Dewasa ini Indonesia dilanda berbagai masalah serius yang sangat memprihatinkan, narkoba sudah masuk ke semua lini, terorisme dan sikap intoleran semakin tumbuh subur, pun demikian dengan perilaku korup yang semakin menggurita. Ketiga masalah di atas tak pelak dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa yang harus dibasmi dan diperangi. Namun begitu, dalam tulisan ini penulis hanya ingin fokus dengan masalah intoleransi yang menjadi akar radikalisme. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana strategi membasmi sikap intoleran? Pendidikan inklusif berbasis multikultur adalah kuncinya. Menjadi sebuah anomali yang sangat mengkhawatirkan jika negara dengan segudang keragaman seperti Indonesia, hanya gara-gara musim politik Pilkada harus terkoyak dan terpolarisasi menjadi sentimen identitas dan kelompok. Fakta yang terjadi pada Pilkada DKI 2017 menggambarkan dengan sesungguhnya bahwa kebinekaan kita sebagai negara-bangsa dalam ancaman.
Manusia sekarang dengan mudahnya mengintimidasi warga yang berbeda pilihan politik, maraknya spanduk-spanduk provokatif berisi teror tidak akan menshalatkan jenazah yang memilih gubernur non muslim adalah contoh nyata betapa kesatuan Indonesia sebagai negara Pancasila sedang diuji. Selain itu, aksi-aksi jalanan bertameng agama kerap dilakukan untuk kepentingan politik. Bahkan ironisnya, masjid kini berubah fungsi menjadi media politik dan panggung untuk menebarkan virus kebencian. Ini bukan tuduhan tanpa bukti, saya pernah menjumpainya. Sesekali saya mampir shalat di salah satu masjid di Jakarta Pusat, selesai shalat ada tausiyah agama yang diberikan oleh imam shalat. Sayangnya, isi tausiyah yang disampaikan tidak lain hanyalah propaganda sinis untuk tidak memilih salah satu pasangan karena alasan SARA.
Bagi penulis dan orang-orang yang sepandangan hal ini tentu adalah sebuah kemunduran, dikatakan demikian karena negara dengan tegas telah mengatur hak-hak konstitusional warga terkait hak dipilih dan hak memilih. Melarang orang menyalurkan pilihan politik pada satu sosok yang diyakini mampu membawa perubahan positif jelas menabrak konstitusi. Disinilah pentingnya kedewasaan politik, bahwa boleh saja berbeda pilihan tapi tidak perlu memaksakan pilihan kepada orang lain yang berlainan selera politik. Indonesia, negara dengan segudang perbedaan, tidak mungkin dipaksa harus seragam. Karena itu saling menghormati satu sama lain adalah suatu keniscayaan. Tidak berhenti sampai disitu, radikalisme dan terorisme belakangan juga makin hidup. Tragisnya, tidak sedikit anak muda yang menjadi agen teror yang siap bertaruh nyawa demi sesuatu yang dianggapnya sebagai suatu kebenaran.
Tertangkapnya calon pengantin bom bunuh diri yang merencanakan aksi pengeboman di Istana Merdeka, tertangkapnya sindikat teroris dalam kasus Bom Thamrin, Bom Panci di Bandung, kasus pengeboman Gereja di Samarinda, semuanya adalah individu-individu muda yang otaknya sudah tercuci oleh doktrin-doktrin eksklusif yang membahayakan. Tragisnya, sebagian besar mereka adalah residivis kasus teror. Kredo mereka adalah bahwa siapapun pihak-pihak yang berlainan dengan garis perjuangan mereka, berbeda pemahaman dengan apa yang mereka yakini dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan dengan cara-cara radikal yang sangat brutal. Inilah esensi dari radikalisme yang berujung pada tindakan barbar yang merusak.
Sikap intoleran sebagaimana mewabah dalam Pilkada DKI dan menjamurnya ancaman radikalisme beberapa waktu terakhir adalah peringatan keras bahwa sudah saatnya kita interospeksi dan berbenah. Mengapa semakin hari semakin banyak warga yang tidak kunjung dewasa menyikapi perbedaan? Mengapa pula aksi terorisme tidak pernah ada habisnya, mati satu, tumbuh seribu? Sebangsa entitas bangsa, kita mesti ikut memikirkan keutuhan bangsa, caranya bergantung kreatifitas masing-masing. Melalui tulisan ini, izinkan penulis menawarkan pemikiran personal guna menyembuhkan sikap intoleran dan aksi radikal yang akhir-akhir ini masif terjadi di tanah air. Hemat penulis, solusi terbaiknya adalah dengan pendidikan inklusif berbasis multikultur.
Sedari dini anak-anak bangsa harus diedukasi dengan keterbukaan, bagaimana menyikapi perbedaan keyakinan antar sesama agama dan pemeluk agama lain? Mereka mesti diajarkan bagaimana berpikir kritis tapi tetap moderat, tidak mudah menerima sesuatu mentah-mentah, harus difilter dan dicarikan rujukannya, apakah sesuai dengan ajaran yang semestinya atau malah sebaliknya? Masalah pokok intoleransi dan radikalisme adalah pola pikir yang sangat eksklusif, kaku, serta tertutup. Merasa paling benar sendiri dan menganggap yang berbeda salah adalah turunan dari mindset eksklusif yang tidak mau menerima kebenaran yang diyakini orang lain.
Sedari dini anak-anak bangsa harus diedukasi dengan keterbukaan, bagaimana menyikapi perbedaan keyakinan antar sesama agama dan pemeluk agama lain? Mereka mesti diajarkan bagaimana berpikir kritis tapi tetap moderat, tidak mudah menerima sesuatu mentah-mentah, harus difilter dan dicarikan rujukannya, apakah sesuai dengan ajaran yang semestinya atau malah sebaliknya? Masalah pokok intoleransi dan radikalisme adalah pola pikir yang sangat eksklusif, kaku, serta tertutup. Merasa paling benar sendiri dan menganggap yang berbeda salah adalah turunan dari mindset eksklusif yang tidak mau menerima kebenaran yang diyakini orang lain.
Tanpa bermaksud berlebihan, penulis sangat mengapresiasi langkah Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang telah berupaya membangun pondasi kebangsaan dengan gebrakannya memberi porsi pendidikan agama dan kultur yang inklusif-proporsional kepada seluruh peserta didik tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Dedi berani memberi layanan pendidikan agama bagi seluruh siswa muslim dan non muslim, bahkan secara khusus Dedi mendatangkan guru agama untuk mengajarkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut siswa tanpa diskriminasi. Melalui layanan pendidikan agama ini Dedi juga mewajibkan setiap siswa mempelajari kitab agama sesuai dengan agama yang dianut masing-masing pelajar.
Menariknya, bagi pelajar muslim ditambah dengan pendalaman kitab kuning yang bermuatan pendapat-pendapat dan karya ulama terkait suatu kajian tematik ibadah ritual maupun sosial. Tujuannya tidak lain adalah mengajarkan kepada anak didik bahwa setiap agama mengajarkan kebajikan dan kebaikan. Bahwa menebar kasih-sayang kepada siapapun adalah amanat Tuhan kepada setiap manusia. Agama tidak saja mengajarkan kesalehan personal vertikal, tapi juga sosial horizontal dengan peduli kepada sesama, saling hormat-menghormati, serta menghargai satu sama lain.
Selain melakukan pendekatan pendidikan agama, pendekatan kultural juga ditempuh Dedi seperti misalnya pendidikan tujuh hari istimewa Purwakarta yang dua di antaranya berisikan: pada hari Senin, agenda pendidikan di Purwakarta bertema “Ajeg Nusantara”. Hari ini siswa dikenalkan dengan keragaman nusantara, mulai dari seni budaya, potensi, sampai kekayaan alamnya. Dengan demikian, setiap siswa dapat mengetahui keragaman Indonesia sehingga muncul rasa respek dan memiliki akan kekayaan bangsa. Yang unik, di hari Rabu, tema berubah menjadi ”Maneuh Sunda”, isinya adalah pendidikan khas Sunda. Semua pelajar diwajibkan memakai pangsi, iket, serta kebaya yang mencirikan identitas orang Sunda. Hal ini sebagai upaya untuk memperkenalkan kultur Sunda sebagai aset kearifan lokal yang harus terus dipelihara. Dengan cara seperti ini siswa dibentuk untuk menjadi manusia Indonesia yang sesungguhnya, pribadi yang tahu jati dirinya, memahami betul ajaran agama yang dianut, dan siap hidup berdampingan dengan sesama anak bangsa yang berbeda pilihan hidup.
Kombinasi pendekatan pendidikan agama-kultural sebagaimana penulis paparkan di atas sejatinya bisa dijadikan role model pendidikan inklusif di Indonesia, perlu diadopsi dan disesuaikan dengan kultur daerah karena setiap daerah memiliki ragam kekayaan budaya yang tidak sama. Penulis optimis bahwa sikap intoleran dan radikalisme dapat ditangkal semenjak dini jika ada kesungguhan dari para pemangku kepentingan terkait. Inisiasi dari Bupati Purwakarta semoga saja menginspirasi para Kepala Daerah lain di Indonesia. Saatnya mewujudkan pendidikan inklusif berbasis kultur!
Moh. Zahirul Alim,
Penggiat kajian sospol, alumnus FISIP UB Malang
0 Response to "Menangkal Radikalisme dengan Pendidikan Inklusif "
Post a Comment