Sebelum lebih jauh saya menuliskan
keresahan dan mengekspresikan sikap kritis saya, saya ingin menyampaikan bahwa
tulisan ini murni sebagai wujud pencarian kebenaran dari pertanyaaan dialektis seperti,
di mana keberadaan para aktivis reformasi 1998 yang dinyatakan hilang hingga
detik ini dan siapa yang mesti bertanggung jawab dengan mereka? Sayangnya,
tidak ada yang secara kesatria mau bertanggung jawab dan mengakui bahwa para
aktivis yang tidak akan pernah kembali lagi tersebut memang sudah pergi untuk
selama-lamanya. Wiji Thukul dan kawan-kawan sudah berada di alam baka.
Secara kasat mata, pada masa
hilangnya para pahlawan reformasi tersebut, terjadi pemecatan seorang perwira tinggi
ABRI karena dianggap indisipliner telah melanggar kode etik perwira akibat
ulahnya yang dinilai telah bersalah atas penculikan terhadap para aktivis yang
menyuarakan reformasi tahun 1998.
Sumber gambar: Pradita Utama/detikcom |
Sayangnya, meksi telah dicopot,
persoalan tidak berhenti sampai di situ, ia terus dikejar dan dihantui stigma
sebagai penculik dan pelanggar HAM. Sebuah situasi yang sangat mengganggu
kenyamanan diri tokoh terkait Di titik ini, saya merasa simpati sekaligus
skeptis dengan sosok Prabowo Subianto. Saya merasa simpati karena hampir di
setiap kesempatan mengikuti pemilu presiden (pilpres), dirinya selalu diserang
dengan isu-isu masa lalu, ia dituding terlibat sebagai dalang pelanggaran HAM
terhadap para aktivis reformasi karena sampai saat ini beberapa di antara
mereka memang tidak ada berita kejelasannya, apakah masih hidup atau
sebaliknya? Menjadi terduduh sungguh tidak enak dan saya berharap Prabowo bisa
terlepas dari serangan dan tuduhan yang terjadi di masa lampau.
Namun demikian, di lain sisi, saya
merasa skeptis dengan respon Prabowo beberapa waktu lalu saat ditanya oleh Budiman
Sujatmiko tentang nasib para aktivis reformasi yang belum pulang, Prabowo menyatakan
bahwa ia telah melepaskan aktivis yang sebelumnya ditangkap. Menurutnya, semua
aktivis yang sempat diamankan telah dipulangkan. Apakah benar demikian? Seujujurnya,
saya meragukan pernyataan Prabowo tersebut. Jika memang sudah dipulangkan
mengapa faktanya ada 13 aktivis sampai saat ini tidak pulang-pulang? Ke mana
mereka? Di mana mereka? Terkait hal ini, saya akan mencoba berada di posisi
Prabowo dan jika saya berada di posisi Prabowo, saya berupaya untuk bersikap
ideal sesuai dengan ekspektasi yang semestinya.
Hemat saya, jika saya menjadi
Prabowo Subianto, saya akan bersikap apa adanya terkait kasus hilangnya para
aktivis reformasi dan menyampaikan secara terbuka apa yang sesungguhnya
terjadi. Bukankah kasus ini sudah terlanjur terjadi lebih dari dua dekade lalu
dan para aktivisnya tidak mungkin lagi bisa dihadirkan? Buat apa bicara
setengah-setengah kalau memang mengetahui pasti perihal kasus tersebut? Sebagai
orang awam, saya meliihat Prabowo belum sepenuhnya mau mengungkap apa yang
sebenarnya terjadi terkait para aktivis tersebut.
Dalam beberapa sumber yang saya
baca dari media ternama seperti Tempo, Kompas saya mendapat kesimpulan, Prabowo
terkesan hanya mau mencari aman dengan menyatakan bahwa tindakan aparat ABRI di
bawah kendalinya terhadap para aktivis pada masa huru-hara reformasi terjadi harus
diambil demi keamanan negara. Jika demi keamanan negara, para aktivis lalu
ditangkap untuk dibina agar tidak mengganggu ketertiban negara. Pertanyaannya,
mengapa ada yang selamat dan tidak selamat? Ada yang dibebaskan dan masih mengambang
statusnya? Tidak mungkin Prabowo tidak mengetahui keberadaan para aktivis reformasi
yang statusnya masih dinyatakan hilang tersebut. Saya meyakini Prabowo tahu
pasti, hanya enggan berbicara secara blak-blakan. Sebagai seorang patriot dan negarawan,
momentum seperti Pilpres 2024 adalah waktu yang tepat untuk buka-bukaan tentang
kasus masa lalu yang belum seutuhnya terjawab tuntas tersebut. Memiilih
berdamai dengan masa lalu dengan berbicara secara terus terang perihal duduk
perkara yang terjadi serta kesatria meminta maaf kepada publiik dan keluarga para
aktivis adalah langkah mulia yang dapat Prabowo lakukan.
Bukankah ciri seorang kesatria
adalah mau mengakui kealpaan, menyesalinya, dan bertekad untuk segera bangkit
dari kekhilafan dengan berdamai dengan diri sendiri serta pihak terkait yang
dirasa dirugikan. Sekali lagi, jika saya berada di posisi Prabowo, saya tidak
akan ragu untuk angkat bicara dan melakukan rekonsiliasi sehingga beban masa
lalu ini tidak lagi menjadi ganjalan yang terus-menerus merongrong kenyamanan
hidup berbangsa dan bernegara.
Saya tidak bermaksud untuk menyudutkan dan menyerang Prabowo, ini wujud kepedulian saya kepada Prabowo yang selalu mencitrakan diri sebagai seorang patriot dan kesatria. Bahwa sekali lagi, seorang patriot dan kesatria adalah sosok yang berani bersikap apa adanya, terus terang, tulus, mau meminta maaf, terbuka, dan mau mengambil risiko tertinggi demi kepentingan publik. Momentum politik Pilpres 2024 adalah waktu yang pas untuk menyelesaikan persoalan masa lalu. Ambillah momentum ini, bicaralah yang lantang dan terbuka kepada bangsa Indonesia tanpa perlu khawatir karena yang sangat dibutuhkan oleh bangsa ini adalah keterbukaan dan ketulusan hati untuk menarasikan apa yang sebenarnya terjadi. Mari selesaikan kepingan peristiwa masa lalu dengan lapang dada dan perdamaian. Saya memiliki optimisme bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemaaf bukan pendendam.
0 Response to "Jika Saya Menjadi Prabowo Subianto"
Post a Comment