Di antara
kota-kota provinsi yang ada di Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu kota
yang bernilai istimewa bagi sejarah perjalanan bangsa Indonesia khususnya bagi Presiden
Sukarno yang sebagian kisah hidupnya ada di Yogyakarta. Selain Surabaya,
Bandung, Ende, Bengkulu, Bangka, dan Jakarta yang menjadi saksi perjuangan
hidup Bung Karno−mengingat di daerah-daerah tersebut beliau pernah berproses
dan melangsungkan hidup. Di Yogyakarta, nasib dan masa depan depan Indonesia
pernah dipertaruhkan. Di kota inilah api kebangsaan Presiden Sukarno benar-benar
menyala dan menggema. Tulisan ini akan memotret kiprah pengabdian Presiden Sukarno
untuk Indonesia yang pernah beliau lakukan di Yogyakarta.
Sumber gambar: kratonjogja.id |
Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah satu dari 38 delapan provinsi yang dimiliki Indonesia dewasa ini. Sebagai
sebuah kota provinsi, Yogyakarta merupakan kota legenda dengan segudang sejarah
yang menarik untuk diulas. Mulai dari masa Prakemerdekaan, Kemerdekaan,
Pascakemerdekaan hingga kini era Reformasi, sejarah besar bangsa Indonesia
tersimpan rapi di Yogyakarta. Salah satu sejarah penting tersebut adalah jejak kebangsaan
Presiden Sukarno di Yogyakarta. Fakta membuktikan dengan jelas bahwa Yogyakarta
tidak dapat dilepaskan dari sosok Bung Karno−keduanya sangat berkaitan dan saling
melengkapi. Sulit untuk menyangkal realitas historis bahwa episode penting dari
hidup Presiden Sukarno sebagiannya ada di Yogyakarta. Di kota ini, Bapak
Proklamator tersebut pernah mempertaruhkan hidup dan matinya.
Setelah tahu
kondisi Jakarta tidak lagi kondusif akibat agresivitas tentara NICA yang
bermaksud ingin merongrong jalannya pemerintahan Indonesia yang baru berdiri. Tak
ayal, Presiden Sukarno memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara dari
Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Di kota gudeg
tersebut, beliau memimpin Indonesia yang sedang dalam kondisi darurat perang dengan
penuh keteladanan dan kesungguhan.
Di Yogyakarta, babak
awal petualangan Republik Indonesia yang baru lahir itu dimulai. Adapun Presiden
Sukarno berperan sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia yang bertanggung
jawab atas jalannya roda perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia.
Tiga tahun lamanya, Bung Besar Sukarno merawat Republik Indonesia yang masih
bayi di Yogyakarta. Dalam pada itu, pusat pemerintahan dan kepresidenan Indonesia
berpindah sementara dari yang sebelumnya di Istana Merdeka Jakarta menjadi di Gedung
Agung Yogyakarta. Semuanya di bawah orkestrasi Presiden Sukarno. Sejarah pun
mencatat dengan pasti, pidato kenegaraan pertama dalam menyambut hari lahir yang
ke-1 Republik Indonesia disampaikan Presiden Sukarno di Yogyakarta.
Ada pesan dan
nilai-nilai moral yang kuat dalam pidato peringatan setahun Indonesia merdeka
yang disampaikan beliau di Yogyakarta─di antaranya adalah tentang perjuangan
revolusi, pemerintahan dalam negeri, politik luar negeri, dan persatuan
nasional. Bahwa walau kondisi negara dalam keadaan sulit, semua komponen negara
harus terus bersatu dalam memperjuangkan revolusi kemerdekaan Indonesia yang
telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 serta tanpa melupakan persahabatan,
kepedulian dan kehangatan dengan bangsa-bangsa lain. Terbukti, meski harus
menjalani masa genting di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, pemerintah
Indonesia membuktikan komitmen kemanusiaan dengan memberikan bantuan 500.000 ton
beras kepada bangsa India yang pada saat itu sedang mengalami musibah
kekeringan dan kelaparan.
Di kota pelajar Yogyakarta,
Presiden Sukarno memiliki perhatian khusus pada pendidikan dan pengajaran. Beliau
bahkan memimpin langsung gerakan pemberantasan buta huruf di tahun pertama
beliau hijrah ke Yogyakarta. Berdasarkan arsip foto yang dirilis lembaga negra
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), pada November 1946, Bung Karno secara
resmi meluncurkan gerakan pemberantasan tuna aksara dengan mengajar langsung
pengenalan aksara di lapangan terbuka yang dihadiri para warga Yogyakarta.
Lebih lanjut, saat
hidup dan berjuang di Yogyakarta, kiprah dan peran Presiden Sukarno dapat
dilihat dari berbagai sisi. Dari dimensi kepemimpinan, beliau sukses menahkodai
Indonesia yang sedang terancam karam akibat ulah Belanda yang berambisi
menjajah kembali Indonesia. Di bawah sentuhan kepemimpinan beliau, kapal besar
Indonesia selamat dari bencana tenggelam. Kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia
berhasil diperjuangkan dengan gemilang.
Meski tidak
menjadi aktor lapangan sebagai prajurit tempur dalam aksi-aksi heroik
mempertahakankan kedaulatan bangsa seperti dalam perang menghadapi agresi militer
Belanda tahun 1947, perang menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI) di Madiun tahun 1948 mengingat Presiden Sukarno lebih banyak berperan di
bidang diplomasi negosiasi−menyusun rancangan dan strategi guna memenangkan
perundingan dengan lawan. Dan walau tidak terjun langsung sebagai ketua
delegasi, beberapa perundingan penting seperti Perjanjian Linggajati (1947),
Perjanjian Renville (1948), Perjanjian Roem-Royen (1949), Konferensi Meja
Bundar (1949) yang kemudian diikuti dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia─semua
capaian tersebut tidak lepas dari supervisi, koordinasi, dan komando beliau
selaku kepala negara.
Lebih dari itu,
Yogyakarta menjadi saksi otentik bagaimana getirnya kehidupan Pesiden Sukarno
beserta keluarga dan para pemimpin nasional saat mereka harus ditawan Belanda
tepat di hari ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19
Desember 1948. Dengan penuh taktis dan bersandar pada hasil musyawarah mufakat
bersama pemimpin bangsa lain seperti Moh. Hatta, Sutan Syahrir, H. Agus Salim dan
tokoh lainnya di awal hari penawanan itu beliau masih sempat mengirimkan
telegram berisikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mendirikan
pemerintahan darurat di Sumatra dan tiga hari setelahnya (22 Desember 1948) beliau
bersama tokoh-tokoh nasional diasingkan ke Pulau Sumatra.
Perjuangan revolusi
Indonesia yang dikomandoi Prresiden Sukarno mendapatkan tuahnya ketika misi
perundingan yang dilakukan para pahlawan bangsa berhasil memenangkan hati dan
pikiran Belanda untuk mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia yang
dibuktikan dengan kesediaan Belanda mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB). Dan
10 hari menjelang penyerahan kedaulatan dari Ratu Belanda kepada delegasi
Indonesia yang hadir dalam KMB yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada
tangggal 17 Desember 1949, bertempat di Keraton Yogyakarta, Ir. Sukarno
dilantik oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri RIS. Penyerahan kedaulatan dan
pelantikan Sukarno-Hatta ini menjadi titik balik eksistensi Indonesia sebagai
negara yang benar-benar berdaulat penuh dan berdiri di atas kaki sendiri.
Selain sisi formal
kenegaraan, ada sisi humanis yang menarik diungkap dari sosok Presiden Sukarno
saat bertugas di Yogyakarta. Di kota ini, beliau tampil sebagai manusia yang
seutuhnya. Beliau hidup tanpa jarak dan dekat masyarakat Yogyakarta. Hal ini
tecermin dari sikap keseharian beliau yang terbiasa bercengkrama dengan petani,
singgah ke rumah warga, bermain bola dengan anak-anak, dan menerima apa pun keluh
kesah rakyat. Di Yogyakarta pula beliau dianugerahi putri pertama yang 54 tahun
kemudian menjadi Presiden kelima Republik Indonesia. Tepat pada tanggal 23 Januari
1947 lahir dengan selamat anak kedua Presiden Sukarno yang beliau beri nama Dyah Permata Setyawati Sukarnoputri.
Pengalaman
lahir, tumbuh dan melewati masa kanak-kanak di Yogyakarta persis saat Indonesia
menghadapi masa revolusi mempertahankan kemerdekaan kelak berdampak besar
terhadap terbentuknya mental juang Presiden Megawati yang sangat kokoh dan
pantang menyerah. Terbukti, ketika memasuki masa dewasa, saat penguasa Orde
Baru selalu menghambat niat baik beliau berkiprah di dunia politik, beliau
mampu menghadapinya dengan kesatria. Berkat kegigihan dan pengalaman masa kecil
pernah merasakan masa sulit revolusi fisik yang sempat dilewatinya di Yogyakarta
bersama Bung Karno, Presiden Megawati mampu melalui masa-masa sulit penindasan
Orde Baru tersebut dengan selamat dan sentosa.
Kisah
lain terkait kiprah dan jejak kebangsaan Presiden Sukarno di Yogyakarta adalah saat
beliau menyampaikan pidato Tri Komandp Rakyat (Trikora). Pada 19 Desember 1961,
dalam rapat umum yang bertempat di Alun-Alun Utara Kota Yogyakarta, beliau resmi
meluncurkan operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat yang kini menjadi
Papua dari cengkraman penjajahan Belanda. Pidato Trikora menjadi pembakar
semangat para pejuang bangsa dalam mempertahankan kedaulatan bangsa di Irian
Barat. Tiga substansi pokok amanat Trikora yang disampaikan Presiden Sukarno di
Yogyakarta berisikan mandat untuk melakukan: Penggagalan negara boneka Papua, Pengibaran
Sang Saka Merah Putih di Papua, Persiapan diri untuk mobilisasi umum.
Trikora
dalam praktiknya berdampak signifikan terhadap terbentuknya mental petarung bangsa
Indonesia khususnya para personil militer yang bertugas melakukan pembebasan
Irian Barat. Selain itu, Trikora berdampak positif terhadap naiknya posisi
tawar Indonesia di mata dunia internasional yang kemudian membuat perjuangan
Indonesia di bawah komando Presiden Sukarno berada di atas angin dalam
menghadapi Belanda. Terbukti, setelah Trikora diluncurkan, Presiden Sukarno
berhasil meyakinkan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy di mana Presiden
ke-35 Amerika Serikat tersebut pada akhirrnya mau menengahi konflik geopolitik
Indonesia-Belanda dan kemudian melahirkan New York Agreement 15 Agustus 1952
yang berisikan tekanan agar Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia
selambat-lambatnya 1 Mei 1963.
Selain
itu, komando Trikora yang diluncurkan Bung Karno di Yogyakarta turut membuat
organisasi multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga berpihak pada
Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta dikeluarkannya Resolusi No.
1752 PBB pada 21 September 19622 yang berisikan dukungan terhadap New York
Agreement. Lebih lanjut, PBB kemudian menugaskan United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) untuk melakukan penyerahan kekuasaan Irian Barat dari Belanda
kepada Indonesia yang berlaku efektif semenjak 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei
1963.
Pidato
Trikora menjadi panggung terakhir Presiden Karno di Yogyakarta. Hal ini karena
setelah Trikora hingga keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menandai
dimulainya era Orde Baru, praktis tidak ada hal menonjol yang mencerminkan
gelora kebangsaan dan revolusi besar ala Bung Karno yang berlangsung di
Yogyakarta. Inilah kiprah nyata Presiden Sukarno dalam mengabdikan hidup dan
matinya untuk Indonesia jika dilihat dari jejak pengabdian dan gelora
kebangsaan beliau di Yogyakarta.
Yogyakarta dan Presiden
Sukarno adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Hal ini karena keduanya merupakan elemen penting dalam sejarah perjalanan
bangsa yang akan selalu terkait dan terikat. Di Yogyakarta, Presiden Sukarno
sukses merawat bayi Republik Indonesia yang terancam nyawa hidupnya akibat aksi
brutal Belanda hingga kemudian menjadi republik yang bisa merangkak, berjalan,
dan berlari. Semuanya berkat dedikasi utuh Presiden Sukarno bersama para
pendiri dan pahlawan bangsa. Yogyakarta adalah salah satu bagian bumi Nusantara
yang menjadi saksi nyata bagaimana kiprah pengabdian mereka benar-benar abadi
sampai kapanpun. Begitu banyak kiprah,
kenangan dan peran strategis yang telah dilakukan Presiden Sukarno di
Yogyakarta untuk Indonesia. Semuanya menjadi peninggalan, pembelajaran sekaligus
warisan luhur untuk siapa pun anak bangsa yang hidup di masa kini dan masa
mendatang.
0 Response to "Yogyakarta dalam Gelora Kebangsaan Presiden Sukarno"
Post a Comment