Beberapa waktu terakhir, masyarakat Tanah Air utamanya para
mahasiswa gaduh ihwal uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri
(PTN). Mereka mengeluhkan soal semakin mahalnya tarif kuliah di PTN. Bagi
penulis yang sudah purna kuliah jenjang sarjana di salah satu PTN, fenomena
maraknya protes biaya kuliah mahal pada dasarnya hal alamiah yang wajar. Dulu,
saat penulis masih aktif kuliah, protes seperti ini lazim terjadi. Namun
demikian, menjadi tidak wajar jika keluhan-keluhan publik kemudian disikapi
pemerintah dengan memberikan respon kontroversial yang tidak produktif.
Sumbe gambar: Shutterstock |
Sebagai contoh−alih-alih memberikan narasi yang
mencerahkan dan solutif─pemerintah melalui Plt. Sekretaris
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Prof. Tjitjik Tjahjandarie dalam sebuah
kesempatan beberapa waktu lalu malah merespon kegelisahan anak-anak bangsa soal
uang kuliah tunggal yang semakin membumbung tinggi dengan melempar pernyataan─bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier karena belajar di
perguruan tinggi menurutnya hanya bagi lulusan SMA, SMK, MA yang ingin
memperdalam suatu ilmu. Pantaskah hal ini diutarakan pemerintah? Bukankah
negara memiliki visi Indonesia Emas 2045 yang salah satu pilarnya adalah
terciptanya sumber daya manusia (SDM) unggul? Mengapa jadi anomali dan paradoks?
Apakah ini terjadi imbas dari semakin banyaknya perguruan tinggi yang kini
berstatus sebagai perguruan tinggi berbadan hukum (PTN BH) sehingga mereka
merasa memiliki wewenang absolut dalam mematok tarif kuliah?
Pertanyaan-pertanyaan kritis di atas akan menjadi pengantar
penulis dalam menganalisis sengkarut mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi
negeri di Indonesia dewasa ini. Secara konstitusional, Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945
berbunyi, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ini artinya, menempuh
pendidikan tinggi adalah hak setiap anak bangsa Indonesia dan negara wajib
mendukung serta memfasilitasi. Hanya saja, di mana letak kehadiran dan komitmen
negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang juga menjadi amanat konstitusi
ketika anak bangsa sudah diterima dan bersiap untuk menjalani kuliah di kampus
negeri ternyata dihambat dengan mahalnya biaya kuliah yang menyebabkan mereka
kemudian mengurungkan niat untuk kuliah?
Di sinilah poinnya, negara patut dikritisi, negara patut
disorot sebagaimana yang telah anggota parlemen lakukan dengan mendengarkan
keluh kesah perwakilan mahasiswa yang merasa terbebani mahalnya uang kuliah tunggal,
biaya kuliah tunggal, iuran pengembangan institusi, dan beban pembayaran lainnya.
Pemerintah melalui Kemendikbudristek sedianya telah
menginstruksikan pihak kampus untuk membuat kelompok-kelompok mahasiswa dalam
menetapkan besaran uang kuliah yang harus mereka bayar. Tak pelak, kampus
berkreasi membuat klaster pembayaran UKT dengan maksimal 12 klaster sebagaimana
ditetapkan dalam aturan terbaru dari pemerintah. Mahasiswa dikelompokkan
berdasarkan kemampuan finansial orang tua mereka. Hanya saja, ada kelompok
mahasiswa baru yang dibebankan kenaikan UKT sampai 300-500 persen seperti yang
disuarakan oleh perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Jenderal
Soedirman (Unsoed) tempo hari lalu.
Wujudnya, sebelum adanya kebijakan kenaikan UKT, mahasiswa
lama Unsoed di suatu kelompok UKT hanya membayar UKT sebesar Rp2,5 juta. Namun,
setelah adanya kebijakan baru pasca keluarnya Permendikbudristek Nomor 2 Tahun
2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT),
mahasiswa baru dengan kelompok pembayaran UKT yang sama di kampus Unsoed
dikenakan UKT sampai Rp14 juta. Tidak berlebihan jika kemudian para aktivis BEM
Unsoed melakukan protes keras kepada pihak rektorat dan bahkan telah mengadu kepada
Komisi X DPR RI.
Dan kini setelah riuh suara penolakan terhadap beban besarnya
UKT, dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI pada 21 Mei 2024, Mendikbudristek
Nadiem Anwar Makarim menyampaikan
klarifikasinya tentang mahalnya UKT yang dikeluhkan mahasiswa dewasa ini. Menurutnya,
kenaikan UKT hanya bagi mahasiswa baru, tidak untuk mahasiswa lama. Lebih
lanjut, pemerintah juga berkomitmen untuk melakukan evaluasi terkait penerapan
UKT, apakah sudah proporsional atau sebaliknya. Pemerintah meminta agar UKT
tidak dinaikkan terlalu besar, pemberlakuan UKT menurutnya harus rasional,
objektif dengan memerhatikan asas keadilan dan inklusivitas. Selain itu,
pemerintah juga meminta perguruan tinggi negeri membuka secara transparan
kriteria pemberlakukan UKT.
Publik terutama para mahasiswa baru dan orang tua tentu
menanti implementasi nyata dari komitmen pemerintah terkait UKT. Jangan sampai
setelah gaduh soal UKT disikapi serius oleh pihak DPR RI dan pemerintah, masih
ada kelompok mahasiswa yang merasa diperlakukan tidak adil akibat harus
membayar UKT melampaui batas kemampuan orang tua mereka. Jangan sampai pihak
kampus menolak mahasiswa yang meminta keringanan penurunan UKT jika kondisi
keuangan orang tua mereka memang tidak layak membayar UKT dengan nominal tinggi.
Jangan sampai pihak kampus mengabaikan mahasiswa yang meminta
klarifikasi ihwal UKT yang harus mereka bayar karena mereka memang berhak tahu
dasar penetapan UKT. Dan seperti masukan Komisi X DPR RI saat rapat kerja
dengan Mendikbudristek bersama jajarannya, rasanya pemerintah perlu merevisi
Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan PTN menjadi PTN BH dan Permendikbudristek
Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar
Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang menjadi dasar pembenar
bagi kampus negeri berstatus PTN BH menaikkan uang kuliah semaunya sendiri
sehingga menimbulkan riak-riak perlawanan dari mahasiswa, orang tua, aktivis
pendidikan, dan pihak-pihak kritis yang peduli dengan masa depan pendidikan
Indonesia.
Harus diakui beginilah mentalitas pemerintah kita, baru
tersentil setelah segala sesuatunya viral. Harus ramai dan gaduh dulu baru
pemerintah sadar bahwa kebijakannya perlu dibenahi. Dan penulis sekadar
mengingatkan bahwa anggaran pendidikan nasional itu 20 persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Nominalnya Rp665 triliun untuk tahun
angggaran 2024, hal ini menempatkan sektor pendidikan menjadi bidang prioritas
yang mendapat kucuran anggaran negara terbesar jika dibandingkan sektor-sektor lain
seperti kesehatan, infrastruktur, pembangunan IKN, dan sebagainya. Sejatinya
dengan kucuran anggaran negara sebesar Rp665 triliun, pemerintah tidak perlu
lagi membebankan UKT kepada mahasiswa dengan manaikkannya dengan nominal yang
tidak wajar.
Pihak kampus berstatus PTN BH juga jangan malah menjadikan
status berbadan hukum sebagai alasan untuk seenaknya menaikkan UKT mahasiswa.
Justru dengan berstatus PTN BH, setiap kampus memiliki banyak keleluasaan
mengelola sumber pemasukan mereka dari misal, membangun relasi kerja sama
dengan sebanyak mungkin mitra, mengelola paten hak kekayaan intelektual civitas
akademika kampus yang mendatangkan keuntungan ekonomi, mengadministrasi dana
abadi pendidikan, melakukan bisnis kampus, mengembangkan aset kampus. Dari
aktivitas otonomi kampus seperti ini semestinya PTN BH tidak perlu lagi
menaikkan UKT mahasiswa karena mereka sudah memiliki sumber pendapatan guna
mendukung biaya operasional kampus dan secara legal formal hal tersebut didukung
penuh oleh negara.
Jadi, sungguh sangat aneh, kampus berstatus PTN BH, namun
kemudian mematok UKT setinggi langit. Jangan karena saat ini pemerintah
memiliki program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), kampus PTN BH lalu merasa
merdeka menaikkan UKT semaunya. Jangan lakukan hal tersebut untuk sektor
pendidikan! Hal ini karena pendidikan merupakan hak asasi setiap individu warga
negara yang wajib negara penuhi dan seharusnya kampus negeri tidak perlu berorientasi
mencetak profit. Fokus saja mencetak output perguruan tinggi negeri yang
berdaya saing tinggi.
Jikapun harus memungut iuran dari aktivitas perkuliahan, tidak
semestinya kampus negeri dikelola seperti sebuah korporasi yang berorientasi mencari
laba sebanyak-banyaknya dengan membebankan pembiayaan pada mahasiswa dan orang
tua mereka. Ingat, mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah kewajiban mutlak
negara. Apalagi saat ini, berdasarkan data BPS pada Agustus 2023, sekitar 9,945,750
juta generasi Z (warga kelahiran tahun 1997−2012) atau 22,25 persen dari 44,7
juta gen Z menjadi penganggguran, alias mereka tidak bekerja, tidak menjalani
pendidikan dan tidak mendapat pelatihan.
Fakta ini harus menjadi bahan refleksi bagi pemerintah bahwa
mustahil Indonesia bisa mewujudkan pilar pertama (pembangunan sumber daya
manusia dan penguasaan ilmu pengtahuan dan teknologi) dari visi Indonesia Emas
2045, jika banyak dari warga usia produktif tidak berpendidikan, tidak
terdidik, dan tidak memiliki keterampilan hidup. Jangan sampai angka
pengangguran generasi Z ini semakin bertambah hanya karena mereka harus memilih
tidak kuliah lantaran tidak mampu mambayar UKT.
Preseden 50 mahasiswa baru Universitas Riau (Unri)
mengundurkan diri karena merasa tidak mampu membayar UKT yang terjadi
belakangan ini sejatinya menjadi bukti otentik bahwa UKT yang cenderung mahal
dapat melumpuhkan harapan dan masa depan anak bangsa. Jangan lagi pemerintah
menganggap pendidikan tinggi tidak penting (tersier) hanya untuk menjustifikasi
kenaikan UKT. Ingat, kemajuan SDM Indonesia ditentukan oleh seberapa banyak
anak bangsa yang terdidik. Semakin banyak warga Indonesia yang kuliah, maka
semakin terbuka peluang Indonesia menjadi negara maju dan mengejar
ketertinggalan dari negara-negara lain yang selangkah dua langkah lebih maju
dari Indonesia.
Penulis mengapresiasi dan menunggu langkah konkret Mendikbudristek yang dalam rapat bersama Komisi X DPR RI berkomitmen untuk turun langsung ke lapangan guna mengecek persoalan mahalnya UKT yang membut resah masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Penulis berharap Mendikbudristek tidak ragu untuk membatalkan pemberlakuan UKT yang terbukti tidak masuk akal dan di luar batas kewajaran. Dan yang terpenting, Mendikbudristek perlu secepatnya mengambil sikap setelah adanya evaluasi serta masukan dari Komisi X DPR RI yang merekomendasikan pemerintah perlu merevisi Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan PTN menjadi PTN BH dan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang dinilai menjadi pangkal permasalahan melonjaknya UKT. Semoga iktikad baik pemerintah di atas menjadi solusi atas problematika mahalnya UKT yang belakangan menjadi sorotan publik!
0 Response to "Menggugat Mahalnya UKT dan Solusinya"
Post a Comment