Di antara tiga musuh besar negara (narkoba, korupsi, dan terorisme) narkoba menjelma menjadi pembunuh paling mematikan yang sangat mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa. Data BNN menyebutkan bahwa kematian warga akibat narkoba per harinya mencapai 33 orang, per bulannya mencapai 990, dan per tahunnya ada sekitar 11800 jiwa melayang sia-sia akibat narkoba (BNN 2014). Tidak salah jika Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa negara dalam darurat narkoba, karena itu memeranginya menjadi keniscayaan. Perang melawan narkoba dewasa ini menjadi vital karena narkoba benar-benar mengancam masa depan bangsa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa narkoba menyerang siapapun tanpa pandang bulu; tua muda, berpendidikan-tidak berpendidikan, belia-dewasa menjadi korban empuk narkoba.
Di antara sekian banyak korban kejahatan narkoba, anak-anak usia produktif (belasan tahun) kini rawan menjadi sasaran target para pengedar dan pengecer narkoba. Di desa tempat penulis berasal, anak-anak berusia SD, SMP, dan SMA tidak sedikit yang terperangkap peredaran narkoba. Di usia mereka narkoba bukan lagi menjadi barang tabu, mengonsumsinya seakan menjadi kebutuhan. Bertindak instan ingin cepat senang dengan cara yang salah adalah perilaku anak-anak kurang beruntung itu, mereka mendapat narkoba dari pengecer yang menjual barang haram tersebut dengan harga relatif terjangkau berkisar Rp.100.000,-. Ada yang urunan antar sebaya mereka, ada pula yang harus menabung uang saku sekolah terlebih dahulu untuk kemudian dibelanjakan narkoba.
Tragisnya, perilaku merusak ini tidak kunjung mendapat respon bijak dari pihak-pihak terkait. Kepala desa, tokoh masyarakat acapkali membiarkan, tidak berani mengambil tindakan korektif seperti menegur atau melaporkan pengedar ke aparat penegak hukum. Pun demikian pula dengan pihak orangtua yang terkesan enggan menjaga mobilitas anaknya sehingga terjerat narkoba. Lebih disayangkan lagi, ketika tahu anaknya positif pengguna narkoba, orangtua terkait tidak memiliki kesadaran untuk segera merehabilitasi anaknya ke lembaga-lembaga rujukan baik negeri ataupun swasta. Alhasil, pembiaran ini tak pelak menjadi lingkaran setan yang semakin mengancam masa depan anak.
Hidup di lingkungan berkubang narkoba sungguh sangat riskan, jika tidak benar-benar kuat melawan gempuran arus bisa dipastikan yang bersangkutan akan terseret dan terpapar narkoba. Dari pengamatan saya, anak-anak yang positif narkoba akibat lingkungan tidak kondusif dan pergaulan yang salah. Mengapa mereka bisa salah pergaulan? Karena pihak terdekat seperti orangtua tidak benar-benar waspada akan lingkungan sekitar yang tidak lagi bersahabat dengan tumbuh kembang anak, abai mengawasi dengan siapa anak bergaul? Tidak mengetahui apa yang dilakukan anak saat tidak berada di rumah? Tidak menaruh curiga terhadap perilaku anak. Buntutnya, orangtua hanya bisa bersedih saat tahu anaknya menjadi pengguna narkoba. Sungguh penulis merasa iba ketika anak usia sekolah dasar-menengah di desa penulis tinggal, saat dicurigai mengonsumsi narkoba akibat gelagatnya yang tidak biasa dengan polosnya mengaku sudah sekian lama menjadi pecandu narkoba.
Agar anak selamat dari pengaruh narkoba, sejatinya para orangtua interospeksi, belajar dari cerita absennya peran kepemimpinan orangtua di lingkungan keluarga yang menyebabkan terperosoknya anak ke lembah hitam narkoba. Anak adalah aset berharga orangtua, menjaga, merawat, dan melindunginya mutlak dilakukan orangtua demi mewujudkan mimpi menjadikan anak pelita harapan keluarga. Pertanyaan besarnya kemudian adalah bagaimana melindungi anak dari bahaya narkoba? Melakukan langkah-langkah pro aktif seperti memastikan anak betah di rumah, tahu dengan siapa-siapa saja anak bergaul, apa saja kebiasaan anak di luar rumah dan mencari tahu kemana anak pergi adalah sederet antisipasi penting guna mencegah anak tidak berbuat sesuatu yang tidak diingingkan.
Keluarga menjadi benteng strategis dalam mengawal anak selamat dunia akhirat, narkoba jelas merupakan ancaman serius keselamatan masa depan anak. Membangun ketahanan keluarga menjadi keharusan dalam rangka mencegah anak dari bahaya narkoba. Keluarga yang baik dan peduli akan menjadikan anak betah di rumah. Sebaliknya, keluarga yang abai dan tidak peka cendrung membuat anak enggan berada di dalam rumah, jarang di rumah, lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Karena itu menjadi orangtua yang peka serta melayani akan kebutuhan-kebutuhan anak adalah keharusan guna mencegah anak tidak salah pergaulan.
Orangtua harus menjadi figur bagi anaknya, orangtua juga harus siap menjadi pelayan bagi anaknya. Anak-anak yang salah pergaulan biasanya karena salah urus, orangtua tidak mampu memenuhi tuntutan anak, tidak mampu mengambil hati anak sehingga anak mencari figur di luar rumah. Nah, ketika orangtua tidak lagi menjadi figur sentral, anak akan cendrung mencari figur yang salah. Dari analisa empiris penulis, berteman dengan orang-orang yang negatif seperti pemakai dan pengecer narkoba akan menjadi pelampiasan anak. Ujungnya, anak yang bersangkutan menjadi pengguna narkoba juga.
Jika ini yang harus terjadi, orangtua tidak bisa menjadi figur dan pelayan yang baik bagi anak, maka lonceng kehancuran anak tinggal menunggu waktu saja. Agar hal ini tidak terjadi, sedari dini mari mawas diri, orangtua harus menjadi sosok pelayan anak yang mengerti akan kebutuhan anak. Sudah menjadi kodrat bahwa orangtua adalah penanggungjawab anak. Ambil hati anak dengan sentuhan positif, sepanjang masih dalam koridor respon setiap permintaan anak dengan bijak, jangan biarkan anak mencari sosok lain untuk memenuhi kebutuhannya. Layani anak dengan setulus hati, contohlah matahari yang tidak pernah lelah menyinari semesta. Penulis optimis anak-anak akan selamat dari narkoba jika orangtua dekat dengan anak.
Info yang sangat bermanfaat mas.
ReplyDelete