. Setelah koaliasi terbentuk, mereka para wakil rakyat terpilih kemudian diberi tugas untuk melakukan perundingan dengan pihak Jerman Barat tentang kemungkinan penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur.
Setelah negosiasi dengan Jerman Barat dilakukan, berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Jerman Barat, Republik Demokratik Jerman dijamin secara konstitusional untuk memasuki Republik Federal Jerman. Mereka lau merundingkan tentang sinkronisasi aspek internal dan eksternal penyatuan Jerman, khususnya terakit partisipasi empat kekuatan (Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Uni Soviet).
Adapun masalah internal penyatuan Jerman yang sempat menjadi polemik adalah terkait penggunaan mata uang dan nilai tukar uang. Syarat yang diajukan untuk terwujudnya integrasi oleh koalisi politik Jerman Timur adalah kurs 1:1. Hal ini bertentangan dengan syarat kurs 2:1 yang diajukan Bundesbank Jerman Barat. Pada waktu itu, de Maiziere menyampaikan bahwa jika usulan terkait kurs ini ditolak akan memicu terjadinya arus pengungsi baru dari Jerman Timur ke Jerman Barat. Terlepas dari keberatan Bundesbank, koalisi Jerman Barat lalu memutuskan pada 23 April 1990 dengan menawarkan tingkat konversi mata uang 1 : 1 kepada otoritas Jerman Timur untuk penghematan hingga 4,000 Marks.
Setelah masalah internal dan keputusan koalisi untuk menyatukan Jerman Timur di bawah Pasal 23 Undang-Undang Dasar Jerman Barat mencapai sepakat, masalah baru terkait dilema status keamanan Jerman bersatu muncul dan menjadi perhatian bersama. Hal ini karena Jerman Barat sebelumnya menjadi anggota aliansi pertahanan NATO. Muncul kekhawatiran dan perdebatan apakah setelah Jerman Timur bersatu menjadi Republik Federal Jerman nantinya keberadaan NATO tetap dipertahankan atau bagaimana tindak lanjutnya? Pada awalnya, Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev merasa lebih nyaman Jerman Timur tidak menjadi anggota NATO. Masalah pertahanan terkait keberadaan NATO ini memakan waktu yang cukup alot untuk diputuskan jalan keluarnya.
Perundingan dua negara plus empat (Menteri Luar Negeri Jerman Timur dan Barat dan empat kekuatan sekutu utama yang menang dalam Perang Dunia II - Prancis, Uni Soviet, Inggris dan Amerika Serikat, Uni Soviet) yang berlangsung pada 5 Mei 1990, mengusulkan adanya pemisahan aspek internal dan eksternal penyatuan Jerman dengan harapan aspek internal dapat diselesaikan dengan cepat dan memungkinkan status keamanan Jerman diselesaikan selama beberapa tahun kemudian. Usul ini awalnya disambut baik oleh Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl. Namun, proposal tersebut kemudian ditolak dengan alasan bahwa selama lebih dari periode transisi yang singkat, kehadiran pasukan Soviet yang berjumlah 380.000 di Jerman Timur dinilai melanggar kedaulatan negara. Ia juga menekankan bahwa keanggotaan Jerman di NATO harus diklarifikasi sebelum integrasi terjadi. Pada 17 Mei 1990, Kohl menerima dukungan tanpa syarat dari Presiden Bush bahwa setelah bersatu, Republik Federal Jerman dapat menikmati kedaulatan penuh. Presiden AS tersebut menyampaikan bahwa Jerman harus memutuskan hubungan keamanannya sendiri tanpa kendala eksternal dan memiliki kuasa penuh atas wilayahnya sendiri. Pada hari yang sama, Uni Soviet mengumumkan penangguhan penarikan pasukan sepihak dari Jerman Timur. Inilah dinamika yang terjadi dalam proses penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur.
Sikap Uni Soviet yang cenderung berat terkait keberadaan NATO ini dapat dipahami sebagai rasa ketidakamanan dan wujud trauma Uni Soviet akibat sikap agresif Jerman yang cenderung ofensif, suka berperang dan menimbulkan kehancuran di wilayah Soviet. Karena itu, keanggotaan Jerman setelah resmi bersatu dalam pakta pertahanan NATO tetap dipandang Soviet sebagai ancaman yang berbahaya. Lebih jauh, dalam sebuah wawancara dengan majalah Time, Mikhail Gorbacehv menyatakan bahwa NATO adalah organisasi yang dirancang sejak awal untuk memusuhi Uni Soviet, mengobarkan perlombaan senjata dan bahaya perang.Presiden Uni Soviet tersebut pada dasarnya menerima penyatuan Jerman sebagai hal yang tak terelakkan, menyebutnya sebagai hak alamiah bangsa Jerman.Namun, ia juga mengingatkan Jerman, bahwa penyatuan dua Jerman tidak hanya menyangkut mereka. Hal tersebut juga menyangkut kepentingan vital banyak negara di Eropa, termasuk Uni Soviet yang mengorbankan lebih dari siapa pun untuk memastikan bahwa perang tidak akan pernah lagi datang dari wilayah Jerman. Inilah kegelisahan Uni Soviet terkait rencana keanggotaan Jerman dalam NATO.
Di luar dugaan, pada 16 Juli 1990, Helmut Kohl dan Mikhail Gorbachev menyepakati hal penting terkait keanggotaan Jerman dalam aliansi NATO. Keduanya sepakat bahwa Jerman dapat memutuskan secara bebas dan mandiri terkait aliansi atau blok mana yang diinginkan Jerman nantinya. Ini artinya, Uni Soviet setuju dengan masa depan Jerman yang akan bergabung dengan NATO. Secara lebih spesifik, poin-poin Kesepakatan Gorbachev-Kohl adalah sebagai berikut.
1.
Jerman bebas memilih
aliansi militer setelah proses penyatuan.
2. Tidak ada pasukan NATO di
wilayah Jerman Timur, atau struktur NATO yang diperluas ke wilayah itu,
sementara pasukan Soviet tetap ada.
3. Uni Soviet berharap tidak
ada pasukan NATO yang akan ditahan di Jerman Timur setelah penarikan
pasukannya.
4. Perjanjian Sekutu empat
kekuatan di Jerman harus berhenti setelah penyatuan dua Jerman.
5. Uni Soviet dan Republik
Federal Jerman menandatangani perjanjian penarikan pasukan Soviet dalam 3 atau
4 tahun.
6. Tentara Jerman baru akan
dipotong menjadi 370.000 personel.
7. Tidak ada senjata nuklir, kimia atau biologi di Republik Federal Jerman.
Perubahan radikal dalam keputusan Gorbachev yang setuju dengan keanggotaan Jerman dalam NATO ini merupakan buah dari pendekatan para pemimpin NATO kepadanya di KTT London pada 5—6 Juli 1990. KTT tersebut diakhiri dengan deklarasi yang secara efektif meresmikan akhir Perang Dingin dengan mendefinisikan ulang strategi militer dan tujuan politik organisasi. Bahwa penggunaan senjata nuklir hanya akan dilakukan sebagai upaya terakhir. Penyelesaian konflik akan ditempuh melalui peran Konferensi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (CSCE) untuk memainkan peran yang lebih kuat dalam penyelesaian konflik di antara para anggota.Selain itu, faktor lain yang dihasilkan dari pertemuan tersebut adalah tentang prospek pengurangan angkatan bersenjata Jerman dan 'undangan Pakta Warsawa untuk menandatangani deklarasi bersama dengan NATO tentang nonagresi, sangat membantu meyakinkan Gorbachev dalam pengambilan keputusan mendukung Jerman bergabung dengan NATO.
Di lain sisi, pemerintahan koalisi Jerman Timur pimpinan de Maiziere mengalami krisis politik akibat adanya perbedaan perspektif dalam memandang prosedur penyatuan dan pemilu di seluruh wilayah Jerman yang direncanakan pada 2 Desember 1990. Mereka menginginkan penyatuan Jerman ditunda hingga pemilu digelar. Hal ini didukung oleh Partai Persatuan Demokratik Kristen (CDU) Jerman Timur dan Partai Sosialisme Demokratik Jerman Barat. Sementara Partai Sosial Demokratik (SPD) dan Partai Liberal (FDP) Jerman Timur dan Jerman Barat menghendaki penyatuan Jerman dilakukan sebelum pemilihan dengan tujuan bahwa sistem pemilihan Jerman Barat yang akan digunakan di seluruh Jerman. Lebih lanjut, Partai Liberal lalu menarik diri dari koalisi sebagai protes atas sikap politik de Maiziere.
Pada tanggal 2 Agustus, sebuah kesepakatan mengenai sistem pemilihan dicapai antara pemerintah Jerman Timur dan Jerman Barat, yaitu sistem pemilu Jerman Barat yang akan diterapkan. Selain itu, ada konsesi bahwa setiap pihak dari partai-partai kecil dari Jerman Timur dapat menghubungkan dirinya sendiri ke partai yang lebih besar, dengan catatan pihak-pihak tersebut tidak bersaing satu sama lain di negara Jerman mana pun.45 Kanselir Jerman Barat Helmut Kohl kemudian menjadwalkan tanggal pemilihan umum di seluruh wilayah Jerman pada 2 Desember 1990.
Setelah melalui minggu-minggu yang penuh ketidakpastian mengenai waktu penyatuan, pada tanggal 23 Agustus 1990, Volkskammer atau parlemen Jerman Timur memberikan suara dalam sesi khusus untuk bergabung dengan Republik Federal Jerman pada tanggal 3 Oktober 1990 berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Jerman Barat. Tanggal penyatuan lalu ditetapkan dan perjanjian kedua negara ditandatangani oleh Jerman Timur dan Jerman Barat pada tanggal 31 Agustus 1990.
Pembicaraan lebih lanjut terkait masa depan Jerman berakhir pada 12 September 1990 di Moskow, dengan penandatanganan sebuah perjanjian yang disebut Perjanjian tentang Penyelesaian Akhir di Jerman. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri dari empat negara Sekutu Perang Dunia II dan dua negara Jerman yang mengakui kedaulatan penuh Jerman. Perjanjian ini berisi 10 pasal dan menjadi tonggak bersejarah yang mengakhiri sejarah panjang konflik dua Jerman.Penjelasan singkat tentang sepuluh pasal perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pasal Satu menetapkan
perbatasan Republik Federal Jerman dan perbatasannya dengan Polandia. Jerman
akan menggabungkan wilayah Republik Federal Jerman, Republik Demokratik Jerman
dan seluruh Berlin.
2. Pasal Dua menegaskan
kembali perdamaian Jerman.
3. Pasal Tiga menetapkan
penolakan Jerman atas senjata atom, biologi dan kimia. Pasal ini juga membatasi tentara masa depan untuk seluruh Jerman menjadi
370.000 orang.
5. Pasal Lima menyatakan bahwa
wilayah bekas Republik Demokratik Jerman akan tetap bebas dari pasukan NATO
sampai pasukan Soviet ditarik. Ini juga berisi ketentuan bahwa Sekutu Barat
akan tetap berada di Berlin Barat untuk sementara waktu.
6. Pasal Enam menetapkan bahwa Jerman bebas membuat
keputusan sendiri tentang aliansi apa yang akan dibentuknya.
7. Pasal Tujuh mengatur
pembubaran hak-hak khusus yang disediakan untuk Sekutu di Jerman, dan
memberikan Jerman kedaulatan penuh atas semua urusan internal dan eksternal.
8. Pasal Delapan menyatakan
bahwa perjanjian harus diratifikasi oleh lima kekuatan: Amerika Serikat, Uni
Soviet, Inggris Raya, Prancis, dan Jerman.
9. Pasal Sembilan menetapkan
bahwa perjanjian menjadi sah untuk semua penandatangan ketika mulai berlaku
pada hari ratifikasi.
10. Pasal Sepuluh mengatur bahwa perjanjian yang ditandatangani akan disimpan pada Pemerintah Republik Federal Jerman.
Tahapan penyatuan Jerman lalu dimulai pada tanggal 20 September 1990 ketika Parlemen Jerman Timur (Volkskammer) dan Parlemen Jerman Barat (Bundestag) meloloskan Perjanjian Unifikasi (Second State Treaty) dan menyetujuinya pada hari berikutnya. Seminggu berikutnya, pada tanggal 1 Oktober 1990, empat negara Sekutu dalam PD II (Amerika Serikat, Uni Soviet, Prancis, dan Inggris), bertempat di New York, Amerika Serikat, mereka menandatangani sebuah dokumen yang melepaskan hak dan tanggung jawab mereka yang berkaitan dengan Berlin dan Jerman secara keseluruhan. Pada tanggal 3 Oktober 1990 berdasarkan Pasal 23 Hukum Dasar Jerman Barat, Jerman secara resmi dipersatukan kembali. Setelah bersatunya dua Jerman, ibu kota pertama yang digunakan sebagai pusat pemerintahan Jerman atau Republik Federal Jerman adalah Kota Bonn. Kota ini berada di Sungai Rhine, sekitar 15 mil (24 km) selatan Cologne. Dari tahun 1949 hingga 1990, Bonn menjadi ibu kota Jerman Barat, dan berfungsi sebagai pusat pemerintahan Republik Federal Jerman dari tahun 1990 hingga 1999—2000, sampai pemerintah Jerman menyelesaikan pemindahan ibu kota negara setelah bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur ke Kota Berlin.
1
0 Response to "Ibu Kota Pertama Setelah Bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur "
Post a Comment