Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam, unik, strategis, dan penuh dengan warna-warni kehidupan. Secara geografis, Indonesia berada di persimpangan dunia yang menghubungkan dunia barat dan timur. Hal ini sebagai konsekuensi Indonesia berada di antara dua benua (Asia-Australia) dan di antara dua samudra (Hindia-Pasifik). Istimewanya lagi, Indonesia dilalui oleh garis ekuator yang menjadikan Indonesia beriklim tropis alias tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Secara demografi, menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, Indonesia memiliki 1331 suku, 6 agama yang terdiri dari Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Adapun data menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berdasarkan pemetaan serta verifikasi, jumlah bahasa daerah di Indonesia sebanyak 652 bahasa daerah. Dengan melihat fakta-fakta di atas kita dapat mengetahui bahwa Indonesia adalah bangsa yang benar-benar sangat bineka. Tidak ada keraguan akan hal itu. Lalu kekayaan bangsa ini harus kita apakan setelah kita sadar bahwa Indonesia kita adalah bangsa yang majemuk? Tulisan ini akan mencoba mengeksplor pertanyaan di atas secara objektif empiris berdasarkan riset dan pengalaman penulis.
Mensyukuri
Kebinekaan Indonesia I
Saya ingin memulai
paragraf ini dengan narasi bahwa saya lahir di Pamekasan dan beretnis Madura.
Namun, jika harus menentukan pilihan mau jadi orang Madura atau orang
Indonesia, saya lebih memilih menjadi orang Indonesia. Mengapa demikian? Karena
jika memilih menjadi orang Indonesia otomatis di dalamnya ada Madura, berbeda
halnya jika saya hanya memilih Madura saja, maka belum tentu ada Indonesia di
dalamnya.
Saya tidak sedang
bercanda atau melebih-lebihkan. Pilihan saya di atas setidaknya berdampak
terhadap kehidupan keseharian saya. Saya bersyukur berkat perspektif nasionalis
yang saya terapkan selama ini, saya ditakdirkan bisa bertemu dengan banyak anak
bangsa dari suku-suku lain, berkunjung ke pulau-pulau terluar Indonesia,
belajar lebih dari satu bahasa daerah, menikmati ragam corak budaya seperti
kesenian daerah, mulai dari tarian, kuliner, busana khas, dan sebagainya. Dan
semuanya cuma-cuma alias bebas biaya, saya hanya bawa badan dan misi kebangsaan.
Saya pernah dua tahun hidup bersama orang Sunda dan satu tahun bersama orang
Melayu. Pengalaman hidup sekian tahun bersama orang Sunda membuat saya sedikit
banyak mengerti bagaimana kehidupan di bumi Priangan. Pengalaman hidup bersama
warga Melayu di perbatasan Indonesia-Malaysia Timur selama semusim membuat saya
semakin tersadar betapa melimpahnya kekayaan yang dimiliki Indonesia.
Ketika saya harus
hidup bersama warga Sunda di Kabupaten Garut saya dapat mengenal secara dekat
kondisi geografis, potensi alam, adat istiadat, bahasa, tradisi, kesenian,
makanan Garut, dan merasakan langsung bagaimana semua hal tersebut. Misalnya, saya
tahu di mana itu gunung Guntur, Cikuray, Papandayan yang membuat iklim di Garut
terasa sejuk. Saya juga belajar bahasa Sunda dari warga Garut, mempraktikkan
langsung dalam kehidupan sehari-hari bersama mereka. Saya juga dapat menikmati
makanan-makanan asli Garut seperti pungpa singkatan tepung beras dicampur
kelapa, seblak, cireng, godeblak, merasakan lezatnya gepuk Garut, dodol Garut, mengetahui
langsung lucunya domba Garut yang ikonik tersebut, mengenal kesenian Sunda
seperti pencak silat, angklung, dan sebagainya. Dalam hati dan perasaan saya,
sungguh ini karunia luar biasa yang Tuhan berikan kepada bangsa Indonesia untuk
disyukuri dengan bahasa tindakan. Dan saya mencoba mewujudkannya dengan praktik
langsung, menerima apa yang ada di hadapan saya seperti keunikan bangsa yang
ada di Garut serta menikmatinya.
Lalu apa lagi yang
saya lakukan dalam rangka mensyukuri keberagaman bangsa saat saya memiliki
kesempatan hidup bersama warga Garut selain hal di atas? Yang saya lakukan
sebagai wujud syukur diberi kepercayaan oleh otoritas pemerintah melalui
Kementerian Pemuda Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk mengemban misi
kebangsaan, kepemimpinan, dan kepeloporan pemuda yang ditugaskan di desa
penugasan adalah saya mencoba menjawab amanah tersebut dengan menyusun
program-program membangun serta melibatkan partisipasi aktif warga desa binaan
dalam pelaksanaannya seperti pemuda desa, kader perempuan desa, aparat
pemerintah desa, dan sebagainya. Kebetulan, saat itu saya ditugaskan ditugaskan
di Desa Tanjungkarya Kecamatan Samarang Kabupaten Garut.
Bekerja bersama
orang-orang baru dengan latar belakang dan identitas beragam di mana sebelumnya
belum pernah saling kenal sungguh sangat
menggembirakan sekaligus menantang. Dikatakan demikian karena saya harus
segera beradapatasi, mempelajari karakteristik mereka sehingga saya dapat masuk
ke tengah-tengah mereka dengan cepat, dan membangun kolaborasi yang saling
menguntungkan semua pihak. Di bidang kepemudaan saya mencoba menghidupkan organisasi
kepemudaan desa seperti karangtaruna desa yang sempat mati suri karena tidak
ada yang menggerakkan. Saya gerakkan para tokoh muda di desa saya bertugas
untuk melangkah bersama-sama membangun kemajuan desa. Hasilnya, mereka menyambut
antusias, organisasi pemuda yang sebelumnya sempat mati suri bangkit dan
berjalan lagi. Selain itu juga, saya berdayakan anak-anak muda desa dengan membentuk
kelompok usaha pemuda produktif (KPP), saya ajak mereka membangun usaha mikro
bersama berbasiskan potensi kuliner setempat. Saya beri mereka insentif modal
untuk dikelola bersama dengan perjanjian bagi hasil dan bagi rugi. Hasilnya
cukup memuaskan, mereka sangat mendukung program tersebut, dan tidak sedikit
dari mereka yang merasa terbantu karena merasa diberdayakan.
Di bidang
pemerintahan desa, saya dampingi para aparat pemerintah desa bekerja,
memberikan mereka pelatihan peningkatan kapasitas seperti di bidang IT,
penyusunan tata naskah dinas, sosialisasi undang-undang desa, dan pendampingan
pelayanan publik. Saya juga gerakkan kader perempuan desa dengan melibatkan
mereka dalam kolaborasi bersama mengedukasi masyarakat agar peduli dengan masalah-masalah
kesehatan seperti ancaman narkoba, kematian ibu dan bayi, pentingnya hidup
bersih, dan sebagainya. Selain itu, saya juga aktif mengajar di sekolah dasar
dan menengah yang ada di desa. Berinteraksi dengan anak-anak bangsa, berbagi
ilmu, pengalaman, dan semangat bersama mereka bagi saya adalah hal yang sangat
esensial karena saya dapat mengajarkan nilai-nilai Pancasila dan praktik
terapannya langsung kepada mereka. Bagaimana bisa seorang bersuku Madura,
pendatang baru, tidak pernah saling kenal sebelumnya mau mengajar anak-anak keturunan
suku Sunda. Jawabannya bisa, karena kecintaan terhadap Indonesia lah yang
memungkinkan segala yang dianggap tidak mungkin. Setidaknya itu yang saya
lakukan saat harus melaksanakan misi kebangsaan selama dua tahun di Kabupaten
Garut.
Mensyukuri
Kebinekaan Indonesia II
Setelah selesai
menjalankan amanat kebangsaan di bumi Sunda, Tuhan masih memberi saya
kesempatan untuk melanjutkan misi kebangsaan di belahan bumi Nusantara lainnya.
Kali ini adalah bumi Melayu, tepatnya Kabupaten Natuna yang menjadi tujuan saya
berikutnya. Saya bersyukur pernah dipercaya oleh Yayasan Gerakan Indonesia
Mengajar menjadi Pengajar Muda yang ditugaskan untuk mengabdi sebagai relawan
guru selama satu tahun di pulau yang benar-benar terisolir dari kenyamanan
hidup, jauh dari zona enak di mana pada saat itu listrik belum masuk, lauk pauk
susah, alat transportasi melarat, apalagi mesin ATM. Jadi, jangan pernah
membayangkan akan serba ada layaknya di kota. Melalui perantara ini, saya dapat
mengetahui serta merasakan langsung bagaimana kondisi Indonesia yang
sesungguhnya. Bahwa memang benar Indonesia bukan hanya Jawa, namun juga yang
ada di pinggiran seperti halnya di Desa Pulau Kerdau, Kecamatan Subi, Kabupaten
Natuna, tempat saya pernah belajar mencintai Indonesia walau hanya satu tahun. Jika
dicari di peta nasional, Pulau Kerdau tidak akan pernah tampak seperti layaknya
pulau-pulau besar yang lazim ditemui di peta. Hal ini karena saking mungilnya
kondisi pulau, luasnya hanya 2,4 km2, jumlah penduduknya hanya
sekitar 200 jiwa, di pulau setitik itulah saya pernah hidup dan menempa diri,
belajar bahasa Melayu, mengenal budaya Melayu seperti tari persembahan, mencicipi
kuliner Melayu seperti bingke, kernas, nasi lemak, dan menjadi warga Melayu. Selama
semusim saya menjadi guru bantu di sebuah sekolah dasar negeri satu-satunya
yang ada di pulau tersebut. Di sekolah ini saya mengajar 27 anak yang dalam
perjalanannya berkurang menjadi 26 anak karena satu anak murid mengajukan
pindah sekolah lantaran mengikuti orang tuanya yang hijrah ke Pulau Kalimantan.
Dalam durasi waktu pengabdian yang hanya satu tahun ini, saya berupaya sekeras tenaga untuk memberikan apa pun yang saya miliki guna mengakselerasi kemajuan pendidikan anak-anak bangsa di pulau tersebut. Saya menerapkan konsep edukasi terapan yang saya yakini akan ampuh mengatasi ketertinggalan yang ada. Ide edukasi terapan tercetus karena saya perhatikan praktik pendidikan di pulau tersebut ternyata hanya puas sampai di tataran teori/pengetahuan alias di permukaan saja. Guru-guru enggan bereksperimen, kurang berinisiatif mengajak dan memberikan anak-anak media berlatih serta mengembangkan diri secara lebih mendalam dari apa yang mereka dapatkan di dalam kelas. Karena itulah saya mengambil langkah korektif, membuat terobosan-terobosan konstruktif guna merangsang anak-anak bisa berkembang sebagaimana anak-anak yang ada di perkotaan.
Saya menggunakan metode mengajar fun learning dan participatory, yaitu mengajar dengan cara yang menyenangkan melalui metode-metode kreatif sekaligus menjadikan anak sebagai subyek dalam setiap pembelajaran. Mengingat anak-anak yang saya didik mayoritas adalah anak-anak dengan kecerdasan naturalis di atas rata-rata maka saya juga menggunakan pendekatan naturalis, seperti belajar di alam terbuka, praktik langsung mengamati alam sekitar serta menjadikannya sebagai sahabat terdekat. Saya juga mengenalkan kepada anak-anak kecerdasan naturalis lain selain kecerdasan maritim yang sudah tentu sebagai anak pulau mayoritas mereka sudah memilikinya. Adalah kecerdasan botani, yaitu kecerdasan menanam. Saya ajarkan anak-anak untuk menanam sayur, saya beri mereka wadah menanam (polybag) dan benih untuk ditanam bersama-sama. Saya dampingi mereka.
Saya mencoba membuka paradigma berpikir mereka yang selama ini terlanjur menganggap bahwa tanah pulau yang berpasir itu tidak bisa ditumbuhi oleh sayuran dengan praktik langsung guna membuktikan bahwa anggapan tersebut tidaklah benar. Hal ini terjadi karena mereka tidak tahu ada teknik khusus untuk menjadikan tanah pulau yang berpasir itu bisa ditanami sayuran, yaitu tanah yang berpasir dibakar terlebih dahulu. Untuk itulah saya berikan contoh nyata, sampah-sampah yang saya miliki saya kumpulkan untuk dibakar di samping tempat tinggal saya, tidak dibuang ke laut. Dengan begitu semua mata bisa melihat apa yang saya praktikkan dengan harapan bisa ditiru, tidak ada lagi yang membuang sampah ke laut.
Dan tanah hasil bakar itulah yang saya jadikan sebagai bahan untuk menanam. Walhasil, benih yang saya semai bersama anak-anak menggunakan tanah bakar tersebut tumbuh subur. Hal ini saya maksudkan untuk mengedukasi anak-anak dan warga pulau terkait pentingnya kita peduli dengan laut, peduli dengan alam. Bahwa keamanan laut Indonesia dewasa ini dalam kondisi terancam akibat tumpukan sampah yang dibuang dengan sengaja oleh manusia. Saya tidak lupa menyampaikan bahwa jika kita terus biarkan kebiasaan buruk di atas terus terjadi bukan tidak mungkin sumber nafkah masyarakat pulau yang notabene berasal dari laut berupa ikan dan sejenisnya juga akan terancam.
Selain itu, dalam konteks edukasi terapan saya juga mewujudkan misi pembangunan karakter dan literasi. Bagi saya, mengajar anak SD tidak perlu aneh-aneh, anak-anak usia sekolah dasar mutlak membutuhkan pembangunan karakter dan literasi sebagai pondasi mereka mengenyam pendidikan tingkat menengah, atas, perguruan tinggi, serta pondasi mengarungi kehidupan keseharian. Jika pondasi ini kuat, maka bangunan pendidikan berikutnya akan semakin kokoh. Bagaimana wujud pembangunan karakter dan literasi yang saya implementasikan? Konkretnya adalah saya dan murid-murid saya membuat kesepakatan bersama. Sebelum pukul 07.00 WIB saya wajibkan diri saya dan anak murid sudah berada di dalam perpustakaan. Untuk apa? Untuk membaca selama 15 menit bahan-bahan bacaan yang ada di dalam perpustakaan sekolah.
Anak-anak bebas memilih bahan bacaan. Jika hal ini dilanggar tentu ada konsekuensi yang harus ditanggung sesuai kesepakatan bersama. Setiap pelanggar akan menerima sanksi edukatif yang bisa dipilih sendiri seperti merapikan rak buku perpustakaan sekolah, menyapu halaman perpustakaan sekolah, dan lain-lain. Selain ada punishment, setiap bulan saya juga memberikan reward yang diperuntukkan bagi anak-anak yang terdata rajin membaca, gemar meminjam buku perpustakaan sekolah. Hal ini rutin saya terapkan untuk melatih karakter disiplin dan karakter rajin anak-anak serta untuk melatih mereka terbiasa membaca. Harapannya adalah mereka bisa kecanduan membaca. Saya meyakini, jika budaya literasi ini mendarah daging, tradisi membaca menjadi kebutuhan maka akan lahir peradaban baru yang bisa mengangkat derajat kehidupan anak-anak pulau. Dari yang selama ini hanya puas menjadi anak nelayan, puas menjadi anak pulau, saya harapkan bisa menjadi anak-anak berprestasi yang membanggakan.
Bicara tentang prestasi, saya pernah mengenalkan dan membimbing anak murid saya untuk mengikuti seleksi Beasiswa Smart Ekselensia, sebuah program beasiswa dari Yayasan Dompet Dhuafa khusus diperuntukkan bagi anak-anak sekolah dasar yang akan lulus dari kalangan kurang mampu untuk mengenyam pendidikan gratis berkualitas dari bangku SMP sampai perguruan tinggi. Dari tiga murid saya yang mengikuti seleksi administrasi, dua dinyatakan lolos dan diundang untuk mengikuti seleksi bidang studi.
Dan dari dua orang yang mengikuti seleksi bidang studi, satu orang dinyatakan lolos serta diundang ke Kota Batam untuk mengikuti seleksi akhir berupa psikotes dan wawancara. Sayangnya, perjuangan murid saya harus kandas tanpa bertanding karena saat akan mengikuti seleksi akhir di Kota Batam di mana semua akomodasi dan transportasi ditanggung pihak panitia tiba-tiba orang tua murid bersangkutan tidak merestui alias keberatan melepas sang anak. Alhasil, peluang beasiswa yang sudah ada di depan mata hilang begitu saja. Namun demikian, ada hikmah besar di balik kejadian ini, anak-anak, orang tua dan masyarakat sekitar dapat tersadarkan dari pola pikir jumud. Pola pikir mereka selama sekian lama selalu menganggap bahwa untuk lanjut sekolah tidaklah mudah, harus kaya, harus punya banyak modal uang.
Anggapan tersebut tidaklah benar, apa yang dialami oleh salah satu anak didik saya adalah bukti nyata bahwa siapa yang berikhtiar sekalipun tidak kaya bisa berprestasi. Dari kejadian tersebut, masyarakat mulai menyadari bahwa kunci untuk meraih sukses bukan semata soal modal uang, namun yang paling pokok adalah modal kerja keras, prestasi, dan juga doa. Tidak sedikit warga yang bercerita kepada saya, menyampaikan: "Pak, kalau saya ada di posisi orang tua Hamid (murid saya yang nyaris mendapatkan beasiswa) saya tidak akan berpikir dua kali, saya akan izinkan dia berangkat," begitulah kira-kira curahan hati warga sekitar menanggapi keputusan orang tua salah satu murid saya yang membuang percuma kesempatan langka anaknya bisa memperoleh beasiswa.
Terkait pembangunan karakter, saya juga pernah mengusulkan kepada pihak sekolah untuk mengadakan Kantin Karakter satu kali dalam seminggu. Alhamdulillah usul ini akhirnya diterima meski di awal mengalami dinamika penolakan karena khawatir kantin akan merugi dan sebagainya. Dalam berbagai kesempatan musyawarah guru saya sampaikan bahwa anak-anak butuh media untuk berlatih, mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bab Kejujuran jangan hanya puas masuk di kepala anak. Namun, penting juga dilanjutkan dengan praktik nyata sehari-hari. Indonesia saat ini sedang darurat korupsi, banyak oknum pejabat negaa yang tidak amanah, masyarakat banyak yang terjebak perilaku instan ingin mendapatkan sesuatu dengan cara-cara menyimpang seperti memberi suap, gratifikasi, dan hal-hal tidak terpuji lainnya. Karena itulah pendidikan karakter mutlak diperlukan untuk mempersiapkan mental anak-anak yang kelak akan melanjutkan perjuangan bangsa di masa mendatang. Kantin Karakter hanyalah sebuah wadah bagi anak melatih dirinya, berani jujur tidak berbelanja tanpa dijaga.
Pada praktiknya, anak-anak dibebaskan untuk berbelanja, mengambil sendiri uang kembalian di kantin sekolah tanpa ada yang mengawasi. Hasilnya, keraguan akan ide Kantin Karakter tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tidak terbukti. Anak-anak bisa berbelanja mandiri, kekhawatiran akan ada yang curang dan membuat kantin bangkrut juga tidak terbukti. Dari media latihan ini diharapkan anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi-pribadi hebat yang berkarakter dan berintegritas tinggi. Beginilah kiranya cara saya mencintai Indonesia, negeri yang akan selalu saya sayangi. Setahun hidup bersama mereka terlalu singkat untuk dijalani, namun setahun yang singkat itu menjadi sangat mujarab untuk berbuat sesuatu bagi kemajuan pendidikan Indonesia khususnya dari pinggiran. Kini keresahan saya terkait kondisi ketimpangan bangsa sedikit banyak sudah terobati, meski hanya setahun semoga saja bisa berdampak positif bagi anak-anak bangsa dan masyarakat di mana saya pernah bersama mereka.
Lebih dari itu, meski saat ini tidak lagi
bersama mereka, saya bersyukur bahasa Sunda dan Melayu sampai saat ini masih
membekas di memori saya. Sesekali saya kadang rindu dan terngiang dengan mereka.
Mengenang kebersamaan dengan mereka semakin menguatkan rasa keindonesiaan saya,
bahwa nikmat terbesar bangsa Indonesia adalah keberagaman itu sendiri. Inilah
makna mencintai Indonesia dengan tindakan, saya mencoba mewujudkan kecintaan
saya terhadap kebinekaan Indonesia dengan hal-hal aplikatif yang konkret
sebagaimana narasi di atas.
0 Response to "Mencintai Indonesia dengan Tindakan"
Post a Comment