Beberapa waktu terakhir, Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump menunjukkan karakter asli negeri paman syam yang benar-benar ofensif dan tanpa kompromi. Dimulai dari diluncurkannya 60 rudal Tomahawk yang memborbardir basis pertahanan Pemerintah Suriah sebagai respon atas dugaan penggunaan senjata kimia oleh otoritas Pemerintah Suriah yang menelan banyak korban sipil tak berdosa. Tidak berhenti sampai disitu, beberapa hari setelah menyerang Suriah, AS juga menyerang basis-basis pertahanan kelompok teroris ISIS di Afganistan. Tidak tanggung-tanggung, dalam misi ini AS menggunakan bom GBU-43/B alias ibu dari segala jenis bom. Dalam sejarah, bom ini adalah jenis bom non nuklir terbesar yang pernah digunakan AS dalam pertempuran. AS mengklaim sukses dalam misi tersebut.
Puas melancarkan agresi di dua negara Timur Tengah, AS kemudian bergeser menuju Asia Timur, kali ini Semenanjung Korea yang menjadi fokus. Tidak kurang dari 7.000 personel marinir AS lengkap bersama kapal induk USS Carl Vinson dan beberapa kapal perang dikerahkan menuju perairan Pasifik Barat, tempat latihan bersama militer AS-Korsel. Hal ini sebagai respon atas sikap Korea Utara yang selalu unjuk gigi memamerkan senjata nuklir mereka dengan menggelar uji coba rudal misil balistik yang dianggap provokatif dan meresahkan dunia.
Apa yang telah direalisasikan AS dengan bertindak taktis, memperlihatkan kapasitas militer yang dimiliki, mengerahkan kekuatan militer ke Semenajung Korea bisa dipahami sebagai upaya penggentaran guna menggertak Korut tidak berani melakukan tindakan-tindakan yang merusak tatanan internasional. Dalam perpektif kajian strategis, tindakan AS ini dikenal istilah deterrence, yaitu upaya preventif suatu negara menekan negara lain tidak berani melakukan aksi yang tidak dikehendakinya (Upaya Penggentar). Secara etimologis, deterrence berarti komitmen kondisional untuk membalas, jika kelompok lain gagal berperilaku sebagaimana yang diinginkan pihak deterrer. Secara eksklusif, deterrence merupakan negative sanction atau negative threat. Berdasarkan hal itulah deterrence kemudian dikategorikan sebagai sistem ancaman (threat) dan komitmen kondisional untuk melaksanakan sanksi (punishment) bagi pihak yang beperilaku tidak sesuai dengan keinginan pihak deterrer.
Peningkatan kemampuan militer, senjata canggih dengan daya hancur masal, pembentukan aliansi dan ancaman melakukan tindakan adalah beberapa sarana yang biasa digunakan negara dalam melancarkan deterrence. Selaras dengan paparan di atas, ditinjau dari tipenya menurut Glenn Snyder dalam Kamus Politik Dunia (1992:71) menyebutkan, ada dua jenis deterrence antara lain: detterence by denial yaitu deterrence dengan cara kontestasi kontrol atas teritori dan populasi yang secara tradisional diasosiasikan dengan strategi pertahanan atas teritori. Bentuk dari deterrence jenis ini dapat dilihat dari upaya klaim negara terkait suatu teritori yang diyakini menjadi bagian dari kedaulatannya.
Selain itu, bentuk lainnya adalah negara tersebut kerap mengorientasikan pada peningkatan kekuatan dan melakukan perimbangan ancaman (berliansi) guna memperkuat strategi pertahanannya. Berikutnya adalah deterrence by punishment yaitu deterrence yang dilakukan oleh negara yang sudah memiliki kapabilitas militer seperti kekuatan udara, misil balistik, fisi dan fusi senjata (air power, ballistic missile, fision and fusion weapons). Karenanya, negara yang telah memiliki kapabilitas semacam ini bisa melakukan deterrence dengan memberikan sanksi langsung atas negara musuh.
Berdasarkan paparan di atas, aksi AS yang secara terbuka menggertak Korut agar tidak melakukan tindakan provokatif, menghentikan proyek nuklirnya dapat digolongkan sebagai deterrence by punishment. AS mengirim pesan eksplisit benar-benar akan menyerang Korut sebagai bentuk hukuman (punishment) jika ancaman dan peringatan AS tidak diindahkan. Dua serangan militer AS ke Suriah dan Afganistan adalah bukti nyata AS di bawah komando Presiden Trump tidak main-main dengan komitmen tegasnya menindak siapapun yang dianggap meresahkan dan mengancam kepentingan strategis AS. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Trump sendiri yang menyatakan bahwa AS siap bertindak sendiri menghadapi ancaman nuklir Korut. Trump juga meminta Korut mesti menjaga sikap, menanggapi uji coba rudal Korut yang gagal (16/4). Hal senada juga disampaikan Wakil Presiden AS Mike Pence saat kunjungan kerja ke Korea Selatan, yang pada saat itu, Pence mengunjungi zona demiliterisasi Korut-Kersel. Di tempat damarkasi kedua negara itulah, Pence melontarkan pernyataan bahwa AS bersama sekutunya telah kehilangan kesabaran strategis terhadap Korut. Secara spesifik, Pence menekan agar Korut menghentikan ambisi senjata nuklir dan rudal balistiknya.
Menanggapi ancaman AS, otoritas Korut tidak tinggal diam, Kementerian Luar Negeri Korut menyatakan bahwa Korut siap berekasi terhadap segala bentuk modus perang yang diinginkan AS. Juga melalui Duta Besarnya di PBB Kim Ing Ryong menegaskan bahwa Korut siap untuk melayani segala bentuk perang yang dikehendaki AS. Benar-benar seksi dan enigmatik, masing-masing memiliki derajat kepercayaan diri yang luar biasa. Inilah wujud riil bagaimana misi politik internasional dikomunikasikan dan diimplementasikan. Perang pernyataan, saling gertak, dan unjuk kekuatan adalah turunannya.
Dalam tataran lebih praktis, AS sebagai superpower dengan caranya tentu akan melakukan langkah-langkah konkret guna memastikan kepentingan politiknya terjaga, melindungi sekutu karib seperti Korsel- Jepang, memastikan stabilitas kawasan di Semenanjung Korea dan dunia adalah kepentingan strategis AS. Sebaliknya, menjaga kedaulatan internal tidak diganggu pihak eksternal, misal program nuklir dan rudal balistik adalah kepentingan vital Korut sebagai entitas negara berdaulat yang tidak mau dititah oleh siapapun termasuk AS, PBB, dan sekutu-sekutunya. Karena itu, dengan segala daya Korut juga ngotot akan mempertahankan program nuklirnya. Disinilah konstelasi politik internasional itu terlihat sangat relatif dan subyektif, bergantung dari perspektif mana kita menilainya. Lantas, bagaimana masa depan Semenanjung Korea jika gelagat Korut seperti ini terus?
Kehadiran kekuatan asing yang mengerti Korut, sepandangan dengan negeri komunis tersebut tentu sangat dibutuhkan guna meredam gejolak Korut yang seringkali meluap-luap. Dalam hal ini, China yang secara riil merupakan sekutu terdekat Korut memiliki andil dalam membujuk Korut tidak agresif, mau melunak dan kooperatif dengan seruan dunia internasional yang merasa terganggu dengan ambisi nuklir Korut. China bisa mempersuasi Korut dengan caranya sendiri, bilamana tidak mempan dengan pendekatan halus, China bisa menekan Korut dengan ancaman sanksi ekonomi dan militer, melarang Korut mengimpor barang China, persenjataan China, melarang Korut mengekspor ke China,dan sebagainya. Jika China berhasil memainkan perannya, penulis meyakini Korut perlahan bisa jinak dan menahan ambisinya. Pelibatan China sebagai pihak eksternal kawasan dalam menekan Korut tidak bertindak sporadis sangatlah krusial di samping adanya kekuatan eskternal lain seperti AS yang jelas-jelas berbeda haluan dengan Korut. Kolaborasi AS-China dalam menekan ambisi nuklir Korut sungguh sangat signifikan untuk menjamin kompleksitas masalah keamanan kawasan di Semenanjung Korea tetap stabil, tidak sampai bereskalasi menjadi perang terbuka. Dengan begitu, masa depan semenanjung bisa tetap terjaga, aman dan terkendali. Semoga!
Baca juga Ihwal Politik Ancaman Korut-AS
Baca juga Ihwal Politik Ancaman Korut-AS
Perang dong. Agar kami para blogger bisa jadi saksi sejarah. Hehehe
ReplyDelete