Banyak orang menjadi politisi dan
penguasa. Namun, sedikit orang yang bisa menjadi negarawan. Menjadi negarawan
atau menjadi pribadi yang meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan
diri, kelompok, keluarga dan selalu menempatkan negara sebagai prioritas memang
tidak mudah. Hanya orang yang mau dan bersedia hidupnya jauh dari keistimewaan serta
komitmen tidak tergoda dengan bujuk rayu mempergunakan kekuasaan untuk
kepentingan di luar kepentingan negara yang bisa menjadi negarawan. Seorang
negarawan sejati justru rela kepentingan diri, keluarga, kelompok bahkan nyawa
dirinya dikorbankan untuk sebesar-besarnya kepentingan negara yang ia cintai.
Negarawan tidak malah berpikir selagi masih berkuasa, maka kepentingan ini dan
itu harus diupayakan kelancarannya tanpa peduli apakah sesuai dengan norma dan
etika hukum atau malah sebaliknya.
Indonesia dewasa ini defisit negarawan,
surplus politikus dan birokrat. Orang yang semestinya paham akan beperilaku
seperti apa dengan jabatan dan wewenang yang dimilikinya malah mempertontonkan
hal yang bertolak belakang dengan apa yang seharusnya dipertunjukkan. Contoh
konkretnya, bagaimana bisa seorang hakim ketua dalam peradilan konstitusi tidak
paham mana hal yang merupakan konflik kepentingan dan mana yang tidak merupakan
konflik kepentingan. Ironisnya, ia harus dipecat dulu agar sadar bahwa dirinya
telah terlampau jauh melangkah melebihi batas semestinya sehingga lupa kalau
dirinya telah melangggar kode etik berat.
Tragisnya lagi, setelah resmi
dipecat dirinya masih merasa benar dan keberatan dengan putusan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang harus mencopot jabatan ketua hakim
konstitusi darinya. Negarawan sejati pantang bersikap seperti itu. Harusnya tahu
diri, sadar diri, dan kesatria mengakui kesalahan diri untuk kemudian menjadi
lebih baik lagi. Selain hal tersebut, bagaimana bisa seorang calon penguasa
juga tidak paham mana urusan etika kenegaraan, mana ambisi dan kepentingan
pribadi serta golongan? Bahkan seorang penguasa pun tidak paham apakah urusan
keluarga atau urusan negara dulu yang harus diprioritaskan. Semuanya asal
terabas saja, yang penting agenda kepentingan tetap berjalan. Inilah kondisi
Indonesia dewasa ini.
Lantas apakah ini harus
dibiarkan? Tidak! Hal seperti ini harus dilawan dan ditolak. Caranya, jangan
biarkan mereka seenaknya bertindak, menyelewengkan amanat negara dengan berlaku
seenaknya. Bagaimana caranya? Jangan biarkan mereka berkuasa, jangan biarkan
mereka menang dan mendapat mandat kekuasaan. Jika sebelum berkuasa saja sudah
berani melakukan kolusi kekuasaan dengan yang berkuasa, bagaimana kelak setelah
berkuasa? Pasti akan semakin menjadi-jadi. Maka memilih sosok bermental
negarawan dan sepanjang hidupnya memang terbukti ia menunjukkan perilaku
seorang negarawan adalah keniscayaan bagi masa depan Indonesia.
Dan saya melihat hal tersebut ada
pada sosok Ganjar-Mahfud, pasangan dwitunggal sekaligus dua sosok negarawan yang
telah menunjukkan kiprah pengabdian terbaiknya bagi kemajuan Indonesia. Integritas
Ganjar-Mahfud benar-benar telah teruji, tidak diragukan lagi. Keduanya tidak
pernah memiliki catatan hitam masa lalu, tidak pernah abu-abu dalam bersikap,
selalu berpihak pada kemaslahatan bangsa. Ganjar-Mahfud juga tidak pernah
menjual isu identitas untuk tujuan politik jangka pendek, keduanya tidak pernah
memiliki beban etik ketatanegaraan dan keduanya komitmen penuh untuk bekerja
sekeras-kerasnya untuk kemajuan Indonesia.
Maka saya tidak ragu untuk memilih dan mengampanyekan mereka. Apapun yang terjadi, di Pilpres 2024, suara politik saya hanya untuk Ganjar-Mahfud. Secara priomordial, saya memang satu etnis dengan Mahfud MD. Namun, saya memilih Ganjar-Mahfud bukan sekadar karena faktor identitas kesukuan melainkan karena faktor rekam jejak, ketegasan, program kerja, dan rasa percaya saya kepada mereka. Bahwa merekalah yang saya yakini bisa membawa Indonesia jauh lebih ideal, lebih bersih, lebih maju, dan lebih sejatera di masa-masa mendatang.
0 Response to "Memilih Negarawan "
Post a Comment