Beberapa waktu terakhir dunia internasional digemparkan dengan beberapa kali praktek uji coba rudal dan nuklir Korea Utara. Pemimpin negara-negara dunia bersuara lantang ihwal sikap provokatif Korut. Forum-forum internasional semacam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) digunakan sebagai ajang untuk mengecam dan melancarkan ancaman penjatuhan sanksi yang lebih berat terhdap negeri komunis tersebut. Negara sekelas Amerika dengan Donald Trump sebagai presidennya menjadi yang terdepan dalam upaya menekan negeri pimpinan Kim Jong Un itu agar bersikap lunak dan mau menghentikan program rudal dan nuklir. Secara eksplisit, Presiden Trump mengancam akan menjatuhkan sanksi ekonomi yang lebih berat kepada Korut jika masih terus mengembangkan program rudal - nuklir yang membuat tatanan kawasan di Semenanjung Korea selalu menegang dan tak menentu.
Sejauh ini, untuk membuat Korut jera Dewan keamanan PBB melalui resolusinya sepakat untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Korut berupa: larangan Korut mengekspor tekstil, salah satu komoditas andalan Korut, serta juga pembatasan impor minyak dan gas ke Korut. Selain itu, resolusi DK PBB juga melarang semua negara memberi izin kerja kepada tenaga kerja asal Korut yang berada di luar negeri. Sebelumnya Korut juga telah dijatuhi sanksi berupa larangan eskpor komoditas perikanan dan batubara (Kompas, 13/09/17). Inilah mega sanksi yang diyakini para otoritas di DK PBB efektif bisa membuat Korut mau kooperatif, tidak membuat kegaduhan dan instabilitas dunia akibat kebijakan brutalnya. Dalam praktek riil, adanya sanksi-sanksi di atas rupanya tidak cukup ampuh membuat Korut bersedia menghentikan ambisi mengembangkan senjata nuklir - rudal balistik. Hari demi hari, perilaku Korut malah semakin meresahkan, terbaru, menanggapi ancaman Presiden Trump yang disampaikan dalam Sidang Umum PBB bahwa Amerika akan menambah sanksi yang lebih berat kepada Korut jika negeri totaliter tersebut tidak kunjung melunak dan menghentikan provokasi-provokasi berbahaya. Secara gamblang Jong Un, malah merespon taktis pernyataan Trump bahwa Korut akan menggelar ujicoba bom hidrogen dalam skala besar di Samudera Pasifik. Menurutnya, Amerika Serikat harus membayar mahal ancaman yang dibuatnya.
Dalam logika ancaman, suatu ancaman (threat) yang dilancarkan suatu pihak pengancam bertujuan untuk mengirimkan pesan bahwa pihak yang diancam harus menuruti apa yang dikehendaki pengancam. Jika tidak dituruti, maka pengancam bisa sewaktu-waktu menghukum yang diancam dengan apapun yang dianggap sesuai dengan kadar pelanggaran yang diperbuat. Apa yang terjadi pada Korut dan AS adalah gambaran nyata betapa politik ancaman nyata dimainkan keduanya. Di satu sisi AS selaku negara superpower merasa berhak dan berkewajiban menekan Korut untuk mematuhi norma internasional dalam kaitan dengan penciptaan stabilitas kawasan serta dunia dengan mengancam Korut jika terus mengembangkan program senjata ambisiusnya Korut akan dijatuhi sanksi-sanki yang menyengsarakan berikut juga dengan kemungkinan adanya agresi militer destruktif terhadap Korut. Hal ini bisa dilihat dari semakin intensifnya latihan militer gabungan AS, Jepang, dan Korsel di Semenanjung Korea. Di sisi lain, Korut tidak mau tinggal diam dengan lontaran ancaman yang dilakukan AS.
Dengan percaya diri, Korut tidak terganggu sedikitpun dengan ancaman AS beserta sekutunya. Korut malah mengancam balik seperti akan menyerang pangkalan militer AS di Guam, serta akan melakukan ujicoba bom hidrogen skala masif di perairan Pasifik. Bahkan secara mengejutkan, Presiden Kim Jong Un berdalih bahwa program nuklir-rudal yang selama ini ia kembangkan adalah untuk membangun equilibrium persenjataan Korut terhadap AS. Sungguh! Benar-benar merupakan pertunjukan politik tingkat tinggi yang berkelas. Negara kecil sekelas Korut tidak gentar sedikitpun menghadapi ancaman dari negara adidaya kaliber AS. Malah negara pengancam (AS) justru yang dibuat bingung akan mengambil tindakan seperti apa untuk menghadapi begitu nakalnya Korut. Mau ambil opsi agresi militer jelas AS tidak berani, masih ada Rusia dan China di belakang Korut. Mau menambah sanksi ekonomi juga tidak mampu merubah perilaku brutal korut. Ujung-ujungnya yang dilakukan hanyalah perang ancaman. Pertanyaannya sampai kapan perang ancaman akan berakhir? Jawabannya, sampai semua pihak merasa puas dengan kepentingannya. Setiap entitas negara pada dasarnya adalah egois, bertindak berdasarkan maksud dan tujuannya masing-masing.
Di tengah tidak menentunya sistem internasional dewasa ini, menahan diri dan tidak terpancing untuk membuat keruh suasana di Semenanjung Korea sejatinya merupakan pilihan bijak. Dalam teori resolusi konflik, untuk menghentikan sebuah konflik rupanya tidak melulu harus diakhiri dengan penandatanganan kesepahaman perdamaian antara pihak-pihak yang berkonflik. Adakalnya juga suatu konflik bisa berakhir dengan cara pembiaran alias pihak-pihak yang berkonflik dibiarkan sampai mereka merasa capek dan berhenti sendiri. Konflik terbuka Korsel-Korut yang berlangsung pada 1950-1953 pada hakikatnya tidak pernah selesai, konflik keduanya malah mereda hanya dengan gencatan senjata bukan dengan kesepakatan untuk mengakhiri konflik. Sehingga sampai saat inipun konflik keduanya masih terus berlangsung.
Dalam konteks mutakhir, apakah ketegangan antara Korut versus Korsel yang disokong AS bersama Jepang akan berakhir dengan cara pembiaran alias membiarkan Korut leluasa berimprovisasi? Hemat saya, bisa jadi iya. Korut pada padasarnya tidak mau didikte, diintervensi, bahkan diancam. Sebagai sebuah negara, Korut merasa memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan negara-negara lain untuk melakukan apa yang mereka anggap patut untuk dikembangkan demi mendukung kepentingan nasionalnya. Berulangkali otoritas Korut menyatakan bahwa mereka akan semakin tidak bersahabat jika kepentingannya diganggu oleh hal-hal yang dianggap menghambat dan cendrung sensitif, cendrung memancing amarah Korut. Frekuensi latihan militer gabungan antara AS, Jepang, dan korsel di Semenanjung Korea, intervensi AS terhadap program rudal-nuklir Korut, serta ancaman-ancaman AS bersama sekutunya dalam forum internasional PBB inilah yang justru semakin membuat Korut gerah dan tidak mengindahkan desakan masyarakat internasional. Dalam Bahasa sederhana, Korut itu hanya ingin dimengerti bukan untuk diintimidasi. Dalam nalar sehat, Korut ingin menginginkan terwujudnya kesetaraan hak dengan negara-negara lain yang lebih dulu mengembangkan senjata nuklir, mempunyai rudal balistik. Bagi Korut, kalau mereka boleh, mengapa Korut dilarang?
Baca juga Agresivitas AS vs Brutalitas Korut
Baca juga Agresivitas AS vs Brutalitas Korut
politik emang hal yang selalu ada bahasannya
ReplyDelete