Kebijakan Merdeka Belajar
dengan segala program turunannya sudah berjalan kurang lebih empat tahunan.
Dalam pada itu, tentu ada hal-hal positif yang telah ditimbulkan bagi dunia
pendidikan Indonesia dengan adanya Merdeka Belajar. Tulisan ini akan mencoba
merefleksikan Merdeka Belajar dengan pengalaman empiris yang pernah saya lalui
jauh sebelum Merdeka Belajar digaungkan oleh Kemendikbudristek pimpinan Nadiem
Makarim.
Saya ingin mengatakan bahwa
saya puas dengan segala gebrakan pendidikan yang telah dilakukan Nadiem.
Setidaknya, ia telah mengeksekusi idealisme saya tentang bagaimana semestinya
pendidikan Indonesia dikelola dan didorong ke arah kemajuan. Merdeka Belajar
sejatinya sebuah terobosan spektakuler, meski memang harus diakui ide tersebut
bukan ide baru yang murni digagas Nadiem. Ia hanya mempopulerkan ide tersebut
dan menjadikannya sebagai program nasional. Sebagai informasi, Merdeka Belajar
pada dasarnya adalah ide serta gagasan yang pernah ada di era Ki Hajar
Dewantara menjabat sebagai Mendikbud era awal kemerdekaan. Dan pihak swasta
seperti Sekolah Cikal mengadopsinya menjadi ide bisnis dengan nama serupa.
Namun, apa pun itu, saya tetap mengapresiasi langkah baik Nadiem dalam
mentranformasi pendidikan Indonesia menjadi lebih ideal.
Sumber gambar: kemdikbud.go.id |
Bangsa Indonesia sepatutnya
bersukur dengan segala yang telah dilakukan Nadiem dengan kebijakan Merdeka
Belajarnya. Meski memang masih ada kekurangan yang perlu disempurnakan. Namun,
hal tersebut tidak menutupi betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari
Merdeka Belajar yang telah dirintis Nadiem. Mari kita objektif menilai kebijakan
Merdeka Belajar, apakah benar-benar memerdekakan dan memanusiakan anak bangsa
Indonesia? Jawabannya iya. Setidaknya, Merdeka Belajar sudah mengarah ke sana.
Kita bisa menyaksikan dengan saksama anak-anak Indonesia saat ini diajak untuk
bebas mempelajari apa saja yang mereka minati dengan riang gembira dan penuh
suka cita.
Anak-anak juga sudah
dimerdekakan dari belenggu Ujian Nasional (UN) yang tidak efektif meningkatkan
derajat literasi dan numerasi pelajar Indonesia di kancah dunia. Yang terjadi
justru kontraproduktif, UN membuat anak-anak tidak happy, terbebani dan
daya saing pelajar Indonesia jika dilihat dari standar internasional mentok di
situ-situ aja. Merdeka Belajar merevolusi semua itu, murid dan guru diberi
kemerdekaan yang seluas-luasnya. Urusan asesmen atau evaluasi pencapaian
belajar siswa sepenuhnya menjadi wewenang guru yang mendidik, bukan lagi
ditentukan oleh rutinitas tahunan Kemendikbudristek dengan mengadakan UN yang
memakan angggaran besar dan sarat kontroversi serta penyimpangan. Sampai di
sini, menurut saya, Merdeka Belajar sukses mengubah kultur pendidikan Indonesia
selangkah lebih keren. Guru yang mengajar langsung di kelas benar-benar
diberikan otoritas penuh untuk mengevaluasi pencapaian belajar murid yang
didiknya.
Melihat apa yang sedang
berlangsung dalam dunia pendidikan nasional saat ini, sesungguhnya saya merasa de
javu. Saya seperti pernah mengalaminya meski waktu dan dimensinya berbeda. Namun,
substansinya sama. Merdeka Belajar yang pernah saya alami lingkupnya swasta dan
lokal. Dikatakan demikian karena saya adalah hasil produk kurikulum
nonpemerintah yang hingga saat ini masih bertahan. Pada masa saya mengenyam
pendidikan sekolah, saya sudah diajarkan pentingnya kebebasan mempelajari
sesuatu sesuai dengan bakat minat dan kecenderungan. Bahkan dari jenjang
SMP-pun saya dan teman-teman pada waktu itu, sudah dibebaskan mempelajari apa
pun sesuai minat. Jadi, saya sudah terbiasa memilih sesuatu sesuai dengan
kencenderungan dan menjalankannya dengan gembira serta penuh tanggung jawab.
Sebagai contoh, saat saya masih siswa SMP saya sudah memiliki kebebasan untuk
belajar menulis serta bahasa asing dan sekolah saya memfasilitasi hal tersebut.
Lebih lanjut, semasa saya
sekolah belasan tahun yang lalu, sekolah saya tidak mengikuti ujian nasional
karena kurikulum yang dipakai adalah kurikulum mandiri bukan kurikulum nasional
seperti KBK, KTSP dan K13. Praktik
baiknya, evaluasi belajar siswa serta kelulusan murni dilakukan oleh guru-guru
yang mengajar langsung di kelas. Meski begitu, tidak ada kecurangan selama
proses ujian karena bagi yang terbukti curang benar-benar dikenakan sanksi yang
sangat tegas. Sanksinya sangat edukatif berupa shock teraphy seperti
siswa pelanggar wajib membacakan surat pernyataan bersalah dan berjanji di
depan warga sekolah untuk tidak mengulangi pelanggaran, digunduli, skorsing, dan
mengulang ujian dengan soal berbeda.
Jadi, hasil ujian yang
diperoleh saya dan teman-teman waktu itu benar-benar mencerminkan hasil kerja
keras yang sesungguhnya. Jika mendapat nilai sembilan memang benaran layak
mendapat sembilan bukan karena menyontek dan lainnya. Dan jika mendapat nilai
lima memang beneran nilainya lima sesuai dengan kemampuan menjawab soal ujian.
Dan saya tidak memilikii ijazah SMP-SMA dengan transkrip nilai UN. Ijazah dan
transkrip saya dari SMP-SMA pun terbitan sekolah, tidak berlambang garuda
karena bukan ijazah dan transkrip terbitan pemerintah, namun, istimewanya
negara mengakui legalitas ijazah dan transkrip yang dikeluarkan oleh sekolah
saya tersebut.
Apa yang saya rasakan selama enam tahun mengenyam pendidikan sekolah menengah dan atas dengan kurikulum nonpemerintah cukup berdampak terhadap kehidupan saya berikutnya khususnya saat saya mengenyam pendidikan tinggi dan setelahnya. Saya terbiasa mandiri, kritis, bertanggung jawab dengan pilihan sendiri, bersikap apa adanya, serta mengedepankan proses dan jerih payah. Dengan merefleksikan pengalaman saya ditempa dengan iklim pendidikan yang mirip dengan kebijakan Merdeka Belajar yang digagas oleh Mendikbusristek Nadiem saya optimis masa depan pendidikan Indonesia cerah. Anak-anak Indonesia menjadi unggul karena mereka mereka sudah diberi kemerdekaan menentukan masa depan dengan mempelajari apa yang mereka sukai tanpa paksaan. Dan menariknya, negara benar-benar memfasilitasi hal tersebut.
Anak-anak Indonesia juga tidak saja akan unggul dalam hal kognitif dan keterampilan. Mereka juga akan unggul secara emosional, karakter, dan spiritual. Hal ini karena pemerintah menyertakan profil pelajar Pancasila dalam program Merdeka Belajar. Sederhananya, pendidikan Indonesia di tangan Nadiem sudah berada di jalur yang benar. Memang demikianlah, praktik pendidikan Indonesia semestinya diwujudkan. Jangan hiraukan pihak-pihak yang menolak terjadinya revolusi pendidikan Indonesia! Bersamaan dengan momentum Hardiknas 2023, saya berharap Merdeka Belajar terus bergerak memajukan pendidikan nasional. Semoga!
0 Response to "Merefleksikan Empat Tahun Merdeka Belajar"
Post a Comment