Enam bulan terasa singkat untuk dilalui, tidak terasa sudah enam bulan saya berada di medan juang yang tidak biasa ini. Misi mengabdi di tapal batas negeri tinggal separuh perjalanan lagi, sebelum saya mengakhiri segalanya enam bulan kedepan saya memiliki catatan terkait apa saja yang sudah saya lakukan. Catatan ini merupakan potret yang merekam apa yang sudah saya usahakan dalam kaitannya dengan misi besar ikut membangun dan merawat Indonesia dari pinggiran. Berikut catatan saya.
Saat saya mengetahui ditempatkan di daerah terpencil dan serba terbatas, saya hanya bisa tersenyum dan hati kecil ini berkata: “Apapun itu saya terima”. Benar saja saat pertama tiba di desa pulau Kerdau suasana sepi dan gelap menyambut kehadiran saya. Belum lagi saya baru sadar bahwa ternyata di tempat ini susah sayur, makanan favorit saya selama ini. Terhadap semua itu saya bertekad untuk terus berjalan dan memberikan apa yang bisa saya lakukan untuk perbaikan dan perubahan sekitar. Utamanya terkait mutu pendidikan dan kualitas hidup warga. Dari sini saya mencanangkan program dan gagasan terobosan guna mewujudkan mimpi besar adanya perubahan nyata.
Di bidang pendidikan, misi besar saya menerapkan pendidikan karakter. Mengajar mata pelajaran setiap hari di kelas itu sudah pasti, saya kebetulan mengajar PKN, Bahasa Inggris, PAI, dan Tahfidz. Namun itu saja rasanya tidak cukup, karena yang saya perhatikan, selama ini anak-anak hanya dicekoki dengan materi dan teori-teori yang tidak bisa dijamah dan dialami langsung oleh mereka. Anak hanya sekedar tahu disiplin, jujur, kerja keras, sopan, dan sebagainya. Tahunya hanya di awang-awang kepala, tidak diturunkan ke dalam praktik riil. Selebihnya mereka tidak bisa berbuat banyak, karena tidak ada penekanan ihwal pentingnya penerapan pendidikan karakter serta minimnya pemberian media bagi mereka untuk berlatih.
Alhasil, mental dan karakter anak bisa dibilang cukup memprihatinkan. Faktanya, di suatu kelas tepat di meja guru ada tulisan yang ditujukan kepada guru kelas bersangkutan yang berbuyi “Ibu Fulan Gila”. Sontak saja, guru terkait ngambek dan melapor kepada kepala sekolah untuk tidak lagi mengajar di kelas tersebut. Kepsek pun turun tangan mencari siapa pelakunya, sampai tulisan ini dibuat tak ada satupun murid di kelas itu dan bahkan murid satu sekolah pun sudah diinvestigasi satu per satu namun tidak ada yang kesatria mau mengaku. Kasus ini pun berlalu tanpa bisa mengungkap sosok pelaku.
Terkait hal ini, dalam forum majelis guru saya sampaikan bahwa kejadian di atas adalah cerminan nyata bahwa karakter anak kita patut dipertanyakan. Bahwa sudah saatnya kita merubah pola mendidik kita menjadi lebih aplikatif dan empiris. Saya pun menyampaikan bahwa mewujudkan pendidikan karakter tidak bisa ditawar-tawar lagi, anak harus benar-benar ditekankan pada dimensi praktik, bagaimana etika kepada guru, kepada sesama dan yang lebih muda. Bagaimana menyikapi suatu kesalahan yang telah dibuat, apakah perlu berterus terang, diam saja, atau berdusta? Untuk itu sekolah harus memberikan media untuk anak berlatih menempa karakter mereka. Sehubungan dengan hal itu, saya mengusulkan pentingnya kantin karakter sebagai media untuk anak melatih karakter jujur mereka.
Pro kontra menyambut usul saya, ada yang menolak karena pesimis gagasan ini akan kacau bila diterapkan, ada pula yang mendukung. Kebetulan yang mendukung lebih banyak dibandingkan yang menolak, sehingga kantin karakter pun bisa dioperasikan satu minggu sekali (setiap hari Sabtu). Semula muncul keraguan apakah bisa anak-anak jujur, berbelanja sendiri, membayar sendiri, mengambil uang sisa sendiri? Faktanya setelah diujicobakan, tidak ada kerugian seperti yang ditakutkan oleh pihak yang pesimis dengan gagasan kantin karakter. Anak-anak bisa berbelanja dengan tertib. Kantin karakter merupakan salah satu media yang saya pakai guna menempa karakter anak bisa semakin membaik. Selain itu apa lagi?
Saya menempa karakter anak dengan memberdayakan perpustakaan sekolah. Disiplin, rajin, jujur, tertib adalah karakter turunan yang saya harapkan bisa dimiliki anak dari perpustakaan sekolah. Bagimana caranya? Saya wajibkan anak setiap pukul 07.00 WIB masuk ke perpustakaan untuk membaca. Itu artinya sebelum pukul 7 saya harus sudah berada di dalam perpustakaan. Awalnya anak-anak merasa cukup berat untuk melakukan pola disiplin yang saya sendiri turun langsung mendampingi mereka. Di awal-awal masih ada yang acuh, telat, namun lambat laun mereka terbiasa.
Anak-anak saat ini sudah mulai menyadari ihwal kebutuhan membaca bagi asupan otak, membaca selama 15 menit di pagi hari hanyalah pemacu agar mereka selalu haus dan lapar akan bahan bacaan. Tak pelak, setiap hari kondisi perpustakaan selalu ramai dengan aktivitas membaca. Terkait hal ini, saya menerapkan pola reward and punishment, yang rajin membaca dengan indikator berapa banyak buku yang dibaca dalam satu bulan sesuai dengan data tertulis akan mendapatkan hadih menarik. Pun demikian bagi yang sering telat, malas-malasan, tidak disiplin akan mendapatkan sanksi. Semunya masih dalam bingkai edukatif. Selain ini, apa lagi?
Membangkitkan semangat, harapan, mental bertanding anak adalah hal yang tidak luput dari perhatian saya. Bagaimana caranya? Saya kenalkan kepada anak-anak program beasiswa, saya jelaskan kepada mereka bahwa untuk bisa mengenyam pendidikan bermutu sampai jenjang perguruaan tinggi saat ini bukan hal mustahil untuk diraih. Dengan kerja keras, semangat, tekun, prestasi, dan ibadah semuanya bisa diraih. Saya ajak anak-anak murid saya yang kebetulan sedang di kelas VI untuk mendaftar beasiswa smart ekselensia, sebuah program beasiswa dari Yayasan Dompet Dhuafa bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu namun berprestasi yang menjamin bagi penerimanya bisa menempuh pendidikan tingkat SMP, SMA, dan perguruan tinggi secara gratis.
Dari tiga anak murid saya yang mendaftar dua orang lolos seleksi administrasi dan berhak mengikuti tes potensi akademik. Dari dua anak yang mengikuti tes potensi akademik satu orang dinyatakan lolos dan diundang untuk mengikuti tes wawancara dan psikotes di Batam. Semua akomodasi dan transprtasi ditanggung panitia penyelenggara, namun di sinilah letak sialnya. Mental juara anak yang sudah terbangun terhambat pola pikir orangtua yang merisaukan kondisi keselamatan anaknya kalau nanti anak yang bersangkutan lolos lagi dan harus berpisah dengan anak. Saya, pihak panitia sampai Kepala Sekolah turun tangan untuk membujuk dan berunding dengan ibu sang anak guna memberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak, keluarga, masyarakat desa Pulau Kerdau.
Untuk diketahui hanya ibunya yang merasa keberatan, ayahnya tidak. Langkah persuasif pun tidak ampuh membuka mindset ibu tersebut. Akhirnya sang anak kalah tanpa bertanding, ia harus membuang percuma peluang emas yang sudah di depan mata, bisa menempuh pendidikan berkualitas dari SMP sampai perguruan tinggi di kota pendidikan sekelas Bogor. Di detik-detik akhir proses negosiasi, saya hanya bisa mengatakan kepada ibu dari anak murid saya bahwa penyesalan tidak datang di awal, tolong pikir-pikir lagi kesempatan dan peluang langka ini.
Cerita tentang lolosnya murid saya ini cukup viral dan sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan warga desa. Yang mengerti, pola pikirnya selangkah lebih maju semuanya menyayangkan keputusan akhir ibu tersebut yang memilih untuk melepaskan kesempatan langka sang anak bisa meraih beasiswa. Dari sini, pola pandang anak dan orangtua mulai terbangunkan, selama ini mereka berangapan bahwa kalau mau sekolah atau kuliah harus berduit, harus kaya. Nyatanya tidak, anggapan tersebut keliru besar. Apa yang dialami oleh anak murid saya adalah bukti telak bahwa untuk bisa sekolah tidak harus kaya dan berduit. Modalnya hanya niat, semangat, kerja keras, prestasi, dan doa. Jika saja ibunya mengizinkan mungkin sejarah besar yang benar-benar fenomenal akan sangat menghentak jagat Kerdau.
Lalu apa lagi? Saya juga memperkenalkan anak tentang Kelas Inspirasi, sebuah kelas berbagi inspirasi yang diisi sosok profesional sebagai inspirator yang saya datangkan khusus dari luar sekolah untuk berbagi cerita dan pengalaman perjuangan mereka dalam meraih karir yang saat ini sedang digeluti. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan kepada anak tentang profesi yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kebetulan saat itu saya melibatkan bidan dan perawat desa untuk mengisi Kelas Inspirasi Kerdau 2018. Lagi-lagi tujuannya adalah untuk membuka paradigma anak bahwa untuk meraih karir yang baik ya dengan pendidikan yang baik pula. Tidak ada kesuksesan yang instan.
Lantas apa lagi? Guna memberikan anak pengalaman bertanding dan megasah bakat minat mereka, dalam rangka peringatan Hardiknas 2018 saya adakan Festival Anak Cerdas Ceria. Sebuah kegiatan yang berisikan perlombaan sederhana antar siswa seperti lomba menulis puisi, lomba menyusun kata, lomba menggambar mewarnai, dan lomba mendongeng. Acara ini cukup efektif membangkitkan gairah anak untuk berkompetisi serta sangat ampuh untuk membangun mental juara anak. Antusiasme anak dalam acara ini relatif tinggi. Hal itu terlihat dari tingkat partisipasi mereka dalam setiap jenis perlombaan yang bisa dibilang cukup menggembirakan. Dari kegiatan ini anak otomatis memiliki pengalaman dan jam terbang bertanding sesuai dengan minatnya masing-masing.
Di luar bidang pendidikan, saya mencoba bermain peran sebagai connector alias penyambung atas aspirasi dan kebutuhan warga. Banyak warga yang berkeluh kesah kepada saya ihwal mendesaknya kebutuhan akan penerangan yang terjangkau. Dalam hal ini warga mendambakan ingin menikmati layanan listrik pintar sebagaimana yang sudah dinikmati warga pulau tetangga. Untuk diketahui sampai tulisan ini dibuat Desa Pulau Kerdau belum bisa menikmati layanan litrik pintar bersubsidi. Menyikapi hal ini saya tidak tinggal diam, saya melakukan langkah cepat dengan melaporkan aduan warga ke Kantor Staf Presiden (KSP) untuk ditindaklanjuti.
Benar saja, ternyata laporan saya segera diproses dan ujungnya Pihak Pemerintah Pusat mendelegasikan kepada PLN Provinsi Kepri untuk membangun instalasi listrik di Kerdau. Singkatnya, pihak PLN Kecamatan Subi bersama Camat Subi melakukan kunjungan sekaligus survei lokasi ke Kerdau guna memastikan rencana instalasi listrik pintar di Kerdau memungkinkan untuk dibangun atau bagaimana sehingga mimpi warga bisa menikmati litrik dapat terwujud atau justru sebaliknya. Survei sudah dilakukan dan menurut kabar dari Camat Subi selangkah lagi Kerdau akan terang, saat ini Kerdau sedang dalam fase menunggu antrian instalasi.
Lalu bagaimana dengan fasilitas sinyal internet sebagai media dan sarana informasi komunikasi zaman masa kini? Saya juga sudah berupaya untuk melaporkan kepada pihak terkait (Telkomsel) ihwal tidak berimbangnya kualitas sinyal telpon sms dengan kualitas sinyal internet yang selalu mendapat sinyal E. Di luar dugaan, laporan saya direspon cepat, pihak Telkomsel Pusat meminta Telkomsel Batam melakukan pengecekan di lokasi tempat saya tinggal. Dan hasilnya, Telkomsel Pusat menyimpulkan akan dibangun BTS baru (dalam antrian) yang memungkinkan warga Kerdau nantinya bisa bebas dari sinyal internet E.
Selain itu, guna menopang agenda pendidikan saya mencoba memfasilitasi Pemerintah Desa Kerdau dalam hal pendirian perpustakaan desa sebagaimana amanat Undang-undang No 06 Tahun 2014 tentang Desa. Bahwa setiap desa harus memiliki perpustakaan, karena itu saya fasilitasi desa untuk mendapatkan buku-buku bermutu dengan harga yang sangat terjangkau. Buku-buku tersebut kini sudah tiba di Kerdau namun sayangnya pengoperasian perpustakaan desa tak kunjung berjalan karena adanya konflik kepentingan di antara penanggungjawab perpustakaan. Riak-riak politik Pilkades rupanya masih membekas dan hal ini pula yang sedang saya upayakan jalan keluarnya. Bahwa kegiatan literasi di Kerdau mendesak untuk segera dieksekusi guna menunjang agenda pembangunan manusia desa seimbang dengan agenda pembangunan infrastrukur.
Saya juga memiliki program pemberdayaan bagi ibu-ibu rumah tangga, program yang saya canangkan adalah Gerakan Hijau Kerdau, yaitu program menanam sayur di depan rumah. Kebetulan saya fasilitasi ibu-ibu dengan benih sayur sawi serta juga polibag. Program ini ternyata sangat ampuh mendobrak mindset warga yang beranggapan di Kerdau sayur susah tumbuh, untuk bisa mendapatkan sayur harus dengan membeli.
Program percontohan menanam sayur yang sudah saya lakukan bersama beberapa ibu rumah tangga di luar prediksi rupanya cukup berhasil. Saat masa panen sayur Sawi tiba begitu banyak warga lain yang ingin membeli, kamipun melayani mereka. Tidak sedikit di antara mereka yang juga tertarik untuk menanam dan meminta benih. Kami pun berbagi dengan mereka. Program ini ternyata cukup ampuh menyadarkan warga bahwa jika kita mau kita pasti bisa. Bahwa berperilaku produktif itu jauh lebih baik daripada berperilaku konsumtif. Bahwa keterbatasan geoografis bukan halangan untuk terus mencoba dan mencoba.
Ini baru permulaan, saya berharap beberapa bulan kedepan apa-apa yang sudah berjalan bisa terus berlangsung secara konsisten dan lebih meningkat lagi. Di sisa enam bulan ini saya ingin teduh, saya ingin mengakhiri misi ini dengan baik dan tenang.
Kerdau, 1 Juni 2018
PM XV Kerdau
Saat saya mengetahui ditempatkan di daerah terpencil dan serba terbatas, saya hanya bisa tersenyum dan hati kecil ini berkata: “Apapun itu saya terima”. Benar saja saat pertama tiba di desa pulau Kerdau suasana sepi dan gelap menyambut kehadiran saya. Belum lagi saya baru sadar bahwa ternyata di tempat ini susah sayur, makanan favorit saya selama ini. Terhadap semua itu saya bertekad untuk terus berjalan dan memberikan apa yang bisa saya lakukan untuk perbaikan dan perubahan sekitar. Utamanya terkait mutu pendidikan dan kualitas hidup warga. Dari sini saya mencanangkan program dan gagasan terobosan guna mewujudkan mimpi besar adanya perubahan nyata.
Di bidang pendidikan, misi besar saya menerapkan pendidikan karakter. Mengajar mata pelajaran setiap hari di kelas itu sudah pasti, saya kebetulan mengajar PKN, Bahasa Inggris, PAI, dan Tahfidz. Namun itu saja rasanya tidak cukup, karena yang saya perhatikan, selama ini anak-anak hanya dicekoki dengan materi dan teori-teori yang tidak bisa dijamah dan dialami langsung oleh mereka. Anak hanya sekedar tahu disiplin, jujur, kerja keras, sopan, dan sebagainya. Tahunya hanya di awang-awang kepala, tidak diturunkan ke dalam praktik riil. Selebihnya mereka tidak bisa berbuat banyak, karena tidak ada penekanan ihwal pentingnya penerapan pendidikan karakter serta minimnya pemberian media bagi mereka untuk berlatih.
Alhasil, mental dan karakter anak bisa dibilang cukup memprihatinkan. Faktanya, di suatu kelas tepat di meja guru ada tulisan yang ditujukan kepada guru kelas bersangkutan yang berbuyi “Ibu Fulan Gila”. Sontak saja, guru terkait ngambek dan melapor kepada kepala sekolah untuk tidak lagi mengajar di kelas tersebut. Kepsek pun turun tangan mencari siapa pelakunya, sampai tulisan ini dibuat tak ada satupun murid di kelas itu dan bahkan murid satu sekolah pun sudah diinvestigasi satu per satu namun tidak ada yang kesatria mau mengaku. Kasus ini pun berlalu tanpa bisa mengungkap sosok pelaku.
Terkait hal ini, dalam forum majelis guru saya sampaikan bahwa kejadian di atas adalah cerminan nyata bahwa karakter anak kita patut dipertanyakan. Bahwa sudah saatnya kita merubah pola mendidik kita menjadi lebih aplikatif dan empiris. Saya pun menyampaikan bahwa mewujudkan pendidikan karakter tidak bisa ditawar-tawar lagi, anak harus benar-benar ditekankan pada dimensi praktik, bagaimana etika kepada guru, kepada sesama dan yang lebih muda. Bagaimana menyikapi suatu kesalahan yang telah dibuat, apakah perlu berterus terang, diam saja, atau berdusta? Untuk itu sekolah harus memberikan media untuk anak berlatih menempa karakter mereka. Sehubungan dengan hal itu, saya mengusulkan pentingnya kantin karakter sebagai media untuk anak melatih karakter jujur mereka.
Pro kontra menyambut usul saya, ada yang menolak karena pesimis gagasan ini akan kacau bila diterapkan, ada pula yang mendukung. Kebetulan yang mendukung lebih banyak dibandingkan yang menolak, sehingga kantin karakter pun bisa dioperasikan satu minggu sekali (setiap hari Sabtu). Semula muncul keraguan apakah bisa anak-anak jujur, berbelanja sendiri, membayar sendiri, mengambil uang sisa sendiri? Faktanya setelah diujicobakan, tidak ada kerugian seperti yang ditakutkan oleh pihak yang pesimis dengan gagasan kantin karakter. Anak-anak bisa berbelanja dengan tertib. Kantin karakter merupakan salah satu media yang saya pakai guna menempa karakter anak bisa semakin membaik. Selain itu apa lagi?
Saya menempa karakter anak dengan memberdayakan perpustakaan sekolah. Disiplin, rajin, jujur, tertib adalah karakter turunan yang saya harapkan bisa dimiliki anak dari perpustakaan sekolah. Bagimana caranya? Saya wajibkan anak setiap pukul 07.00 WIB masuk ke perpustakaan untuk membaca. Itu artinya sebelum pukul 7 saya harus sudah berada di dalam perpustakaan. Awalnya anak-anak merasa cukup berat untuk melakukan pola disiplin yang saya sendiri turun langsung mendampingi mereka. Di awal-awal masih ada yang acuh, telat, namun lambat laun mereka terbiasa.
Anak-anak saat ini sudah mulai menyadari ihwal kebutuhan membaca bagi asupan otak, membaca selama 15 menit di pagi hari hanyalah pemacu agar mereka selalu haus dan lapar akan bahan bacaan. Tak pelak, setiap hari kondisi perpustakaan selalu ramai dengan aktivitas membaca. Terkait hal ini, saya menerapkan pola reward and punishment, yang rajin membaca dengan indikator berapa banyak buku yang dibaca dalam satu bulan sesuai dengan data tertulis akan mendapatkan hadih menarik. Pun demikian bagi yang sering telat, malas-malasan, tidak disiplin akan mendapatkan sanksi. Semunya masih dalam bingkai edukatif. Selain ini, apa lagi?
Membangkitkan semangat, harapan, mental bertanding anak adalah hal yang tidak luput dari perhatian saya. Bagaimana caranya? Saya kenalkan kepada anak-anak program beasiswa, saya jelaskan kepada mereka bahwa untuk bisa mengenyam pendidikan bermutu sampai jenjang perguruaan tinggi saat ini bukan hal mustahil untuk diraih. Dengan kerja keras, semangat, tekun, prestasi, dan ibadah semuanya bisa diraih. Saya ajak anak-anak murid saya yang kebetulan sedang di kelas VI untuk mendaftar beasiswa smart ekselensia, sebuah program beasiswa dari Yayasan Dompet Dhuafa bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu namun berprestasi yang menjamin bagi penerimanya bisa menempuh pendidikan tingkat SMP, SMA, dan perguruan tinggi secara gratis.
Dari tiga anak murid saya yang mendaftar dua orang lolos seleksi administrasi dan berhak mengikuti tes potensi akademik. Dari dua anak yang mengikuti tes potensi akademik satu orang dinyatakan lolos dan diundang untuk mengikuti tes wawancara dan psikotes di Batam. Semua akomodasi dan transprtasi ditanggung panitia penyelenggara, namun di sinilah letak sialnya. Mental juara anak yang sudah terbangun terhambat pola pikir orangtua yang merisaukan kondisi keselamatan anaknya kalau nanti anak yang bersangkutan lolos lagi dan harus berpisah dengan anak. Saya, pihak panitia sampai Kepala Sekolah turun tangan untuk membujuk dan berunding dengan ibu sang anak guna memberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak, keluarga, masyarakat desa Pulau Kerdau.
Untuk diketahui hanya ibunya yang merasa keberatan, ayahnya tidak. Langkah persuasif pun tidak ampuh membuka mindset ibu tersebut. Akhirnya sang anak kalah tanpa bertanding, ia harus membuang percuma peluang emas yang sudah di depan mata, bisa menempuh pendidikan berkualitas dari SMP sampai perguruan tinggi di kota pendidikan sekelas Bogor. Di detik-detik akhir proses negosiasi, saya hanya bisa mengatakan kepada ibu dari anak murid saya bahwa penyesalan tidak datang di awal, tolong pikir-pikir lagi kesempatan dan peluang langka ini.
Cerita tentang lolosnya murid saya ini cukup viral dan sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan warga desa. Yang mengerti, pola pikirnya selangkah lebih maju semuanya menyayangkan keputusan akhir ibu tersebut yang memilih untuk melepaskan kesempatan langka sang anak bisa meraih beasiswa. Dari sini, pola pandang anak dan orangtua mulai terbangunkan, selama ini mereka berangapan bahwa kalau mau sekolah atau kuliah harus berduit, harus kaya. Nyatanya tidak, anggapan tersebut keliru besar. Apa yang dialami oleh anak murid saya adalah bukti telak bahwa untuk bisa sekolah tidak harus kaya dan berduit. Modalnya hanya niat, semangat, kerja keras, prestasi, dan doa. Jika saja ibunya mengizinkan mungkin sejarah besar yang benar-benar fenomenal akan sangat menghentak jagat Kerdau.
Lalu apa lagi? Saya juga memperkenalkan anak tentang Kelas Inspirasi, sebuah kelas berbagi inspirasi yang diisi sosok profesional sebagai inspirator yang saya datangkan khusus dari luar sekolah untuk berbagi cerita dan pengalaman perjuangan mereka dalam meraih karir yang saat ini sedang digeluti. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan kepada anak tentang profesi yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kebetulan saat itu saya melibatkan bidan dan perawat desa untuk mengisi Kelas Inspirasi Kerdau 2018. Lagi-lagi tujuannya adalah untuk membuka paradigma anak bahwa untuk meraih karir yang baik ya dengan pendidikan yang baik pula. Tidak ada kesuksesan yang instan.
Lantas apa lagi? Guna memberikan anak pengalaman bertanding dan megasah bakat minat mereka, dalam rangka peringatan Hardiknas 2018 saya adakan Festival Anak Cerdas Ceria. Sebuah kegiatan yang berisikan perlombaan sederhana antar siswa seperti lomba menulis puisi, lomba menyusun kata, lomba menggambar mewarnai, dan lomba mendongeng. Acara ini cukup efektif membangkitkan gairah anak untuk berkompetisi serta sangat ampuh untuk membangun mental juara anak. Antusiasme anak dalam acara ini relatif tinggi. Hal itu terlihat dari tingkat partisipasi mereka dalam setiap jenis perlombaan yang bisa dibilang cukup menggembirakan. Dari kegiatan ini anak otomatis memiliki pengalaman dan jam terbang bertanding sesuai dengan minatnya masing-masing.
Di luar bidang pendidikan, saya mencoba bermain peran sebagai connector alias penyambung atas aspirasi dan kebutuhan warga. Banyak warga yang berkeluh kesah kepada saya ihwal mendesaknya kebutuhan akan penerangan yang terjangkau. Dalam hal ini warga mendambakan ingin menikmati layanan listrik pintar sebagaimana yang sudah dinikmati warga pulau tetangga. Untuk diketahui sampai tulisan ini dibuat Desa Pulau Kerdau belum bisa menikmati layanan litrik pintar bersubsidi. Menyikapi hal ini saya tidak tinggal diam, saya melakukan langkah cepat dengan melaporkan aduan warga ke Kantor Staf Presiden (KSP) untuk ditindaklanjuti.
Benar saja, ternyata laporan saya segera diproses dan ujungnya Pihak Pemerintah Pusat mendelegasikan kepada PLN Provinsi Kepri untuk membangun instalasi listrik di Kerdau. Singkatnya, pihak PLN Kecamatan Subi bersama Camat Subi melakukan kunjungan sekaligus survei lokasi ke Kerdau guna memastikan rencana instalasi listrik pintar di Kerdau memungkinkan untuk dibangun atau bagaimana sehingga mimpi warga bisa menikmati litrik dapat terwujud atau justru sebaliknya. Survei sudah dilakukan dan menurut kabar dari Camat Subi selangkah lagi Kerdau akan terang, saat ini Kerdau sedang dalam fase menunggu antrian instalasi.
Lalu bagaimana dengan fasilitas sinyal internet sebagai media dan sarana informasi komunikasi zaman masa kini? Saya juga sudah berupaya untuk melaporkan kepada pihak terkait (Telkomsel) ihwal tidak berimbangnya kualitas sinyal telpon sms dengan kualitas sinyal internet yang selalu mendapat sinyal E. Di luar dugaan, laporan saya direspon cepat, pihak Telkomsel Pusat meminta Telkomsel Batam melakukan pengecekan di lokasi tempat saya tinggal. Dan hasilnya, Telkomsel Pusat menyimpulkan akan dibangun BTS baru (dalam antrian) yang memungkinkan warga Kerdau nantinya bisa bebas dari sinyal internet E.
Selain itu, guna menopang agenda pendidikan saya mencoba memfasilitasi Pemerintah Desa Kerdau dalam hal pendirian perpustakaan desa sebagaimana amanat Undang-undang No 06 Tahun 2014 tentang Desa. Bahwa setiap desa harus memiliki perpustakaan, karena itu saya fasilitasi desa untuk mendapatkan buku-buku bermutu dengan harga yang sangat terjangkau. Buku-buku tersebut kini sudah tiba di Kerdau namun sayangnya pengoperasian perpustakaan desa tak kunjung berjalan karena adanya konflik kepentingan di antara penanggungjawab perpustakaan. Riak-riak politik Pilkades rupanya masih membekas dan hal ini pula yang sedang saya upayakan jalan keluarnya. Bahwa kegiatan literasi di Kerdau mendesak untuk segera dieksekusi guna menunjang agenda pembangunan manusia desa seimbang dengan agenda pembangunan infrastrukur.
Saya juga memiliki program pemberdayaan bagi ibu-ibu rumah tangga, program yang saya canangkan adalah Gerakan Hijau Kerdau, yaitu program menanam sayur di depan rumah. Kebetulan saya fasilitasi ibu-ibu dengan benih sayur sawi serta juga polibag. Program ini ternyata sangat ampuh mendobrak mindset warga yang beranggapan di Kerdau sayur susah tumbuh, untuk bisa mendapatkan sayur harus dengan membeli.
Program percontohan menanam sayur yang sudah saya lakukan bersama beberapa ibu rumah tangga di luar prediksi rupanya cukup berhasil. Saat masa panen sayur Sawi tiba begitu banyak warga lain yang ingin membeli, kamipun melayani mereka. Tidak sedikit di antara mereka yang juga tertarik untuk menanam dan meminta benih. Kami pun berbagi dengan mereka. Program ini ternyata cukup ampuh menyadarkan warga bahwa jika kita mau kita pasti bisa. Bahwa berperilaku produktif itu jauh lebih baik daripada berperilaku konsumtif. Bahwa keterbatasan geoografis bukan halangan untuk terus mencoba dan mencoba.
Ini baru permulaan, saya berharap beberapa bulan kedepan apa-apa yang sudah berjalan bisa terus berlangsung secara konsisten dan lebih meningkat lagi. Di sisa enam bulan ini saya ingin teduh, saya ingin mengakhiri misi ini dengan baik dan tenang.
Kerdau, 1 Juni 2018
PM XV Kerdau
Selalu semangat Pak Guru!
ReplyDeleteIy Pak guru,km jg ya..
Delete