Pada tahun anggaran 2017 ini, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia memiliki program kepemudaan baru bernama Pemuda Mandiri Membangun Desa (PMMD). Program PMMD sejatinya merupakan pengganti dari program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (PSP3) yang telah berjalan mulai tahun 1989 dan berhenti pada tahun 2016. Program yang sudah menghasilkan 25 angkatan itu harus diakhiri dengan alasan efisiensi dan perlunya pembenahan konsep agar tujuan mencetak anak-anak muda bangsa yang mandiri dan berdaya saing bisa lebih efektif. Setelah PSP3 resmi berakhir, PMMD diluncurkan dengan semangat baru program ini bisa lebih produktif. Namun dalam pelaksanaanya, PMMD yang diharapkan menjadi pilot project program kepemudaan sebagai implementasi dari Undang-Undang No 40 tahun 2009 tentang Pemuda rupanya tidak lebih baik dari yang sebelumnya.
Sebagai perbandingan, PSP3 tujuannnya sangat jelas, yaitu mencetak pemuda-pemuda sarjana wirausaha yang bisa memberikan dampak positif pada pembangunan pemuda dan masyarakat perdesaan. Durasi pelaksanaan program pernah berlangsung maksimal dua tahun dan minimal satu tahun. Setiap peserta PSP3 diberi modal dan diwajibkan memiliki usaha rintisan. Selain itu, PSP3 juga diwajibkan untuk menggerakkan pemuda dan masyarakat desa dengan aktivitas-aktivitas positif. Dari segi teknis pelaksanaan, rekrutmen PSP3 biasanya diumumkan secara terbuka di awal tahun dan memasuki bulan September biasanya program sudah berjalan, peserta PSP3 sudah bisa action di desa penempatan.
Hasilnya, banyak pemuda pengusaha lahir dari program PSP3. Sementara PMMD tidak demikian, bagaimana bisa program yang ditandai dengan pengucuran bantuan dana kepada peserta PMMD baru akan dijalankan dua bulan (Oktober 2017) menjelang tutup tahun anggaran 2017. Apalagi program ini hanya efektif berjalan kurang lebih satu bulan setengah (berawal Akhir Oktober-Pertengahan Desember 2017). Lebih parah lagi, semangat dari program yang bermaksud untuk mencetak pemuda-pemuda wirausaha berbasis potensi perdesaan ini ternyata dalam praktik peserta PMMD 2017 terpilih yang jumlahnya mencapai 1.500 pemuda itu tidak diarahkan untuk melakukan kegiatan wirausaha.
Mereka hanya diberi bantuan dana sebesar Rp. 19 juta dan mereka diwajibkan membelanjakan habis uang bantuan tersebut untuk menggelar lima kegiatan/acara berupa: pelatihan kepemimpinan kepeloporan pemuda, event olahraga, peningkatan kapasitas pemuda di bidang kesukarelawanan dan kearifan lokal. Selain itu, setiap peserta diwajibkan untuk membuat satu proposal berisi lima kegiatan di atas dengan rincian anggaran biaya Rp. 19 juta. Mereka juga diwajibkan membuat laporan keuangan dan laporan pelaksanaan kegiatan beserta dokumentasinya.
Bahkan dalam perjanjian yang wajib mereka tandatangani di atas materai Rp.6000,- mereka harus siap diaudit, dimintai pertanggungjawaban, dan jika terjadi penyimpangan harus mengembalikan uang bantuan ke kas negara. Sungguh sebuah ironi, harusnya pergantian nama program dan semangat perbaikan sistem menjadikan program PMMD lebih fokus mencetak lahirnya pemuda Indonesia yang benar-benar mandiri dan berdikari dengan kegiatan wirausaha. Sangatlah mubadzir bantuan Rp. 19 juta untuk setiap peserta PMMD jika hanya dihabiskan untuk keperluan mengadakan acara yang kurang produktif dan tidak tepat sasaran. Kesan yang muncul program PMMD sebatas formalitas untuk menyelamatkan laporan keuangan Kemenpora agar terlihat rapi dan mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPKJ.
Bulan Oktober adalah bulannya pemuda, di bulan ini ada hari khusus memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober tiap tahunnya. Dalam rangka itu, tahun lalu, Menpora RI Imam Nahrawi pernah menulis opini bertajuk “Pengarusutamaan Pemuda” dan dimuat di Harian Kompas, Sabtu, 29 Oktober 2016. Dalam tulisan yang ditulis Menpora tersebut, kita bisa menangkap pesan yang sangat jelas, bahwa Menpora dengan Kemenporanya berkomitmen untuk memfasilitasi lahirnya pemuda-pemuda mandiri bermental wirausaha. Saat pertama kali membaca tulisan tersebut, saya optimis program kepemudaan pengganti PSP3 di tahun 2017 akan jauh lebih sempurna. Namun demikian, faktanya jauh panggang dari api.
Program PMMD hanya sebatas dijadikan ajang belanja rutin untuk menghabiskan anggaran, agar program kepemudaan dinilai bagus. Harusnya pelaksanaan PMMD 2017 tidak melenceng dari semangatnya yang ingin membangun kemandirian pemuda dengan wirausaha. Nama programnya saja yang keren, Pemuda Mandiri Membangun Desa. Pertanyaanya sekarang mana aktivitas usaha mandiri pemudanya? Nihil. Idealnya, dana bantuan Rp. 19 juta tidak semuanya dibelanjakan untuk menyelenggarakan lima acara. Mestinya 2/3 dari (Rp. 13 juta) dana tersebut dipergunakan sebagai modal awal bagi peserta PMMD untuk merintis usaha pemuda berbasis potensi desa asal PMMD. Wajibkan setiap peserta membuat usaha produktif yang wajib dicek wujudnya dan mesti dimintai pertanggungjawaban lebih lanjut. Ini untuk memastikan dana bantuan yang diberikan benar-benar dibelanjakan untuk hal-hal produktif yang menunjang terciptnya sasaran program yaitu lahirnya Pemuda Indonesia yang Mandiri. Selebihnya baru digunakan untuk mengadakan kegiatan kepemudaan dan kemasyarakatan.
Hemat saya, jika skema seperti di atas diwujudkan spirit program PMMD tidak kehilangan esensi, di satu sisi tujuan kemandirian pemuda tercapai. Di sisi lain, ikut aktif membangun desa dengan kegiatan-kegiatan positif juga terlaksana. Dengan demikian sulit untuk mengasumsikan program PMMD sebagai program abal-abal yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Saatnya pemuda Indonesia benar-benar menjadi mandiri dan berdikari dengan kebijakan pemerintah yang tepat guna.
nambah info lagi nih gan
ReplyDelete