Hasil pemungutan suara Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 18 April 2024 tentang permohonan keanggotaan penuh
Palestina di PBB menghasilkan komposisi suara: 12 negara setuju, 2 abstain, dan
1 menolak. Sedianya hasil pemungutan suara ini sudah cukup mengabulkan
permintaan Palestina menjadi angggota penuh PBB. Namun demikian, tenyata hasil
voting tersebut gagal disahkan menjadi resolusi DK PBB karena Amerika Serikat
(AS) sebagai salah satu negara anggota permanen DK PBB memveto atau menganulir
suara mayoritas DK PBB yang sebelumnya menyetujui permintaan Palestina untuk
menjadi anggota penuh PBB.
Sumber gambar: EVELYN HOCKSTEIN/POOL/AFP |
Bagi penulis, ini sungguh anomali. Beberapa waktu terakhir,
Presiden AS Joe Biden sangat lantang menyuarakan perlunya gagasan two state
solution diwujudkan. Presiden ke-46 AS itu juga bahkan meminta Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkenan mewujudkan solusi dua negara guna
mengakhiri konflik panjang Israel-Palestina. Namun, di saat Palestina
benar-benar memperjuangkan kebutuhan mereka untuk menjadi negara berdaulat
seutuhnya di forum multilateral PBB, AS malah menunjukkan sikap yang bertolak
belakang dengan yang selama ini mereka telah perlihatkan.
Preseden AS yang menampilkan politik standar ganda terhadap
nasib Palestina ini sebelumnya telah mereka tunjukkan saat pemungutan suara
tentang seruan gencatan senjata di Gaza dilakukan pada 25 Maret 2024 yang
kemudian menghasilkan Resolusi Nomor 2728 DK PBB. Pada saat itu, 14 dari 15 negara
DK PBB menyepakati perlunya gencatan senjata segera dilakukan di Gaza.
Sayangnya, AS memilih abstain dan menyatakan bahwa resolusi tersebut tidak
mengikat. Sikap politik tidak bersahabat AS terhadap Palestina ini rupanya
berlanjut saat pelaksanaan voting permohonan Palestina menjadi anggota penuh
PBB. AS terang-terangan menggunakan hak vetonya untuk mengggagalkan keanggotaan
penuh Palestina di PBB.
Apa yang ditunjukkan AS sungguh-sunggguh tidak mencerminkan
jati diri sebagai negara besar yang sejatinya komitmen dengan nilai-nilai PBB
yang menginginkan terwujudnya dunia yang damai, setara, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Kebijakan veto AS atas suara mayoritas DK
PBB ini pada prinsipnya hanyalah penyambung kepentingan dari sekutu abadinya
Israel yang tidak akan pernah rela melihat Palestina menjadi negara merdeka dan
berdaulat sepenuhnya.
Sikap politik AS terhadap Palestina tentu sangat mengecewakan
sekaligus menyakitkan pihak-pihak yang selama ini mendukung total perjuangan
bangsa Palestina mendapatkan hak-haknya. Ternyata semua yang dilakukan AS beberapa
waktu belakangan hanyalah basa-basi belaka. Mereka hanya sebatas menyampaikan
retorika kosong saat mendorong terwujudnya solusi dua negara.
Pada awalnya, penulis sempat percaya dengan niat baik
pemimpin AS yang ingin menuntaskan konflik menahun Israel-Palestina dengan mendorong
implementasi solusi dua negara. Dengan apa yang telah terjadi di DK PBB─di mana permohonan Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB
tertolak karena adanya veto AS−menjadi sulit bagi penulis untuk
kemudian kembali percaya dengan Negeri Paman Sam tersebut. Dunia kini seolah
hanya milik Amerika Serikat dan Israel. Mau bertindak apa pun, suka-suka
mereka. Pertanyaannya, apakah ini yang disebut berkeadilan?
Mengamati sikap dan perilaku politik AS terhadap bangsa
Palestina dewasa ini, rasanya dunia ini jauh dari harapan berkeadilan. Dunia
kita juga benar-benar anarkis−yang kuat menindas yang lemah─sehingga mengharapakan terciptanya perdamaian dunia hanyalah
angan-angan atau pepesan kosong saja. Bagaimana mungkin, masyarakat
internasional masih berharap Israel-Palestina bisa hidup damai tanpa konflik,
sementara pada kenyataannya, akar masalah sejati yang membelit keduanya tidak
pernah diselesaikan. Malah semakin diperparah dengan hal-hal yang sangat
merugikan Palestina dan menguntungkan Israel─dengan misal, AS memberikan paket
bantuan dana perang bagi Israel sebagaimana Senat AS telah menyetujui bantuan
militer AS untuk Israel sebesar USD 26 miliar (Reuters, 24 April 2024) serta
menolak Palestina menjadi negara berdaulat dengan mengamputasi permintaan
mereka menjadi anggota penuh PBB.
Jika saja AS tidak memveto suara mayoritas DK PBB, kondisinya
mungkin menjadi lain. Resolusi DK PBB akan menjadi jalan bagi disahkannya
status Palestina sebagai anggota penuh di Majelis Umum PBB−serta menjadi landasan kuat bagi naiknya status Palestina
dari sekadar otoritas menjadi negara yang benar-benar berdaulat─sehingga tidak ada alasan bagi Israel untuk terus mencaplok
bumi Palestina dan membunuh rakyat Palestina.
Sebagai informasi, sampai akhir tahun 2023, dari 193 negara
anggota PBB, 139 negara telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Fakta ini menegaskan bahwa sesungguhnya dua pertiga lebih negara anggota PBB
menghendaki Palestina menjadi negara yang setara dengan mereka─duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Namun, ironisnya,
hingga kini Palestina tak kunjung menikmati hak-haknya sebagaimana mestinya
negara yang merdeka dan berdaulat akibat sikap sewenang-wenang AS dan Israel. Palestina
selalu saja diperlakukan bak budak dan bawahan.
Status Palestina sebagai negara pengamat PBB non-anggota
semenjak tahun 2012 dan bertahan hingga kini tak ubahnya hanya menjadikan
Palestina sebagai obat nyamuk atau pelengkap PBB. Palestina tidak memiliki hak
suara dan hak-hak istimewa lainnya karena dianggap bukan negara. Padahal
sesungguhnya Palestina sudah layak disebut sebagai entitas negara berdaulat.
Mereka memiliki rakyat, wilayah, pemerintahan, dan sudah diakui eksistensinya
oleh negara lain.
Nasi sudah menjadi bubur, dengan ditolaknya Palestina menjadi
anggota penuh PBB−ini artinya Palestina dilarang
menjadi bangsa yang merdeka, setara, dan hidup secara normal sesuai dengan
hak-hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia. Palestina dipaksa harus
mengakui kebiadaban Israel−Palestina dipaksa mesti menerima
kekejaman, penindasan, pembantaian, dan penjajahan yang dilakukan Israel
terhadap mereka.
Manusia waras mana yang akan terima dengan semua kejahatan
Israel selama ini? Tentu tidak ada. Karenanya, tidak berlebihan jika kemudian
para pejuang Palestina semakin militan. Serangan Hamas terhadap Israel 7
Oktober 2023 dan hingga kini berlangsung kecamuk perang antara para kombatan
Hamas-Israel adalah bukti bahwa kesewenang-wenangan Israel dan sekutu
terdekatnya AS hanya akan semakin memperparah konflik Israel-Palestina.
Jangan pernah berharap perdamaian abadi tercipta di Timur Tengah selagi persoalan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan masih terus dialami bangsa Palestina. Tujuh dekade lebih rakyat Palestina hidup dalam kesengsaraan dan penindasan Israel yang didukung penuh AS beserta sekutu lainnya. Dengan begini, penulis berkesimpulan AS bukanlah negara yang konsisten dengan nilai-nilai universal PBB sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 Piagam PBB−pasal tersebut mengharuskann setiap negara anggota PBB untuk mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat, dan untuk mengambil langkah-langkah lain yang tepat untuk memperkuat perdamaian universal. Melihat fakta yang tampak di permukaan, AS ternyata tidak lagi peduli dengan Piagam PBB yang semestinya menjadi pijakan mereka dalam bersikap.
Lebih
lanjut, hemat penulis, AS hanya menjadi negara pengabdi bagi kepentingan Israel.
AS rela mengabaikan nilai, norma serta hak-hak universal yang melekat pada diri
setiap bangsa di dunia termasuk bangsa Palestina. AS lebih mengedepankan
kepentingan Israel yang sejak awal kelahirannya selalu AS dukung daripada
berpihak pada Palestina yang dianggap tidak memberikan keuntungan apa pun
kepada AS. Free Palestine!
0 Response to "Veto AS dan Ilusi Perdamaian Israel-Palestina"
Post a Comment