Literasi secara dasar dapat dipahami sebagai melek huruf, melek baca. Literasi juga dapat dimaknai sebagai kemampuan mengenal kata, kemampuan menyatakan pendapat, kemampuan menciptakan barang dan jasa. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa literasi adalah pondasi dasar sebuah peradaban, literasi adalah fundamen kemajuan dan kesejahteraan. Siapa pun yang ingin maju, literasilah kuncinya. Mengapa begitu? Karena dengan literasi kita akan membuka jendela-jendela kehidupan yang tertutup. Jika literasi kita kuat, kita tidak mudah dibodohi, tidak mudah terhasut oleh sesuatu yang tidak jelas seperti hoaks, kabar dusta, dan sebagainya. Dengan literasi kita bisa meningkatkan daya saing dengan siapa pun. Karena itu, menguatkan literasi adalah keniscayaan agar derajat dan martabat diri meningkat. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana caranya membangun literasi agar menjadi sebuah budaya yang digemari masyarakat? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan di atas berdasarkan pengalaman empiris penulis sebagai orang yang pernah berperan sebagai penggerak pendidikan di daerah 3T Indonesia (terdepan. terluar, dan tertinggal).
Ingin maju? budayakanlah literasi! bangulah literasi dasar membaca! Saya pribadi yang sangat mempercayai sesuatu yang pernah dialami Nabi Besar Muhammad SAW, bahwa risalah awal kenabiannya dimulai dengan sesuatu yang sangat mendasar, yaitu membaca. Literasi membaca menjadi sesuatu yang pertama kali ditanamkan Allah SWT melalaui Malakait Jibril pada diri Nabi Muhammad SAW, bukan yang lain. Dalam riwayatnya, di dalam pertemuan pertama di Gua Hira beberapa kali Jibril meminta Nabi Muhammad untuk membaca, hasilnya beberapa kali pula sang Nabi menjawab, "aku tidak bisa membaca", hingga Jibril pun mengajari langsung Nabi perihal membaca yang ditandai dengan turunnya lima ayat pertama surat Al-`Alaq. Demikianlah pentingnya membaca, sekelas Nabi pun dipaksa untuk membaca, membaca, dan membaca dengan benar, saksama, dan berkualitas. Dikatakan begitu, karena semenjak peristiwa tersebut, Nabi Muhammad bisa menjadi pribadi yang benar-benar produktif, bisa menyebarkan perintah langit yang diterimanya dengan efektif, berdampak dahsyat, dan menjadikannya sebagai manusia junjungan semesta. Semua berawal dari habit membaca yang diajarkan Allah melalui Jibril. Dalam sejarahnya, setelah kejadian di Gua Hira Nabi Muhammad menjadi pribadi yang kemudian tumbuh pesat, dari yang tidak bisa membaca menjadi intelek, sumber referensi, dan solusi atas persolan-persoalan yang ada di muka bumi.
Dalam pada itu, dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa kita, dewasa ini kita sering mendapati fenomena-fenomena sosial yang cendrung negatif. Masyarakat dengan mudahnya membuat kabar dusta alias hoaks, masyarakat dengan ganpangnya percaya dengan kabar dusta yang ia terima tanpa ditelaah lebih lanjut, meneliti kebenarannya sehingga yang terjadi masyarakat cepat terhasut, masyarakat mudah terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan yang merusak, sinis dengan segala yang berbeda dengan dirinya. Kerusuhan 22 Mei 2019 oleh para perusuh yang mencoba memancing di air keruh aksi demonstrasi penolakan terhadap ketetapan hasil Pemilu 2019 adalah puncak gunung es masalah literasi kita. Bahwa tidak mungkin masyarakat akan menjadi perusuh, provokator, perusak demokrasi kalau budaya literasinya sudah terbangun dengan baik. Harus diakui saat ini Indonesia sedang darurat literasi.
Menurut harian Kompas, berdasarkan data yang dirilis Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjak Kemdikbud) bahwa indeks aktivitas literasi membaca (Alibaca) 34 provinsi yang mengukur empat indikator terkait tercapainya literasi membaca di masyarakat tiap provinsi, yakni antara lain: dimensi kecakapan meliputi melek huruf latin dan menempuh pendidikan. Kedua, adalah akses buku di perpustakaan, taman bacaan, dan penjual buku. Faktor akses mencakup kemampuan membeli surat kabar, majalah, dan tabloid. Dimensi ketiga adalah alternatif, yakni ketersediaan jaringan internet dan kemampuan memakai gawai elektronik. Dimensi keempat adalah budaya melingkupi kebiasaan membaca artikel di media cetak dan elektronik, mengunjungi perpustakaan dan taman bacaan. Dari skala 0-100, diperoleh hasil, dimensi akses dan budaya rendah, yakni 23,09 poin dan 28,50 poin padahal dimensi akses mendapat poin tinggi, yakni 75,92. Dimensi alternatif rendah dengan 40,49 poin. Secara rata-rata, Indeks Alibaca Indonesia hanya 37,32 (Sumber: Dorong Literasi Baca, Kompas,18 Mei 2019). Ini artinya aktivitas literasi membaca kita rendah. Temuan di atas rupanya berkorelasi dengan hasil riset Perpustakaan Nasional 2017, bahwa frekuensi membaca orang Indonesia 3-4 kali per minggu dengan lama membaca per hai 30-59 menit. Juga jumlah buku yang ditamatkan per tahun mencapai 5-9 buah.
Inilah faktanya, sampai detik ini, di usia negara yang mau memasuki ulang tahunnya yang ke-74 mutu literasi kita masih memprihatinkan, jauh dari ideal. Tidaklah mengejutkan jika kemudian dewasa ini masyarakat mudah disulut dan terbakar emosinya. Masyarakat tidak lagi percaya dengan kebenaran data dan fakta, masyarakat tidak lagi mau berpegangan pada akal sehat dan logika. Asal menerima informasi, asal menerima teks, tanpa mau memfilter dan mengkritisi. Idealnya, segala sesuatunya harus disaring, termasuk bahan bacaan yang dibaca, agar apa? agar kemaslahatan dan peradaban senantiasa terjaga. Menyikapi hal ini tentu kita tidak boleh tinggal diam, era post truth seperti sekarang di mana emosi mengalahkan logika, kebohongan mengalahkan kebenaran harus kita lawan dengan sinergi bersama memasyarakatkan literasi dasar membaca. Dimulai dari mana? dari lingkungan terdekat, keluarga. Keluarga harus menjadi yang terdepan sekaligus yang pertama bertanggungjawab atas literasi anggota keluarga. Keluarga ideal adalah keluarga yang di dalam rumahnya ada perpustakaan.
Inilah faktanya, sampai detik ini, di usia negara yang mau memasuki ulang tahunnya yang ke-74 mutu literasi kita masih memprihatinkan, jauh dari ideal. Tidaklah mengejutkan jika kemudian dewasa ini masyarakat mudah disulut dan terbakar emosinya. Masyarakat tidak lagi percaya dengan kebenaran data dan fakta, masyarakat tidak lagi mau berpegangan pada akal sehat dan logika. Asal menerima informasi, asal menerima teks, tanpa mau memfilter dan mengkritisi. Idealnya, segala sesuatunya harus disaring, termasuk bahan bacaan yang dibaca, agar apa? agar kemaslahatan dan peradaban senantiasa terjaga. Menyikapi hal ini tentu kita tidak boleh tinggal diam, era post truth seperti sekarang di mana emosi mengalahkan logika, kebohongan mengalahkan kebenaran harus kita lawan dengan sinergi bersama memasyarakatkan literasi dasar membaca. Dimulai dari mana? dari lingkungan terdekat, keluarga. Keluarga harus menjadi yang terdepan sekaligus yang pertama bertanggungjawab atas literasi anggota keluarga. Keluarga ideal adalah keluarga yang di dalam rumahnya ada perpustakaan.
Tidak harus besar atau megah, cukup gunakan sudut ruang tamu atau ruang lainnya sebagai pojok membaca. Lengkapi ruang baca tersebut dengan almari atau rak yang berisikan bahan-bahan bacaan yang bermutu, bisa berupa buku-buku bacaan dengan segala genrenya, koran, tabloid, dan sebagainya. Ajak sanak saudara terdekat kita untuk berlama-lama di ruang baca tersebut. Kenalkan pada mereka habit membaca, atau bisa juga disepakati dalam satu pekan berapa kali sehari semua anggota keluarga harus berada di dalam ruang baca keluarga dengan durasi tertentu untuk membaca. Yang terpenting juga adalah bahan-bahan bacaan haruslah yang bermutu, jangan suguhi anggota keluarga kita dengan bacaan yang kontraproduktif, misal bacaan yang penuh dengan narasi radikalisme ekstrimisme, hal seperti ini sedini mungkin harus dihindari! Apalagi dari jangkauan anak-anak yang masih dalam tahap pertumbuhan (sisi intelektual). Sangat berbahaya! Jangan biarkan keluarga kita, anak-anak kita terpapar paham radikal di usia dini karena absennya peran keluarga. Begitu banyak anak-anak muda dewasa ini yang berpahamkan radikal, ekstrimis, dan menjadi teroris karena otaknya tercuci dengan ideologi dan narasi barbar. Kita tentu tidak menginginkan ada anak-anak kita yang terpapar virus radikalisme hanya karena salah membaca. Karena itu, saatnya keluarga terlibat aktif mencegah masuknya paham menyimpang dengan menjadi penggerak literasi keluarga. Kenalkan sanak saudara kita bahan literasi yang benar, penuhi perpustakaan keluarga dengan buku-buku biografi tokoh yang sukses, berpaham moderat, dan sebagainya. Ajarkan anggota keluarga kita literasi agama yang hakiki. Bahwa nafas perjuangan agama adalah untuk menebar rahmat, untuk menyebarkan kasih sayang, bukan teror, kebencian, dan kerusakan. Saya optimis, jika setiap keluarga di Indonesia pro aktif menjadi penggerak literasi di keluarganya tidak ada lagi anak-anak yang terpengaruh paham barbar yang merusak.
Selain keluarga, tanggung jawab untuk menumbuhkan budaya literasi juga dimiliki masyarakat. Tidak cukup kita hanya mengandalkan keluarga dengan segala keterbatasannnya, karena itu lingkungan masyarakat juga perlu membangun sentral literasi penunjang. Wujudnya bermacam-macam, bergantung pada kearifan masing-masing masyarakat, bisa dengan mendirikan taman bacaan masyarakat, perpustakaan keliling, lapak membaca. Apalagi sekarang sudah memasuki era dana desa dan dana kelurahan di mana pos-pos keuangan untuk pengembangan kegiatan literasi ada dalam paket anggaran tersebut. Sekadar berbagi, saat saya menjadi fasilitator pengembangan pendidikan di salah satu desa terpencil di Kabupaten Natuna Kapulauan Riau, sebut saja desa itu namanya Desa Pulau Kerdau Kecamatan Subi, saya bersyukur pernah terlibat membangunkan kesadaran pemangku kepentingan aparat desa ihwal pentingnya desa memiliki perpustakaan desa sebagai langkah awal membangun peradaban desa yang lebih maju dan berdaya saing. Tidak mudah memang menyadarkan mereka, butuh waktu dan proses. Namun dengan persuasi yang terus menerus, akhirnya otoritas desa tersadarkan juga. Mereka berinisiatif untuk mendirikan perpustakaan desa dari alokasi anggaran desa dan saya bantu untuk pengadaan bukunya dan peningkatan pengelolanya.
Setelah perpustkaan berhasil didirikan, di mana buku-buku, rak, dan penjaganya sudah ada serta resmi berjalan, apakah lantas persoalan sudah selesai? Tidak, permasalahan berikutnya yang menanti untuk segera dicarikan solusinya adalah bagaimana caranya perpustakaan milik desa tersebut bisa ramai pengunjung? Di sinilah tantangan yang sesungguhnya. Karena jika hanya mendirikan, namun setelah itu tidak ada tindak lanjut itu namanya sia-sia belaka. Untuk itu, yang saya lakukan adalah kampenye masif kepada semua pihak terkait pentingnya mensyukuri perpustakaan desa yang sudah berdiri. Kepada internal otoritas desa sendiri saya giat memberikan pemahaman perlunya aparat desa memberikan contoh dengan sedikitnya satu sampai dua kali dalam seminggu berkunjung ke perpustakaan desa, membaca buku-buku di dalamnya. Kepada penjaga perpustakaan desa, saya memberikan pemahaman dasar terkait apa itu perpustakaan? apa itu katalog? bagaimana mengelola perpustakaan? Kepada masyarakat desa, melalui forum pertemuan sekolah dan orangtua murid saya sampaikan kepada mereka untuk berkunjung ke perpustakaan desa yang susah dibuka untuk umum. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kampanye literasi kepada anak-anak SD murid saya, remaja, dan pemuda desa. Saya melakukan misi ini dengan strategi seperti berikut: Mewajibkan anak-anak murid saya yang digilir per kelas untuk berkunjung ke perpustakaan desa di luar jam sekolah, umumnya di sore hari. Tidak sekadar berkampanye kosong dan menyuruh anak-anak berkunjung ke perpustakaan desa, saya memastikan diri untuk ikut hadir menemani mereka membaca.
Selain hal-hal di atas, untuk memasyarakatkan buku, untuk menarik perhatian masyarakat luas terkadang saya bersama anak-anak remaja desa, pemuda desa mengadakan acara buka lapak membaca di halaman sekitar desa, di tempat strategis dengan tujuan menarik minat banyak pihak untuk mampir dan membaca. Di luar dugaan, strategi lapak membaca cukup ampuh untuk membangkitkan minat anak-anak muda sekitar untuk sekadar mampir, lihat-lihat buku, dan ikutan membaca. Lapak membaca biasanya diselenggarakan pada hari libur. Inilah cara saya menumbuhkan budaya literasi di lingkungan masyarakat di mana saya pernah hidup bersama mereka. Saya optimis, dengan cara seperti ini peradaban bangsa bisa kita bangun, saya juga optimis dengan cara seperti ini tingkat literasi masyarakat yang hidup di pinggiran Indonesia, jauh dari akses dan fasilitas perlahan namun pasti bisa meningkat. Jangka panjangnya adalah dengan terbangunnya budaya literasi, dengan terpolakannya budaya menyaring, menelaah setiap teks, dan bahan bacaan yang ada kita berharap masyarakat tidak gampang terprovokasi dengan hoaks, narasi-narasi kebohongan yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, peradaban bangsa senantiasa bisa terus terjaga dengan baik. Mari kita bangun peradaban bangsa dengan menunbuhkan budaya literasi di manapun kita berada!
#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga
#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga
0 Response to "Bangun Peradaban Bangsa dengan Literasi Dasar"
Post a Comment