Di
tengah semakin derasnya arus kemajuan dunia, ternyata pola pikir sebagian anak
manusia tidak sepenuhnya mengikuti arus kemajuan yang ada. Dunia yang
semestinya penuh kedamaian dan kemajuan dewasa ini malah menghadirkan wajah
yang sebaliknya, aksi barbar dan
terorisme tumbuh subur di mana-mana. Masih segar dalam ingatan kita perilaku
brutal oknum teroris yang menembak mati puluhan jamaah shalat di sebuah masjid
di Christchurch, Selandia Baru beberapa waktu lalu. Masih segar juga dalam
ingatan kita dua hari menjelang hari raya Idul Fitri 1440 H seorang anak muda
berusia 22 tahun nekat meledakkan dirinya untuk merusak pos polisi di Sukoharjo
Jawa Tengah. Inilah realitas dunia saat ini, semakin maju namun tidak berbanding
lurus dengan paradima berpikir manusia yang seharusnya juga berada di titik
maju. Berangkat dari hal ini, adakalanya kita berpikir kritis, mengapa kemajuan
zaman berbanding terbalik dengan kemunduran berpikir manusia? Jawabannya karena
tidak semua manusia zaman now, mengutip bahasa anak muda zaman
sekarang, memiliki literasi agama yang benar. Di sinilah idealisme membumikan
literasi agama mutlak dilakukan sedari dini, apa itu literasi agama dan
bagaimana mewujudkannya?
Literasi
agama dapat dimaknai sebagai pemahaman dan kecakapan bahwa
nafas perjuangan agama adalah untuk menebar rahmat, untuk menyebarkan kasih
sayang, untuk membangun kedamaian, menjaga keamanan, memelihara kerukunan, dan kenyamanan
hidup bersama. Bukan malah melakukan hal-hal yang kontraproduktif dengan
menebar teror, kebencian, dan melakukan tindakan-tindakan merusak, mengganggu
jalannya pemerintahan, menghambat jalannya ibadah orang lain, meneror kehidupan
sosial ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini adalah fundamen
penting yang harus ditanamkan semenjak dini kepada anak-anak, mengingat begitu
banyaknya para pelaku teror yang berasal dari kalangan muda. Dalam analisa
saya, pasti ada yang salah dari para pelaku teror berusia muda itu. Salahnya di mana? Salah asuhan dari lingkungan
terdekat. Untuk itu, dalam semangat membangun literasi agama semenjak dini,
lingkungan terdekat tersebut harus berani mengambil peran. Lantas, harus
dimulai dari mana? Dari lingkungan terdekat, keluarga. Keluarga harus menjadi
yang terdepan sekaligus yang pertama bertanggung jawab atas literasi anggota
keluarga. Keluarga ideal adalah keluarga yang di dalam rumahnya ada
perpustakaan.
Tidak harus besar atau megah, cukup gunakan sudut ruang
tamu atau ruang lainnya sebagai pojok membaca. Lengkapi ruang baca tersebut
dengan almari atau rak yang berisikan bahan-bahan bacaan yang bermutu, bisa
berupa buku-buku bacaan dengan segala genrenya, koran, tabloid, dan sebagainya.
Ajak sanak saudara terdekat kita untuk berlama-lama di ruang baca tersebut.
Kenalkan pada mereka habit membaca, atau bisa juga disepakati dalam satu pekan
berapa kali sehari semua anggota keluarga harus berada di dalam ruang baca
keluarga dengan durasi tertentu untuk membaca. Yang terpenting juga adalah
bahan-bahan bacaan haruslah yang bermutu, jangan suguhi anggota keluarga kita
dengan bacaan yang kontraproduktif, misal bacaan yang penuh dengan narasi
radikalisme ekstrimisme, hal seperti ini sedini mungkin harus dihindari!
Apalagi dari jangkauan anak-anak yang masih dalam tahap pertumbuhan (sisi
intelektual). Sangat berbahaya! Jangan biarkan keluarga kita, anak-anak kita
terpapar paham radikal di usia dini karena absennya peran keluarga. Begitu
banyak anak-anak muda dewasa ini yang berpahamkan radikal, ekstrimis, dan menjadi
teroris karena otaknya tercuci dengan ideologi dan narasi barbar.
Kita tentu
tidak menginginkan ada anak-anak kita yang terpapar virus radikalisme hanya
karena salah membaca. Karena itu, saatnya keluarga terlibat aktif mencegah
masuknya paham menyimpang dengan menjadi penggerak literasi keluarga. Kenalkan
sanak saudara kita bahan literasi yang benar, penuhi perpustakaan keluarga
dengan buku-buku biografi tokoh yang sukses, berpaham moderat, dan sebagainya.
Ajarkan anggota keluarga kita literasi agama yang hakiki. Bahwa nafas
perjuangan agama adalah untuk menebar rahmat, untuk menyebarkan kasih sayang,
bukan teror, kebencian, dan kerusakan. Saya optimis, jika setiap keluarga di
Indonesia pro aktif menjadi penggerak literasi di keluarganya tidak ada lagi
anak-anak yang terpengaruh paham barbar yang merusak.
Lingkungan terdekat lainnya yang memiliki andil penting
dalam menanamkan literasi agama adalah lingkungan sekolah dan perguruan tinggi.
Sebagai suatu entitas formal yang memiliki tanggung jawab mendidik anak-anak
bangsa, sejatinya sekolah dan perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral
untuk juga memahamkan anak-anak didiknya ihwal pentingnya mengamalkan
nilai-nilai agama dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahwa tidak ada satu
agama pun di dunia ini yang melegalkan aksi-aksi keji terorisme. Bahwa semua
agama yang ada mengajarkan cinta kasih dan sikap saling menghargai satu sama
lain. Bahwa perbedaan adalah rahmat yang harus disyukuri bukan untuk dikutuk
dan disesali. Takdir sebagai umat yang beragam adalah sebuah keniscayaan agar
kita saling mengenal, saling merangkul, dan saling memahami. Bahwa untuk
mewujudkan suatu perubahan sosial politik tidak perlu dengan cara-cara biadab
dengan mengebom, bertindak anarkhis, dan membuat keonaran. Melainkan ada
cara-cara elegan konstitusional yang patut untuk dilakukan. Misalnya dengan
dialog dua arah, jalur pengadilan, dan sebagainya.
Selaras dengan semangat di atas, lingkungan masyarakat juga
memiliki peran signifikan dalam upaya membendung paham radikal yang mulai
mengancam sendi-sendi kehidupan kita bersama. Bagaimana tanggung jawab
masyarakat dalam membumikan literasi agama? Hemat saya, tokoh-tokoh agama,
pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat harus memberikan contoh yang baik terkait
praktik beragama yang inklusif, toleran, bersikap terbuka dengan segala
perbedaan, tidak mencaci pemeluk agama lain yang tentu berbeda satu sama lain,
tidak menyalahkan/mengkafirkan pemeluk satu agama yang berbeda paham atau
aliran. Hal ini penting karena akar terorisme adalah radikalisme, yaitu
memandang dirinya paling benar dan yang lain salah sehingga pihak yang berbeda
dianggap kafir yang harus diperangi. Jika para tokoh masyarakat sudah
memberikan pemahaman terkait literasi agama dengan mencontohkannya secara nyata
penulis sangat optimis ideologi teror bisa kita lawan bersama, tidak ada lagi
kawula muda yang terjatuh ke dalam jurang radikalisme dan ekstrimisme.
0 Response to "Lawan Terorisme dengan Literasi Agama"
Post a Comment