Aksara adalah
rangkaian huruf yang menuntun gerak langkah manusia, dengan aksara manusia berdaya, dengan aksara pula manusia mengenal peradaban. Bahkan lebih dari
sekadar itu, dengan aksara pula manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya.
Manusia yang bisa membaca, menulis, dan berhitung tentu berbeda dengan manusia
yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung. Hidup orang yang melek aksara
akan jauh lebih berwarna serta berkualitas dibandingkan dengan orang yang belum
melek aksara. Karena itulah melek aksara menjadi prasyarat mutlak perubahan
hidup suatu bangsa.
Sebagai bangsa
Indonesia, kita patut bersyukur, angka melek huruf masyarakat Indonesia
berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan kebudayaan tahun 2017 berada
di kisaran 97,93 persen. Itu artinya tersisa sekitar 2,07 persen lagi atau ada
3.387.035 juta jiwa (usia 15-59 tahun) yang masih buta huruf (Sumber: lihat di https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/09/indonesia-peringati-hari-aksara-internasional-tahun-2018). Menjadi pekerjaan rumah kita
bersama untuk bisa menuntaskan masalah buta aksara yang menyisakan 2,07 persen
secara nasional. Pertanyaan besarnya sekarang, bagaimanakah solusi ampuh
menanggulangi permasalahan buta aksara yang tersisa 2 sekian persen tersebut?
Melalui tulisan ini saya ingin mencoba berbagi ide terkait langkah terukur
dalam menyelesaikan persoalan buta aksara.
Hemat saya,
dalam menuntaskan ketidakberaksaraan kuncinya ada pada keluarga. Untuk itulah
pendidikan keaksaraan berbasis keluarga sangatlah vital. Mengapa keluarga?
Karena keluarga adalah tempat pertama yang wajib bertanggungjawab terkait baik
buruk, maju mundur anggota-anggota di dalam keluarga itu. Termasuk dalam hal
ini, jika ada dalam suatu keluarga satu orang anggota keluarga yang tidak bisa
baca tulis, tidak mengenal aksara, tidak mengenal angka, maka pimpinan keluarga
yang perlu dicari untuk dimintai tanggung jawab, mengapa ada anggota
keluarganya yang tidak bebas dari kebutaan terhadap huruf dan angka.
Konsep
pendidikan keaksaraan berbasis keluarga saya maksudkan sebagai terobosan
alternatif keluarga ikut berpartisipasi menyelesaikan masalah pokok bangsa di
sektor pendidikan dari lingkungan terdekat, dari lingkungan keseharian
manusia hidup. Bisa dibayangkan jika setiap keluarga benar-benar serius
mengaplikasikan idealisme pendidikan keaksaraan berbasis keluarga ini, saya
optimis angka 3.387.035 juta jiwa (usia 15-59 tahun) yang masih buta
huruf dalam waktu tidak lama lagi menjadi melek aksara semua. Bagaimana cara
teknis mewujudkan idealisme ini?
Setiap pemimpin
keluarga idealnya mengindentifikasi masing-masing anggota keluarganya yang ada
dalam satu rumah; Sudahkah mereka mengenal huruf, melek aksara, melek angka;
apakah sudah bisa baca tulis dan berhitung? Jangan pernah ragu untuk mendata
kemampuan masing-masing anggota keluarga sudah sejauh mana keberaksaraan
mereka. Untuk apa? Untuk ditindaklanjuti dengan konkret setiap masalah
menyangkut ketidakberaksaraan sekiranya ada anggota keluarga yang mengalaminya.
Seorang bapak wajib bertanggungjawab atas keberaksaraan istri, dan
anak-anaknya. Seorang kakak juga wajib bertanggungjawab atas keberaksaraan
adik-adiknya.
Bagaimana jika
yang terjadi malah sebaliknya? Jawabannya, tentu yang mampu bertanggungjawab
atas yang kurang mampu. Tidak ada yang salah jika pada kenyataannya seorang
istri yang bisa baca tulis kemudian mengajari sang suami yang belum bisa. Bukan
masalah jika seorang adik menuntut kakaknya yang mungkin belum lancar baca
tulis. Juga jika ada anggota keluarga lain seperti kakek nenek, om tante, paman
bibi, sepupu, dua pupu, atau yang lain belum melek aksara maka anggota keluarga
yang sudah melek aksara menuntun sosok-sosok yang masih belum bebas dari buta
aksara di atas. Alangkah eloknya Indonesia jika setiap anggota keluarga
memiliki keterpanggilan hati untuk mengambil peran sebagaimana saya paparkan di
atas. Bisa dipastikan masalah pemberantasan buta aksara hanya tinggal menunggu
waktu saja untuk benar-benar berubah menjadi zero illiteracy alias bebas buta aksara.
Pendidikan keaksaraan berbasis keluarga bisa juga dilakukan dengan cara fun
literacy. Bahwa mengajarkan huruf, mengajarkan aksara, mengajarkan
angka haruslah bersifat menyenangkan, tidak monoton dan membosankan.
Cara-cara fun dalam mengajar
keaksaraan bisa dilakukan dengan cara bermain game, seperti misalnya saat mengajarkan huruf S kita ibaratkan
huruf S sebagai ular sedang duduk, mengajarkan huruf O atau angkal 0 kita
umpamakan sebagai telur atau kue donat, mengajarkan huruf I atau angka 1 kita
umpamakan sebagai tiang listrik, mengajarkan huruf Y kita umpakan sebagai
ketapel, dan permisalan-permisalan lainnya.
Lebih dari itu,
pendidikan keaksaraan bisa ditempuh dengan cara menyanyi, merangkai huruf
menjadi kata, game tebak kata dengan memberikan pancingan sebuah gambar polos
untuk diwarnai, lalu minta dituliskan nama benda tersebut kira-kira apa.
Sekadar berbagi cerita, dahulu saya mendapatkan pendidikan keaksaraan
pertama kalinya dari keluarga terdekat, dari ibu bapak saya di rumah. Saya
dikenalkan dengan beragam macam aksara dari A-Z, dikenalkan angka 0-100 jauh
sebelum saya mengenyam pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK). Orangtua saya
mengajarkan huruf dan angka dengan begitu telaten, menggunakan cara-cara
sederhana dan menyenangkan. Hasilnya, saat sudah memasuki TK dan pendidikan
Sekolah Dasar (SD) saya tidak memulai pelajaran baca tulis dan menghitung dari
nol lagi karena sebelumnya sudah pernah mendapatkan materi itu di rumah. Inilah
buah nyata pendidikan keaksaraan keluarga yang saya dapatkan. Bahwa segalanya
berangkat dari lingkungan terdekat, segalanya berawal dari keluarga.
Cara-cara
sebagaimana saya sebut di atas hanyalah gambaran kecil bagaimana pendidikan
keaksaraan berbasis keluarga bisa dengan mudah diaplikasikan. Jika memang ada
cara-cara kreatif lain sangat dipersilahkan untuk dicoba dan dipraktikkan. Misi
kita bersama adalah saling bergotong royong memberantas tuntas sisa 2,07 persen
masalah buta aksara yang ada di negeri tercinta ini. Setiap kita adalah
keluarga, jadi mari pastikan semua elemen keluarga kita sudah melek
akasara! Kalau bukan kita lantas siapa lagi yang mau peduli?
0 Response to "Pendidikan Keaksaraan Berbasis Keluarga"
Post a Comment