Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah mengumumkan hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 pada 20 Maret 2024. Wujudnya, berdasarkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024, untuk pemilu presiden-wakil presiden, KPU menetapkan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024 dengan keunggulan suara 58,58 persen atau 96.214.691 juta suara, disusul dengan Anies-Muhaimin dengan perolehan suara 24,96 persen atau 40.971.906 juta suara, dan disusul Ganjar-Mahfud dengan perolehan suara 16,85 persen atau 27.040.878 juta suara. Adapun untuk hasil pemilu legislatif nasional, KPU mengumumkan bahwa dari 18 partai politik peserta pemilu, hanya 8 delapan partai politik yang lolos parliamentary threshold 4 persen dan berhak menduduki kursi legislatif di Gedung DPR/MPR Senayan. Mereka adalah PDIP dengan perolehan suara 25.387.279 (16,72 persen), Golkar dengan perolehan suara 23.208.654 (15,29 persen), Gerindra dengan perolehan suara 20.071.708 (13,22 persen), PKB dengan perolehan suara 16.115.655 (10,62 persen), Nasdem dengan perolehan suara 14.660.516 (9,66 persen), PKS dengan perolehan suara 12.781.353 (8,42 persen), Demokrat dengan perolehan suara 11.283.160 (7,43 persen), dan PAN dengan perolehan suara 10.984.003 (7,24 persen).
Sumber foto: Humas KPU |
Atas penetapan resmi KPU tersebut, muncul beragam respon dari pihak-pihak terkait. Ada yang menerima, ada yang merasa kecewa, dan ada yang berkeinginan untuk menggugat hasil Pemilu 2024 ke Mahkamah Konstitusi karena merasa tidak puas dan merasa dicurangi. Apapun itu, hasil resmi pemilu 2024 sudah keluar dan bagi yang keberatan dimungkinkan untuk menempuh jalur konstitusional melalui mekanisme peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga persengketaan hasil pemilihan umum (PHPU) yang timbul dapat diputus secara berkeadilan. Terlepas Pemilu 2024 telah usai diselenggarakan dan hasilnya telah diketahui bersama, penulis ingin menyoroti kualitas pelaksanaan Pemilu 2024 secara objektif berdasarkan fakta dan realita. Tujuannya, agar menjadi pembelajaran politik bersama sehingga ke depan kualitas demokrasi Indonesia semakin berkemajuan.
Secara teknis, Pemilu 2024 memang telah terselenggara. KPU sukses melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan sesuai target waktu dan amanat konstitusi. Namun demikian, bagaimana sesungguhnya mutu pelaksanaan Pemilu 2024? Hemat penulis, Pemilu 2024 penuh dengan anomali sehingga layak dikritisi agar pelaksanaan pemilu berikutnya menjadi lebih ideal. Terjadinya pelanggaran kode etik berat yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif karena berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang bersangkutan terbukti ikut mengadili dan aktif melobi hakim MK lain agar mengabulkan gugatan uji materi tentang syarat batas usia capres-cawapres di bawah 40 tahun boleh mengikuti Pilpres 2024 sepanjang pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada adalah pembuka dari terjadinya anomali pelaksanaan Pemilu 2024. Putusan MK tersebut kemudian menjadi tiket majunya Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang belum genap berusia 40 tahun mendampingi Prabowo Subianto dan ternyata hal tersebut kemudian mendapat restu Presiden Jokowi.
Lebih lanjut, putusan kontroversial MK di atas rupanya menjadi pemicu terjadinya pelanggaran kode etik ketua KPU dan jajarannya karena mereka menerima pendaftaran Prabowo-Gibran tanpa terlebih dahulu mengubah peraturan KPU tentang syarat pendaftaran calon presiden-wakil presiden pasca keluarnya putusan MK yang membolehkan warga negara belum genap berusia 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada mengikuti pilpres. Akibatnya, ketua KPU dan jajarannya kemudian dijatuhi sanksi peringatan keras oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Lebih dari itu, pelaksanaan Pemilu 2024 dan setelahnya juga penuh carut marut. Hal ini dapat dibuktikan dengan amburadulnya sistem rekapitulasi suara (sirekap) yang digunakan KPU untuk merekap suara pemilih sehingga menimbulkan kecurigaan di kalangan peserta pemilu dan masyarakat. Selain itu, KPU tidak konsisten terkait keterbukaan proses rekapitulasi suara, terkadang ditayangkan secara terbuka melalui kanal media resmi KPU dan media-media publik, kadang pula KPU memutuskan untuk tidak membuka proses rekapitulasi suara. Idealnya, jika mau terbuka, konsisten saja terbuka dari awal hingga akhir. Belum lagi dengan kontroversi ketua KPU yang menurut fakta, telah empat kali dinyatakan melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu termasuk dalam hal ini pelanggaran etik ketua KPU yang telah penulis jelaskan di atas.
Puncaknya, Pemilu 2024 sungguh-sunggguh memprihatinkan karena adanya sikap tidak netral presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi negara. Meski secara verbal tidak diucapkan, namun, secara tindakan sangat terlihat sekali sikap dan arah dukungan politik presiden berpihak pada pasangan Prabowo-Gibran. Keberpihakan presiden pada pasangan Prabowo-Gibran yang di dalamnya ada anak kandung presiden menurut pandangan penulis sungguh-sungguh sangat mencolok. Tak pelak, berdasarkan temuan dan laporan jurnalistik majalah Tempo, segala sumber daya dan kekuatan politik presiden dikerahkan untuk memenangkan pasangan jagoan presiden tersebut. Mulai dari pengerahan aparatur negara agar ikut mendukung serta mensukseskan pasangan Prabowo-Gibran, pemberian bansos secara gencar mendekati hari pencoblosan hingga aksi solo presiden yang memperlihatkan dukungan pribadinya kepada pasangan Prabowo-Gibran dengan mempertontonkan kebersamaan bersama capres Prabowo secara terbuka di hadapan publik adalah fakta bahwa memang presiden berpihak dan tidak netral. Tak ayal, ketidaknetralan presiden ini belakangan bahkan disorot Komite HAM PBB yang merasa prihatin dengan jalannya pilpres di Indonesia di mana pemenangnya adalah pasangan yang didukung oleh penguasa.
Barangkali dalam sejarah pemilu di era Reformasi, baru kali ini seorang presiden aktif tampak tidak netral dalam pelaksanaan pemilu yang menurut kredonya pemilu harus berlangsung secara jujur dan adil. Sejatinya seorang kepala negara adalah negarawan yang setiap sikap dan perilakunya dapat menjadi teladan bagi warga yang dipimpinnya. Ia menjadi milik semua warga negara, tidak menunjukkan bias kepentingan walaupun ada keluarga inti yang sedang mengikuti kontestasi elektoral.
Negarawan
sejati pantang mementingkan diri, keluarga, dan kelompok di atas kepentingan
bangsa dan negara. Tidak berlebihan kiranya, jika Wakil Presiden ke-10 dan
ke-12 RI Jusuf Kalla menyebut Pemilu 2024 merupakan pemilu terburuk sepanjang
sejarah karena memang dari mulai proses hingga pelaksanaan Pemilu 2024 penuh
dengan kontroversi dan anomali sehingga kaum kritis yang paham hukum, politik,
dan demokrasi belakangan bersuara lantang tentang cawe-cawe kekuasaan dalam Pemilu
2024. Mereka mengkritisi proses pemilu yang penuh kejanggalan dan
mempertanyakan kenegarawanan presiden. Inilah wajah Pemilu 2024, mari ambil
hikmahnya, jadikan pengalaman pemilu tahun ini sebagai guru terbaik bahwa
menjadi negarawan sejati yang imparsial, tidak memihak, serta komitmen dengan
konstitusi untuk melaksanakaan pemilu secara berkeadilan adalah keniscayaan
demi terwujudnya demokrasi Indonesia yang semakin ideal dan berkeadaban. Semoga!
0 Response to "Catatan Akhir Pemilu 2024"
Post a Comment