Beberapa waktu terakhir saya menahan diri untuk tidak menulis
tentang perang Rusia-Ukraina karena saat pertama kali saya mencoba menulis
khusus tentang hal tersebut dan mempostingnya di blog pribadi saya langsung
disurati Google dan mengancam akan membekukan postingan di blog saya. Menurut Google,
saya berpihak pada Rusia yang dianggap Google sebagai musuh bersama yang harus
dilawan. Okelah saya turuti kemauan Google, postingan yang telah tayang saya
hapus. Pertanyaannya, bagaimana jika sekarang saya menulis lagi tentang perang
Rusia-Ukraina? Apakah masih akan disomasi Google? Kita lihat saja setelah ini.
Sumber: Wikipedia Free Picture |
Saya ingin menyampaikan bahwa perang Rusia-Ukraina tidak
berdiri sendiri. Perang dua negara yang pernah bersatu tersebut jika dianalisis
secara jernih sungguh sangat pelik. Pemicu dasarnya adalah rasa tidak nyaman
Rusia terhadap Ukraina dan negara-negara Barat yang terus memprovokasi Rusia
dengan perluasaan keanggotaan NATO ke negara-negara Eropa Timur eks Uni Soviet.
Ukraina bahkan dijanjikan akan menjadi anggota NATO dalam KTT NATO di
Bucharest, Romania tahun 2008. Janji surga akan dijadikan sebagai anggota NATO
inilah yang membuat Ukraina lebih nyaman bergaul dengan negara-negara Barat daripada
dengan Rusia. Ukraina bahkan membuat langkah-langkah taktis agar segera menjadi
anggota NATO. Tidak sekadar ingin menjadi anggota NATO, Ukraina rupanya juga
berambisi menjadi anggota Uni Eropa, sebuah blok kerja sama ekonomi politik
negara-negara Eropa.
Dilihat dari kacamata Ukraina, memang tidak ada yang salah
dengan semua manuver yang dilakukan Ukraina. Namun, akan berbeda jika dilihat
dari kacamata Rusia, pewaris puing-puing kebesaran Uni Soviet. Bagaimanapun,
dalam perspektif Rusia utamanya dalam sudut pandang Presiden Rusia, Vladimir
Putin, Ukraina masih dianggap satu identitas dengan Rusia sehingga Rusia tidak
rela Ukraina lebih dekat ke Barat serta berapling meninggalkan Rusia. Dalam
pengakuannya di artikel yang ditulis panjang lebar berjudul ”On the Historical
Unity of Russians and Ukrainians“, Putin mengidentifikasi Ukraina sebagai saudara Rusia
dan ia bertekad akan mengembalikan kejayaan Uni Soviet yang keruntuhannya ia
anggap sebagai tragedi geopolitik terbesar di abad ke-20. Salah satu Langkah
nyata yang dilakukan Putin untuk mewujudkan ambisi mengembalikan kejayaan Uni
Soviet adalah dengan melindungi Ukraina tidak menjadi anggota NATO apa pun
caranya. Hal ini cukup beralasan, secara strategis, Ukraina adalah negara
penyangga, halaman belakang Rusia yang menjadi vital bagi pertahanan dan
keamanan Rusia.
Apa jadinya jika Ukraina menjadi anggota NATO? Tentu akan
memungkinkan segala logistik persenjataan seperti nuklir dan personil militer
negara-negara NATO bisa leluasa berada di wilayah Ukraina. Hal inilah yang
dianggap oleh Rusia sebagai ancaman terhadap kedaulatan mereka. Rusia tidak mau
diusik oleh NATO. Kalau dinalar masuk akal juga, analoginya,, bagaimana
perasaan Amerika Serikat jika seumpama Meksiko beraliansi dengan Rusia dan
Rusia menempatkan pangkalan militernya di wilayah Meksiko yang notabene
merupakan negara penyangga Amerika Serikat? Pasti Amerika Serikat akan merasa
tidak nyaman juga. Inilah yang dirasakan Rusia selama bertahun-tahun. Rasa
ketidaknyamanan Rusia ini menemukan momentum ketika pada akhirnya Rusia
menerima permintaan tolong dari para pemberontak di Luhansk dan Donetsk, dua
wilayah di Ukraina yang ingin memerdekakan diri dari Ukraina yang diwujudkan
dengan dimulainya operasi militer khusus Rusia ke Ukraina pada 24 Februari
2022.
Semenjak invasi resmi dilancarkan Rusia terhadap Ukraina hingga
kini negara-negara Barat pro-Ukraina ramai-ramai menjatuhkan sanksi terhadap
Rusia, mulai dari sanksi ekonomi, sosial, politik hingga yang paling esktrem
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berbasis di Den Haag, Belanda memerintahkan
kepada negara-negara ICC agar menangkap Vladimir Putin jika ia berkunjung ke
negara mereka. Namun, apakah semua hal tersebut efektif menghentikan perang
Rusia terhadap Ukraina? Jawabannya, tidak. Rusia tidak mempan dengan segala
sanksi negara-negara Barat. Buktinya, sampai saat ini Rusia masih survive,
masih berdiri tegak sebagai negara bangsa yang berdaulat yang tidak kekurangan
sedikit pun.
Mereka mungkin lupa kalau Rusia itu adalah negara berdikari
yang secara fundamental ekonomi tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara
lain yang belum atau tidak berdikari karena masih harus bergantung pada bantuan
lembaga dunia seperti IMF atau World Bank. Ingat, ini Rusia, bukan Sudan, bukan
Afganistan, bukan Somalia, bukan pula Sri Lanka dan sebagainya. Ingat juga,
Rusia bukan anggota ICC, Rusia tidak terikat dengan ICC alias terlepas dengan
segala yurisdiksi ICC. Jadi jangan bermimpi mau menangkap Vladimir Putin yang
dinilai sebagai penjahat perang. Kalaupun ini benar, bagaimana dengan kekejaman
Israel yang sekian dekade mencaplok bumi Palestina, membunuh bangsa Palestina?
Bagaimana juga dengan kezaliman Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden
George Herbert Walker Bush junior yang melakukan invasi ke Afganistan tahun
2001 dan invasi ke Irak tahun 2003? Mengapa hanya kepada Rusia ICC bersikap
beringas namun tidak kepada Israel dan Amerika Serikat? Nalar sehat tentu akan
meminta ICC tidak memainkan standar ganda agar dunia benar-benar adil dan berimbang.
Dunia tidak saja dimiliki oleh negara-negara Barat sehingga selain
negara-negara Barat akan diperlakukan seenaknya. Hal-hal seperti ini yang perlu
dikritisi untuk memastikan bahwa keadilan sosial bagi penghuni bumi itu
benar-benar ada dan tatanan dunia tidak hanya dimiliki atau dimonopoli oleh
Barat. Mari bernalar sehat!
0 Response to "Perang Rusia-Ukraina dan Pentingnya Bernalar Sehat"
Post a Comment