20 tahun sudah Mahkamah
Konstitusi (MK) Republik Indonesia berdiri dan menjadi pilar penting perjalanan
hidup bangsa Indonesia. Lahir dengan spirit untuk mewujudkan reformasi dengan
menegakkan peradilan kontitusi, MK sejatinya telah banyak melakukan terobosan
positif dalam memastikan bahwa jalannya ketatanegaraan Indonesia sejalan dengan
koridor konstitusi. MK pada prinsipnya lahir dari amanat konstitusi hasil
amendemen ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. Terdapat tiga pasal
konstitusi yang secara eksplisit mendasari pembentukan pengadilan konstitusi di
Indonesia. Antara lain: Pasal 24 ayat 2, Pasal 24C, dan Pasal7B. Amanat UUD
1945 ini kemudian ditindaklanjuti DPR dan pemerintah dengan membentuk UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang MK yang kemudian menjadi dasar hukum terbentuknya MK. Ada
banyak kisah dan pencapaian yang telah ditorehkan MK sepanjang 20 tahun
mengabdi untuk Indonesia. Ada yang positif sekaligus juga ada yang negatif,
semuanya menegaskan cerminan dari hitam putihnya kehidupan yang tidak akan
pernah lepas dari kehidupan umat manusia.
Sumber gambar: mkri.id |
Bahwa MK sebagai lembaga
terhormat itu pasti, bahwa MK pernah terpuruk karena ulah oknum internal MK itu
nyata pernah terjadi. Bahwa memang pernah ada oknum ketua MK yang terjerat
kasus korupsi, bahwa ada oknum hakim MK yang mengubah diktum putusan MK itu
nyata pernah terbukti dan semuanya sudah diproses secara proporsional menurut
kode etik dan hukum positif yang berlaku. Inilah oposisi biner, dua sisi
kehidupan yang akan selalu ada, kadang baik kadang buruk, kadang benar kadang
salah, kadang dipuja kadang dihujat. Meski demikian, hebatnya, dengan kebesaran
hati, insan-insan MK cepat belajar dari kesalahan, mereka segera bangkit dan
membuktikan diri menjadi lembaga yang lebih baik dari yang sebelumnya.
Kini di usia MK yang ke-20,
penulis hanya berharap MK terus menjadi lembaga tinggi negara yang kredibel,
komitmen dengan penegakan konsitusi, dan sungguh-sungguh dalam merealisasikan
tugas pokok fungsi MK dalam memutus sengketa pemilu yang adil, memutus perkara
uji materi undang-undang terhadap undang-undang dasar secara berkeadilan, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara secara fair, memutus pembubaran partai
politik secara objektif, memberi putusan yang sahih serta independen atas
pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden terbukti melakukan
pelanggaran serius terhadap undang-undang yang mengakibakan pemakzulan. Penulis
percaya MK tahu persis bagaimana mewujudkan kedaulatan konstitusi dan
menjunjung tinggi peradabannya.
Hemat penulis, sepanjang 20 tahun
mengabdi untuk Indonesia, MK dikenang positif pernah melakukan langkah-langkah
terobosan yang menguatkan supremasi peradilan Indonesia. Masih sangat jelas
dalam memori penulis saat Ketua MK Mahfud MD di tahun 2009 memutuskan dibukanya
bukti rekaman percakapan Anggodo Widjaja dengan oknum penegak dalam sidang uji
materi UU KPK yang diajukan oleh dua petinggi KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra
Hamzah sehingga kemudian berdampak signifikan terhadap terkuaknya wajah
penegakan hukum di Indonesia yang ternyata penuh carut marut. Peristiwa ini
kemudian menjadi titik balik bagi penegakan hukum di Indonesia. MK menjadi otoritas
terdepan yang mau melakukan gebrakan berani, membuka bukti pelanggaran hukum
Anggodo dan oknum penegak hukum secara transparan demi mendapatkan keadilan
substantif.
Penulis juga masih sangat
terkesan dengan putusan MK dalam memutus polemik sistem pemilu menjadi
proporsional terbuka dari yang sebelumnya proporsional tertutup dengan hanya
memilih partai menjadi proporsional terbuka dengan memilih kandidat calon
legislatif secara langsung. Uniknya, selama dua kali persoalan sistem pemilu
digugat, dua kali pula MK memutus polemik sistem pemiluu dengan putusan yang konsisten,
yaitu sistem pemilu legislatif di Indonesia harus menerapkan sistem
proporsional terbuka penuh (2008 dan 2023). Dengan begini, siapa pun anak
bangsa memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota
parlemen tanpa perlu khawatir terkendala adanya hieraki nomor urut yang ditentukan
partai politik. Mau nomor urut berapa saja tidak masalah, karena yang
menentukan seorang terpilih menjadi anggota legislatif adalah berapa banyak suara
pemilih yang memilih calon tersebut bukan nomor urut berapa calon tersebut. Putusan
MK tersebut sungguh benar-benar mewujudkan keadilan politik bagi warga negara
Indonesia baik terkait hak dipilih atau hak memiliih secara berkeadilan.
Lebih dari itu, penulis perlu
mengapresiasi kolektivitas MK yang semakin hari semakin menunjukkan kinerja
terbaiknya dalam hal mengawal konstitusi Indonesia. Misalnya, MK dengan tegas
menolak uji materi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu
Nomor 7 Tahun 2017 yang menggugat dilarangnya presiden yang sudah menjabat dua
periode untuk menjadi cawapres. Penolakan MK terhadap gugatan tersebut karena jika
gugatan diterima akan berpotensi menjadi jalan bagi seorang mantan presiden dua
periode menjabat tiga periode sehingga demi menjaga konstitusi tidak menyimpang
gugatan uji materi tentang pelarangan presiden yang telah menjabat dua periode boleh
menjadi cawapres harus MK tolak.
MK juga tidak segan membatalkan Pasal
7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang dinilai bertentangan dengan konstitusi karena
membatasi atau melarang bakal calon kepala daerah yang memiliki hubungan darah
dengan dengan kepala daerah petahana maju mencalonkan diri dalam konstestasi
politik elektoral. Sejujurnya, penulis sempat kaget dengan keputusan MK
tersebut. Namun, setelah penulis membaca ulang Undang-Undang Dasar 1945, logika
penulis mulai memahami dan pada akhirnya menerima bahwa putusan MK benar karena
hak dipilih adalah hak asasi setiap warga negara yang tidak dapat dikurangi
atau dirampas sedikitpun−kecuali ada sebab hukum seperti terjerat kasus pidana
korupsi yang membuat hakim mencabut hak politiknya untuk dipilih.
Penulis juga harus angkat topi
dengan ketegasan MK yang berani menetapkan uji materi atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja dengan putusan inkonstitusional bersyarat dan mewajibkan DPR dan
pemerintah memperbaikinya dalam tempo waktu tertentu. Meski status Ketua MK dan
Kepala Pemerintahan saat putusan diambil adalah kakak ipar dan adik ipar, MK nyatanya
tidak ragu menetapkan suatu produk undang-undang yang digagas pemerintah dan
DPR tersebut sebagai inkonstitusional karena memang terbukti ada hal-hal
konstitusional yang ditabrak dalam proses pembentukan undang-undang tersebut
sehingga pada ujungnya undang-undang tersebut layak divonis inkonstitusional.
Lebih lanjut, kini MK sedang
memproses uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
syarat usia seorang warga negara boleh mencalonkan diri sebagai calon presiden
dan wakil presiden yang dibatasi minimal berusia 40 tahun. Hemat penulis,
menjelang pendaftaran bakal capres-cawapres yang akan mulai dibuka pada 19 Oktober─25
November 2023 mendatang, hal ini akan menjadi ujian tersendiri bagi MK, apakah
gugatan terkait batas usia seorang capres-cawapres boleh mendaftar pilpres ini
konstitusional atau tidak? Penulis meyakini para hakim MK profesional sehingga biarkan
waktu yang menjawab.
Dan tujuh bulan lagi, tepatnya
pada 14 Februari 2024, Indonesia akan menggelar pemilu lima tahunan untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta presiden-wakil presiden secara serentak,
penulis memiliki ekspektasi, jika kemudian ada sengketa atas hasil Pemilu 2024
baik itu hasil pemilu legislatif atau pemilu presiden, MK sebagai lembaga yang
berwenang mengadili sengketa pemilu dapat memberikan putusan yang
seadil-adilnya sehingga jalannya roda politik dan pemerintahan untuk periode
2024−2029
benar-benar konsitusional alias sesuai dengan UUD 1945. Semoga!
0 Response to "Merefleksikan 20 Tahun MK Mengabdi: Sebuah Catatan tentang Cinta, Luka, dan Cita"
Post a Comment