Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah pihak di Kabupaten Pamekasan yang terdiri dari: Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Inspektorat beserta staf, satu oknum Kades Rabu (2/1/17) lalu semakin memperkuat fakta bahwa korupsi kini sudah masuk ke pelosok desa. OTT KPK di Pamekasan terkait erat dengan kasus korupsi dana desa yang diduga kuat diselewengkan oleh Kades Dasuk Pademawu Pamekasan dan pada saat yang bersamaan sedang disidik oleh Kejaksaan Negeri Pamekasan. Lalu apa hubungannya dengan Bupati Pamekasan? Sang Bupati yang kini resmi menyandang sebagai tersangka bersama Kades turut menyuap Kajari dan Kepala Inspektorat Pamekasan agar proses penyidikan terkait korupsi dana desa dihentikan. Barang bukti uang senilai 250 juta rupiah sebagai uang pelicin agar investigasi dugaan korupsi dana desa sebesar 100 juta tidak diteruskan berhasil diamankan KPK dalam OTT di Pamekasan. Lima tersangka yang terjaring operasi KPK di atas kini berstatus sebagai tersangka dan harus ditahan untuk menjalani proses hukum lanjutan.
Apa yang terjadi di Pamekasan baru-baru ini merupakan fenomena riil betapa desa menjadi ladang baru tindak pidana korupsi. Berlakunya UU Desa No 06 tahun 2014 semenjak tahun anggaran 2015 yang mewajibkan pemerintah pusat mengucurkan anggaran dana desa mengalir ke rekening desa melalui mekanisme pemerintah daerah sebagai wakil pemerintah pusat seakan menjadi babak baru korupsi di Indonesia. Kalau sebelumnya, korupsi hanya menimpa instansi-instansi basah dan strategis, sejak berlakunya era otonomi desa dengan sokongan anggaran fantastis harus diakui korupsi sekarang sudah menjamah desa. Suatu entitas yang dulunya sepi dari hingar bingar pemberitaan negatif korupsi, kalaupun ada tidak seheboh yang terjadi belakangan ini. Karena sudah terlanjur terjadi, pertanyaannya kemudian siapa yang salah? Anggarannya atau apanya?
Mengucurnya dana desa dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang saat ini sudah memasuki tahun ketiga sejatinya merupakan amanat undang-undang sekaligus harapan baru agar pembangunan Indonesia benar-benar menyentuh semua lini utamanya kawasan terpencil perdesaan yang jumlahnya begitu banyak. Menurut data terbaru, jumlah desa di Indonesia saat ini mencapai 74.910 desa, dan semuanya mendapatkan kuncuran dana desa. Tahun 2017 ini total anggaran dana desa berjumlah 60 triliun rupiah, dan rata-rata setiap desa mendapat dana desa dengan nominal 800 juta rupiah-1 miliar dari yang sebelumnya hanya 643,6 juta rupiah (Sumber: Kemendes PDTT). Sebuah nominal yang tidak sedikit untuk sekelas desa yang pada periode-periode sebelumnya selalu merasa tidak diperhatikan pemerintah hingga akhirnya undang-undang desa lahir dan resmi dijalankan.
Bagi warga desa, nominal uang ratusan juta hingga milirian rupiah bukanlah sesuatu yang kecil, sangat besar dan menggiurkan. Apalagi ditambah dengan jaminan pemerintah bahwa setiap tahun akan ada peningkatan transfer dana desa yang hingga puncaknya di tahun 2019 dan seterusnya setiap desa bisa menerima kucuran dana minimal satu miliar hingga maksimal 1,4 miliar rupiah. Tentu sebuah godaan besar bagi pemerintah desa yang jika mentalnya belum terbentuk kejadian seperti di Kabupaten Pamekasan bisa kembali terulang. Selain itu, Pemda bisa menjadi lingkaran setan para pemain anggaran, pemakan uang rakyat yang rela menggadaikan amanat negara demi kepuasan pribadi satu dua orang. Kasus terbongkarnya skandal korupsi dana desa di Pamekasan yang menyeret Bupati dan beberap oknum pejabat daerah serta Kades penerima dana desa menjadi bukti penguat yang menjustifikasi bahwa memang dana desa berpotensi kuat melahirkan poros setan baru di daerah. Lantas bagaimana solusi agar dana desa tidak bocor dan tepat guna?
Hemat penulis, dalam hal mencegah kebocoran dana desa Kades menjadi pihak pertama yang mesti selalu dikawal, ia adalah kuasa pengguna anggaran dana desa yang tahu betul kemana arah dana desa, untuk program apa saja anggaran ia alokasikan? Saya pernah menjadi praktisi pembangunan desa selama dua tahun, tepatnya sebagai Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan (PSP3) Kemenpora di salah satu desa di Kabupaten Garut Jawa Barat. Selama kurun waktu itu, saya pernah memonitor kinerja Kades setempat beserta aparat pemerintah desa lainnya. Berhubung wewenang saya hanya sebatas asistensi dan dan fasilitasi, saya tidak berwenang mengambil tindakan eksekutif, membelanjakan anggaran dana desa. Kapasitas saya hanya memberikan konsultasi, masukan, rekomendasi, dan arahan agar dana desa benar-benar tepat sasaran. Dalam kurun waktu tersebut, saya menemukan fakta bahwa dana desa memang sangat sensitif, wewenang kades selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) rentan tersusupi bisikan-bisikan negatif yang bisa menjerumuskan Kades ke lubang korupsi.
Kades yang tidak bijak cendrung menjadikan dana desa sebagai alat menghukum warga yang bukan konstituennya, alias RW atau kampung yang bukan basis pendukungnya tidak diprioritaskan dalam program pembangunan desa. Pernah saya menerima aduan warga, Ketua RT, Ketua RW yang merasa bahwa lingkungan RW-nya diabaikan oleh Kades karena mereka bukan konstituen Kades, padahal pembangunan jalan lingkungan di lokasi mereka mendesak untuk dibangun guna membuka akses sehingga aktivitas perekonomian warga bisa berjalan lancar. Menanggapi aduan warga saya tidak segan untuk langsung menemui Kades, menyampaikan amanat penderitaan warga. Ironisnya, di hadapan saya Kades menyatakan akan menindaklanjuti perihal aduan tersebut namun dalam praktek rupanya jauh panggang dari api. Ini hanya satu dari sejuta problematika otoritas desa yang jamak terjadi di pinggiran Indonesia.
Masalah yang paling substantif adalah terkait kualitas sumber daya manusia dan tersedianya sistem pengawasan dana desa yang benar-benar ampuh mencegah terjadinya kebocoran dana desa. Harus berbesar hati untuk mengakui bahwa memang SDM dalam jajaran pemerintahan desa sampai detik ini terbilang minim untuk dipasrahi mengelola anggaran dana desa yang tidak sedikit itu. Desa yang pernah saya bina, rata-rata aparat pemerintahnya berijazah SD-SMP termasuk sang Kades. Karena itu, mengebut peningkatan kapasitas SDM pemerintah desa, minimnya SDM harus juga ditutupi dengan penguatan sistem. Pemerintah desa harus dipacu untuk melek IT, pentingnya transparansi dan akuntabilitas publik mengingat zaman sekarang sudah berubah, semua semakin digital, semua bisa mengawasi, dengan begitu publik bisa memantau kemana saja anggaran dana desa. Pemerintah terkait seperti Kemendes, Kemendagri wajib menekan aparat pemerintah desa untuk benar-benar transparan, akuntabel terkait pengelolaan dana desa.
Wajibkan pemerintah desa untuk membuat web desa yang bisa digunakan secara online untuk mengkomunikasikan semua hal tentang desa mulai dari sejarah, aset desa, laporan keuangan desa, dan lain-lain. Juga perlunya pemerintah desa memiliki papan pengumuman yang berisi informasi progres pengelolaan anggaran desa, program dan agenda pembangunan desa. Dan juga kotak aduan untuk menampung aspirasi warga. Dengan begitu tidak akan ada lagi dusta pengelolaan dana desa, semua dibuka, semua ikut mengawasi. Saya sangat mengapresiasi dan mendukung respon Presiden Jokowi ihwal OTT KPK di Pamekasan yang menyatakan bahwa pemerintah ke depan akan benar-benar mengawasi penggunaan dana desa. Selaras dengan itu, menciptakan sistem yang benar-benar andal dalam mencegah terjadinya penyelewengan dana desa adalah mutlak dilakukan pemerintah agar preseden di Pamekasan tidak menular ke daerah lain. Adanya pendamping desa untuk setiap desa dari Kemendesa PDTT memang baik, namun peran mereka seperti nihil karena terkesan hanya sebatas formalitas belaka, buat apa ada pendamping desa jika tidak bisa mencegah potensi kecurangan dana desa yang rawan dilakukan Kades. Ibaratnya, macan ompong yang tidak bisa menerkam mangsa yang berpeluang untuk berlaku curang. Saatnya kita akhiri penyelewengan dana desa demi terwujudnya kesejahteraan dan pembangunan warga desa yang semakin berkualitas.
Baca juga Hikmah Bupati Pamekasan Ditangkap KPK
Baca juga Cara Melaporkan Korupsi Dana Desa
Baca juga Hikmah Bupati Pamekasan Ditangkap KPK
Baca juga Cara Melaporkan Korupsi Dana Desa
sudah menjadi sifat manusia selalu kurang atas apa yang telah didapat.
ReplyDeletewajib dijadikan pelajaran.
Nice article
ReplyDeletewah korupsi udah meraja lela diindonesia
ReplyDelete