Dewasa ini, menjelang beberapa
bulan pemungutan suara untuk memilih pasangan presiden-wakil presiden dan calon
legislatif tingkat DPRD, DPD, DPR akan dilakukan secara serentak pada 14 Februari 2024, praktik politik dan hukum di
Indonesia menunjukkan gelagat yang tidak biasa. Dikatakan seperti itu karena
memang fakta menunjukkan demikian. Mari kita lihat bagaimana sebuah lembaga
terhormat seperti Mahkamah Konstitusi (MK) yang semestinya menjelma sebagai
penjaga marwah demokrasi dan peradaban konstitusi ternyata menunjukkan hal yang
sebaliknya. Beberapa waktu lalu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)
dalam sidang putusannya berhasil mengungkap sebuah tabir gelap praktik
pelanggaran etik berat nyata dilakukan oleh seorang mantan ketua MK sehingga
yang bersangkutan dipecat dari jabatan ketua MK. Yang bersangkutan terbukti terlibat
dalam konflik kepentingan ihwal pengujian perkara gugatan batas usia capres yang
sejurus kemudian menguntungkan keponakannya bisa maju sebagai bakal cawapres di
Pilpres 2024.
Sumber gambar: mkri.id |
Kekuasaan yudikatif di bidang
penegakan hukum konstitusi benar-benar tercoreng dengan adanya insiden hukum
tersebut, bahwa menang benar hukum di Indonesia tidak lepas dari kepentingan
pihak tertentu yang memiliki tujuan politik. MKMK dalam putusannya berhasil mengungkap
bagaimana seorang mantan ketua MK rela hadir di kantor MK pada hari Sabtu, 30
September 2023 yang semestinya hari libur dan kantor tutup hanya untuk
memastikan bahwa berkas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sebelumnya ditarik
oleh penggugatnya lalu yang bersangkutan mengajukan surat pembatalan pencabutan
agar dapat diterima panitera MK. Selain itu, eks ketua MK tersebut terbukti
melakukan lobi kepada hakim konstitusi lain agar mengabulkan gugatan perkara
batas usia capres-cawapres. Dan benar saja, sesuai skenario, dalam putusan MK
tentang perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan gugatan tersebut yang
kemudian membukakan jalan bagi seorang wali kota berusia 36 tahun, baru
menjabat selama dua tahun lebih untuk kemudian maju sebagai kandidat cawapres.
Meski MKMK telah menetapkan bahwa
telah terjadi pelanggaran etik berat, namun, MKMK tidak berwenang membatalkan
putusan MK yang sebelumnya telah terlanjur membolehkan warga negara Indonesia
belum berusia 40 tahun, namun, jika yang bersangkutan pernah atau sedang
menjabat sebagai pejabat publik yang dipilih melalui pemilu boleh baginya
mendaftar sebagai bakal calon presiden atau calon wakiln presiden. Alhasil,
keponakan mantan ketua MK tersayang yang sudah terlanjur mendaftar sebagai
bacawapres dan telah resmi tercatat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan
landasan hukum putusan MK yang bersifat final dan mengikat tidak bisa diganggu
gugat dan diutak-atik lagi. Secara legal formal, status kepesertaannya sah
meski secara etik sangat cacat.
Meminjam istilah Profesor Moh. Mahfud
MD, inilah politisasi hukum alias hukum dijadikan alat politik. tidak peduli,
siapa yang melakukan, faktanya itu yang terjadi akhir-akhir ini dengan studi
kasus skandal putusan MK perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kini sedang mengalami
proses uji materi ulang oleh penggugat baru tanpa keterlibatan eks ketua MK
yang dilarang oleh MKMK menyidangkan perkara-perkara menyangkut pilkada,
pemilu, pilpres. Sebagai inofrmasi, putusan MK hanya bisa digugurkan dengan
adanya gugatan baru atas gugatan lama jika suatu putusan dianggap janggal serta
menyimpang dari norma hukum.
Dengan kondisi konkret seperti
ini, apakah hukum di Indonesia baik-baik saja? Rasanya tidak baik-baik saja.
Ini baru satu kasus hukum yang terjadi di MK, belum lagi jika kita mau lebih
sensistif dengan misalnya mengkritisi seorang Wakil Menteri Hukum dan HAM yang
kini statusnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus gratifikasi oleh KPK. Jika
pihak yang bertanggung jawab menegakkan hukum dan peradilan saja begini,
bagaimana dengan yang lain? Benar-benar sakit hukum Indonesia. Tidak salah jika
Ganjar Pranowo memberi skor 5 untuk kinerja bidang hukum pemerintah. Jika
kondisi hukum Indonesia sedemikian memprihatinkan, lalu bagaimana dengan
politik Indonesia masa kini? Secara objektif, penulis memandang kondisi politik
Indonesia belakangan sangatlah pragmatis dan oportunis. Masing-masing
aktor politik lebih mengedepankan ego politik pribadi, keluarga, dan kelompok
daripada kepentingan bangsa dengan mengabaikan nilai-nilai moral etik.
Apa susahnya menyatakan mundur
dan mengembalikan kartu tanda anggota partai politik jika sadar diri seseorang
telah berseberangan dengan garis kebijakan politik tempat ia bernaung? Apa
susahnya menyatakan pamit keluar dari keanggotaan partai karena sudah menerima
pinangan dicalonkan oleh partai lain menjadi kandidat bakal cawapres di Pilpres
2024? Apa ruginya menjadi pribadi tegas dengan suatu pilihan politik yang telah
diambilnya? Mengapa harus disindir dan didesak-desak utnuk mengembalikan KTA
jika memang sadar tidak lagi satu visi dengan partai yang semula
membesarkannya? Hal ini sempat mengusik kebatinan saya saat mengikuti
perkembangan politik nasional belakangan, karena jika becerminkan pada diri
sendiri, seingat saya, ketika saya sudah merasa tidak sejalan, tidak lagi dalam
satu visi yang sama dengan suatu instansi, hal pertama yang saya lakukan adalah
saya segera mengomunikasikan isi hati saya baik secara lisan maupun tulisan
bahwa saya sudah tidak sejalan, ingin pamit baik-baik dan segera saya
mengembalikan hal-hal yang berkaitan dengan identitas keanggotaan dan
kepemilikan lainnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Ini yang tidak saya saksikan dari
individu yang kini masuk ke dalam gelangggang politik praktis, berhasrat
menjadi penerus tahta Indonesia berikutnya. Ia tidak mau bersikap lugas ihwal
status keangggotaannya di partai politik yang kini dilawannnya hingga pada
puncaknya partai tersebut menyimpulkan telah tutup buku dengan sosok yang kini
menjadi lawan padahal sebelumnya kawan setia.
Lebih lanjut, memang tidak ada
yang salah terkait praktik politik dinasti di Indonesia. Undang-undang tidak
melarang anak kandung dari seorang kepala negara ikut kontestasi pemilu
presiden sepanjang tidak ada norma yang dilanggar. Masalahnya, fakta
menunjukkan bahwa telah terjadi cacat etik dalam proses pencalonan seseorang
yang kini telah ditetapkan sebagai cawapres oleh KPU. Ironisnya, yang
bersangkutan tetap percaya diri dan elektabilitasnya semakin hari semakin
meningkat signifikan. Bahkan diprediksi ia bersama pasangannya akan memenangkan
Pilpres 2024. Bagaimana bisa begini? Masihkah rakyat Indonesia paham etika
politik, demokrasi berkeadaban atau malah sudah mengangggap lumrah suatu
anomali? Biar waktu yang menjawab.
Saya pribadi termasuk barisan orang yang kritis dan tegas menolak intervensi kekuasaan yudikatif dalam putusan kontroversial MK yang belakangan terbukti cacat etik karena menguntungkan satu orang yang sangat berkepentingan untuk mengikuti kontestasi Pilpres 2024. Jika saya berada di posisi orang tersebut, saya secara kesatria akan mengundurkan diri karena saya sadar proses pencalonan saya cacat meski status kepesertaan saya sah secara hukum. Saya lebih memilih untuk memprirotaskan kepentingan bangsa, etika, hukum, konstitusi, di atas kepentingan kekuasaan semata. Kalaupun pasangan tersebut menang, sungguh pun sejarah akan mencatat bahwa kemenangannya ternodai oleh suatu putusan hukum yang problematik. Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari literasi politik dan hukum yang mencerdaskan serta tidak bermaksud untuk menyerang pihak atau pribadi tertentu.
0 Response to "Melihat Wajah Hukum dan Politik Indonesia Masa Kini"
Post a Comment