Dua tahun yang lalu (2018) saya berkesempatan menikmati takdir hidup di garis batas negeri. Hari-hari saya jalani di sebuah pulau terpencil yang kalau dicari di peta tidak akan pernah tampak. Kecuali Anda paksa google earth untuk mencarinya maka akan muncul gambar setitik bernama Pulau Kerdau alias Pulau Pendek. Dan tepat di depan pulau ini memanjang sebuah pulau bernama Pulau Panjang. Itulah pulau tetangga terdekat saya. Di pulau pendek inilah saya menghabiskan waktu selama setahun. Hidup saya benar-benar di tengah lautan, kanan kiri, depan belakang semuanya laut. Mau bermain ke pulau tetangga pun harus melewati laut, jadi total laut. Karena hidup di tengah laut, bisa ditebak kan transportasi primadonanya apa? Pompong atau warga pulau menyebutnya dengan istilah 'mutur' adalah moda transportasi andalan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lain kecuali jika tujuan perjalanan harus ke kabupaten atau luar provinsi maka kapal Pelni berkapasitas besar yang menjadi pilihan moda transportasinya.
Hidup setahun di tengah lautan terpencil tidaklah menarik jika tidak menyisakan cerita-cerita unik. Yang unik dari kisah saya hidup di tengah lautan itu adalah terkait cara bertahan hidup, bagaimana mengatur siasat agar terus dapat hidup di tengah takdir keterpencilan pulau. Waktu itu, listrik resmi negara belum ada, sayuran, tahu tempe sangat susah, bisa didapatkan sebulan sekali, itu pun kalau ada perahu yang menuju ke Kalimantan. Jadi sayur dan tahu tempenya sudah tidak lagi segar, karena kelamaan di atas perahu yang harus melewati ombak bergelombang.
Jadi bisa kebayang, ternyata secara geografis pulau tempat saya hidup itu terletak di Laut China Selatan. Adapun negeri terdekat yang bisa disinggahi adalah Malaysia Timur, dan Brunei Darussalam. Keseharian penduduk di pulau saya tinggal itu berbahasa Melayu ala Malaysia Timur, bahkan sebagain besar saudara dari Kades di pulau itu berkewarganegaraan Malaysia. Yang unik lagi, ada satu warga Pulau Kerdau ini yang berjodoh dengan warga Kuching, Malaysia. Jadi, hidup saya setahun itu dapat dibilang berkumpul dengan orang-orang Melayu semi Malaysia. Bisa lah sedikit-sedikit berbicara Malaysia.
Sebagai penghuni perbatasan, maka segala sesuatunya terbatas dan mahal. Mau apa-apa pilihannya ada dua: pesan atau beli sendiri. Dua pilihan itu memiliki konsekuensi yang identik, yaitu sama-sama mahal. Namun begitu, uniknya barang-barang kebutuhan harian seperti sembako beberapa berasal dari Malaysia Timur. Dan jika dibandingkan dengan barang buatan Indonesia pun jauh lebih nyaman dan murah barang Malaysia. Itulah mengapa saya lebih senang berbelanja beras produksi Malaysia daripada beras Indonesia. Jadi, hal yang satu ini tidak akan pernah sirna dari ingatan saya. Fakta mencatat beras yang saya makan selama satu tahun itu mayoritasnya beras Malaysia. Jarang-jarang saya menikmati barang negeri tetangga. Karenanya ini pengalaman berkesan. Dan rasa memang tidak pernah bohong, saat saya bandingkan kualitas beras Malaysia dengan beras Indonesia ternyata beras Malaysia dengan harga yang relatif lebih murah memang jauh lebih enak. Mengapa harganya lebih murah? Jawabannya karena tanpa cukai. Beras itu langsung dipasok dari Sematan Malaysia melalui jalur laut. Para pedagang kulakan beli langsung dari Malaysia. Itulah mengapa beras Malaysia meski lebih murah tetapi kualitasnya di atas beras Indonesia.
Dan yang saya syukuri, ternyata beberapa waktu setelah saya meninggalkan pulau itu beberapa perubahan terjadi. Saat ini sedang dibangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Serasan, sebuah pulau induk dari beberapa pulau kecil yang memiliki fungsi sebagai tempat masuk dan keluarnya kapal-kapal besar, bongkar muat barang, dan sebagainya. Dan ternyata listrik negara juga sudah masuk sepenuhnya ke pulau-pulau terpencil termasuk di pulau terpencil Kerdau. Semoga saja perubahan-perubahan positif itu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sana.
Hidup setahun di tengah lautan terpencil tidaklah menarik jika tidak menyisakan cerita-cerita unik. Yang unik dari kisah saya hidup di tengah lautan itu adalah terkait cara bertahan hidup, bagaimana mengatur siasat agar terus dapat hidup di tengah takdir keterpencilan pulau. Waktu itu, listrik resmi negara belum ada, sayuran, tahu tempe sangat susah, bisa didapatkan sebulan sekali, itu pun kalau ada perahu yang menuju ke Kalimantan. Jadi sayur dan tahu tempenya sudah tidak lagi segar, karena kelamaan di atas perahu yang harus melewati ombak bergelombang.
Jadi bisa kebayang, ternyata secara geografis pulau tempat saya hidup itu terletak di Laut China Selatan. Adapun negeri terdekat yang bisa disinggahi adalah Malaysia Timur, dan Brunei Darussalam. Keseharian penduduk di pulau saya tinggal itu berbahasa Melayu ala Malaysia Timur, bahkan sebagain besar saudara dari Kades di pulau itu berkewarganegaraan Malaysia. Yang unik lagi, ada satu warga Pulau Kerdau ini yang berjodoh dengan warga Kuching, Malaysia. Jadi, hidup saya setahun itu dapat dibilang berkumpul dengan orang-orang Melayu semi Malaysia. Bisa lah sedikit-sedikit berbicara Malaysia.
Sebagai penghuni perbatasan, maka segala sesuatunya terbatas dan mahal. Mau apa-apa pilihannya ada dua: pesan atau beli sendiri. Dua pilihan itu memiliki konsekuensi yang identik, yaitu sama-sama mahal. Namun begitu, uniknya barang-barang kebutuhan harian seperti sembako beberapa berasal dari Malaysia Timur. Dan jika dibandingkan dengan barang buatan Indonesia pun jauh lebih nyaman dan murah barang Malaysia. Itulah mengapa saya lebih senang berbelanja beras produksi Malaysia daripada beras Indonesia. Jadi, hal yang satu ini tidak akan pernah sirna dari ingatan saya. Fakta mencatat beras yang saya makan selama satu tahun itu mayoritasnya beras Malaysia. Jarang-jarang saya menikmati barang negeri tetangga. Karenanya ini pengalaman berkesan. Dan rasa memang tidak pernah bohong, saat saya bandingkan kualitas beras Malaysia dengan beras Indonesia ternyata beras Malaysia dengan harga yang relatif lebih murah memang jauh lebih enak. Mengapa harganya lebih murah? Jawabannya karena tanpa cukai. Beras itu langsung dipasok dari Sematan Malaysia melalui jalur laut. Para pedagang kulakan beli langsung dari Malaysia. Itulah mengapa beras Malaysia meski lebih murah tetapi kualitasnya di atas beras Indonesia.
Dan yang saya syukuri, ternyata beberapa waktu setelah saya meninggalkan pulau itu beberapa perubahan terjadi. Saat ini sedang dibangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Serasan, sebuah pulau induk dari beberapa pulau kecil yang memiliki fungsi sebagai tempat masuk dan keluarnya kapal-kapal besar, bongkar muat barang, dan sebagainya. Dan ternyata listrik negara juga sudah masuk sepenuhnya ke pulau-pulau terpencil termasuk di pulau terpencil Kerdau. Semoga saja perubahan-perubahan positif itu dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sana.
0 Response to "Uniknya Hidup di Perbatasan Negeri"
Post a Comment