Keluarga ideal adalah keluarga yang melek huruf, melek
angka, gemar membaca, syukur-syukur bisa produktif menghasilkan tulisan.
Kalaupun tidak sampai di level menulis, sampai di level suka membaca saja itu
sudah cukup menggembirakan. Dikatakan begitu karena memang tidak mudah untuk
menulis, namun bukan berarti tidak bisa dicapai. Segala peluang terbuka untuk
keluarga yang ingin berkarya. Membaca adalah kunci menulis, bisa dipastikan
seorang anggota keluarga yang bisa menulis pastilah ia terbiasa membaca.
Tulisan adalah buah dari pergulatan pikiran, hasil dari apa
yang masuk ke otak. Jadi tidak mungkin otak bisa mengeluarkan ide-ide
cemerlang, karya-karya brilian jika tidak memiliki input yang brilian pula.
Karena itu, penting bagi otak mendapatkan banyak asupan bacaan yang
berkualitas. Setiap keluarga bebas memilih mau menjadi tipikal keluarga seperti
apa, keluarga pembaca saja, atau keluarga pembaca sekaligus penulis? Tulisan
ini akan fokus membahas bagaimana cara menjadi keluarga pembaca berdasarkan
pengalaman empiris saya.
Pertama kali saya mulai mengenal bahan bacaan di rumah
adalah ketika bapak saya berlangganan koran. Setiap hari tukang koran
mengantarkan koran ke rumah, dan setiap hari pula bapak menghabiskan waktu
senggangnya untuk membaca koran langganannya. Saya menjadi tertarik membaca
koran karena saya sering melihat bapak asyik membaca rubrik-rubrik koran yang
ada. Saat itu saya masih menjadi siswa Sekolah Dasar (SD), jadi belum paham apa
itu rubrik halaman utama, rubrik politik, rubrik ekonomi, rubrik kebudayaan,
rubrik internasional, dan sebagainya. Saya hanya tertarik dengan rubrik
olahraga dan entertainment khususnya berita sepak bola.
Bagi saya hal tersebut menarik karena ringan untuk dibaca,
mudah dijumpai, dan setting mendapatinya di kehidupan sehari-hari baik di
televisi ataupun di lingkungan sekitar. Jadi, bisa dipastikan saat koran tiba
dan saya yang kebetulan menerima maka bisa dipastikan saya yang pertama kali
membaca rubrik olahraga di koran tersebut. Saking terlalu seringnya saya
membaca rubrik olahraga, dan meninggalkan yang lain bapak saya sampai menegur
saya untuk tidak hanya membaca koran di bagian olahraga saja tapi juga bagian yang
lain. Tujuannya tidak lain agar wawasan saya luas. Sebagai anak SD yang belum
mengerti apa-apa, saya hanya diam dan terus saja membaca apa yang membuat saya
nyaman dan tertarik untuk mengetahuinya.
Dari sinilah saya mulai mengenal bacaan, dari sini pula
saya mulai menemukan zona nyaman membaca. Hari-hari saya yang sebelumnya diisi
dengan banyak bermain, menghabiskan waktu di luar rumah perlahan berubah
menjadi lebih sering di rumah. Waktu kosong saya gunakan untuk membaca koran
langganan bapak. Perlahan tapi pasti, saya mulai tertarik membaca rubrik-rubrik
lain di luar olahraga dan entertainment. Saya mulai membaca
rubrik politik, hukum, otonomi daerah, dan sebagainya. Meskipun tidak
mengerti substansi yang saya baca, saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah
yang penting membaca dulu, mau paham atau tidak belakangan. Lebih dari itu,
menariknya adalah tidak sedikit tetangga yang juga ikutan nimbrung di rumah
untuk membaca berita yang ada di koran hari itu. Pokoknya, koran langganan
bapak cukup ampuh membuat saya dan orang-orang di sekeliling tergerak untuk
membaca.
Selain berlangganan koran, terkadang saat bepergiaan dan
pulang ke rumah bapak juga membawa buku, entah hasil minjam atau dapat dari
membeli. Saat posisi buku nganggur, tidak sedang dibaca, saya biasanya iseng
membaca, untuk sekadar memastikan apa isi dari buku yang bapak bawa. Ada satu
hal yang tidak bisa saya lupakan, adalah saat bapak membelikan saya buku bahasa
Inggris berjudul "English for Childen" yang di dalamnya ada gambar-gambar
menarik untuk memvisualkan kata-kata dasar dalam bahasa Inggris. Mungkin momen
tersebut adalah awal perkenalan saya dengan bahasa Inggris. Jujur, dari sini
saya mulai tertarik belajar bahasa Inggris.
Bagi saya, dibelikan buku adalah suatu kesenangan, senang
karena buku bersifat jangka panjang, tak lekang oleh waktu, bisa dipakai
kapanpun. Momen lain yang tidak saya lupa adalah saat pergi ke kota, saya
beberapa kali diajak bapak ke toko buku untuk berbelanja buku. Saat itu, saya
tidak ragu untuk membeli buku-buku penunjang belajar saya seperti Buku Pintar,
Ensiklopedia, Pembahasan Soal-Soal untuk Anak SD. Bapak biasanya belanja
buku-buku agama. Sesampai di rumah buku-buku hasil belanjaan jelas akan menjadi
bahan bacaan baru yang menarik untuk dilahap halaman per halamannya. Alhasil,
waktu saya banyak tersita untuk berlama-lama di rumah, membaca apa yang sudah
kami beli.
Berangkat dari kebiasaan ini, saya semakin tergugah untuk
terus membaca dan mengoleksi buku-buku bacaan. Terbukti saat memasuki SMP-SMA
yang mengharuskan saya tinggal di asrama, hobi membaca saya berlanjut, waktu
kosong benar-benar saya gunakan untuk membaca, dan sebagian uang jajan saya
sisihkan untuk membeli buku bacaan di koperasi sekolah. Dan saat libur
buku-buku koleksi saya bawa ke rumah, dan uniknya saat saya membawa buku-buku
hasil koleksi saya keluarga di rumah saya seperti bapak, ibu, dan adik saya
tertarik untuk membacanya. Biasanya saya meletakkan buku-buku saya tersebut di
kamar, sesekali saya bawa ke ruang tamu. Saat harus balik dari liburan
buku-buku bawaan tidak saya bawa ke asrama dan sengaja ditinggal di rumah
dengan harapan buku-buku tersebut bisa menjadi bahan bacaan keluarga saya.
Saya sangat bersyukur ternyata koleksi buku saya yang
diperoleh dari hasil menyisihkan uang jajan cukup memadai untuk dijadikan
perpustakaan sederhana. Meskipun tidak besar, saya mencoba mengkreasi
perpustakaan mini di rumah, tepatnya di kamar pribadi saya. Saya mencoba
memfungsikan lemari nganggur di kamar saya untuk dijadikan tempat saya mengamankan
buku sekaligus perpustakaan, di mana anggota keluarga di rumah bisa membaca
kapanpun mereka mau.
Dari cerita di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa
budaya literasi keluarga bisa dibangun dengan cara-cara sederhana seperti
melalui langganan koran, mengenalkan buku bacaan baru, mengajak anggota
keluarga ke toko buku sekaligus berbelanja buku, membiasakan memberi anggota
keluarga hadiah buku, dan membangun perpustakaan keluarga di rumah.
Singkatnya, jika ingin anggota keluarga kita menjadi pribadi pembaca, kutu buku
kita harus membangun lingkungan rumah yang kondusif yang dapat mendukung
terciptanya iklim membaca. Ini kisah keluarga saya dalam kaitannya dengan
budaya literasi keluarga. Bagaimana dengan Anda?
0 Response to "Langkah Menjadi Keluarga Pembaca"
Post a Comment