Saya ikut merasakan bagaimana getirnya 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang secara resmi akan diberhentikan secara hormat dari KPK pada 30 Spetember 2021 mendatang. Mereka dipaksa mengakhiri pengabdian memberantas korupsi dengan dalih tidak memenuhi syarat dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang penuh kontroversi tersebut. Kehilangan pekerjaan tentu sangatlah menyedihkan, apalagi jika berkarir di KPK merupakan idealisme tertinggi mereka untuk ikut berbakti pada negeri dengan memberantas korupsi, pasti akan sangat menyesakkan, meyakitkan sekali. Saya sebagai orang yang berada di luar sistem hanya bisa mengikuti dan mendoakan yang terbaik buat para pejuang pemberantasan korupsi tersebut. Jika saja saya memiliki otoritas untuk bisa mengubah keadaan, tentu akan saya gunakan untuk membatalkan pemberhentian mereka. Namun, apalah daya, saya hanya orang biasa yang tidak memiliki wewenang apa pun. Saya hanya bisa memberikan dukungan moril melalui tulisan ini, dengan harapan masih ada harapan atau kebijaksanaan yang dapat menganulir keputusan para komisioner KPK memberhentikan para pegawai tersebut.
Sumber: kompas.com |
Belum terlambat bagi Presiden Joko Widodo untuk membuktikan komitmennya yang berjanji akan mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi dan penguatan KPK. Praktis, dengan dipecatnya para pegawai yang terbukti berkinerja baik dan berintegiras di atas, KPK tentu akan kehilangan SDM mumpuni dalam agenda pemberantasas korupsi. KPK akan kehilangan penyidik senior sekelas Novel Baswedan yang terbukti memiliki prestasi gemilang di bidang pemberantasan korupsi, KPK juga akan kehilangan raja operasi tangkap tangan (OTT) sekelas Harun Al-Rasyid, KPK juga akan kehilangan orang keren seperti Giri Suprapdiono, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK nonaktif. KPK juga akan kehilangan anak-anak muda milenial yang memiliki semangat mengabdi pada pemberantasan korupsi seperti Yudi Purnomo, Tata Khoiriyah, Riswin, dan sebagainya. Bagi saya orang-orang seperti mereka itu aset yang mestinya dijaga bukan malah dibuang dan dicampakkan.
Di titik ini nurani kebangsaan saya sangat berkecamuk, bagaimana bisa mereka yang sudah terbukti integritas dan pengabdiannya disingkirkan dengan alasan tidak masuk akal: dianggap tidak memiliki wawasan kebangsaan. Separah apa pengetahuan mereka tentang bangsa dan negara ini hingga dicap seperti itu? Bukankah mereka sebelumnya sudah melewati serangkain seleksi ketat saat awal mula akan masuk menjadi pegawai KPK dan kemudian harus dipecat dengan alasan yang mengada-ada? Bukankah Presiden Jokowi sudah bilang bahwa tes alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan mereka? Lalu mengapa mereka akhirnya harus juga dirugikan? Inilah pertanyaan kritis saya merespon keganjilan yang mengusik pikiran saya akir-akhir ini.
Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa pihak telah mengupayakan hal-hal konkret demi untuk menyelamatkan para pegawai KPK yang akan dilengserkan tersebut. Secara yuridis, Mahkamah Konstitusi (MK) memang menolak uji materi Pasal 69B ayat 1 dan Pasal 69C tentang Peralihan Status Pegawai KPK Menjadi ASN yang dianggap tidak berdasar menurut hukum. Mahkamah Agung (MA) juga menolak uji materi tentang Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang memuat aturan TWK. Namun demikian, ada dua lembaga lembaga independen (Komnas HAM dan Ombudsman RI) yang memiliki temuan mengejutkan terkait TWK dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa ada 11 pelanggaran prinsip-prinsip HAM dalam TWK yang diadakan KPK seperti adanya stigmatisasi terhadap orang-orang tertentu, pelabelan Taliban yang belum terbukti kebenarannya, menanyakan hal-hal sensitif menyangkut privasi personal yang tidak ada korelasinya dengan TWK. Kesimpulannya Komnas HAM menyampaikan bahwa pelanggaran nilai-nilai HAM dalam proses TWK yang diadakan KPK adalah adanya pelanggaran hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi (ras dan etnis), hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi publik, hak atas privasi, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintah, dan hak atas kebebasan berpendapat. Adapun Ombudsman RI menyampaikan bahwa terjadi maladministrasi dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN.
Semua upaya dan ikhtiar sudah dilakukan, hasilnya orang-orang baik dan berkinerja cemerlang itu kini tinggal menghitung hari untuk diusir dari KPK, tempat mereka mengabdi dan mempertaruhkan hidup. Saya masih berharap keajaiban itu ada, Presiden Jokowi sebagai panglima dan pembina tertinggi kepegawaian di negeri ini semoga tergugah untuk memveto keputusan para komisioner KPK yang dengan bulat memecat 57 pegawai KPK karena dinilai tidak lulus TWK dan akan resmi berlaku per 30 September 2021. Tulisan ini hanyalah sebuah ekspresi rasa simpati saya terhadap 57 pegawai KPK yang akan kehilangan kesempatan memberikan pengabdian terbaiknya dalam memberantas korupsi di negeri ini.
0 Response to "Simpati untuk 57 Pegawai KPK Nonaktif"
Post a Comment