Setiap ada awal pasti ada akhir, setiap ada pembuka pasti ada penutup. Pun demikian dengan pesta demokrasi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) 2017 yang harus berakhir Rabu, 19 April 2017. Setelah melalui dinamika seru, gejolak, dan prahara yang sungguh berhasil mengaduk-ngaduk emosi-hati warga DKI khususnya serta masyarakat Indonesia pada umumnya akhirnya DKI kini telah memiliki gubernur definitif, pilihan hati warga DKI untuk periode lima tahun mendatang (2017-2022).
Pasangan yang beruntung itu adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno, tanpa mendahului KPUD DKI, merujuk hasil hitung cepat beberapa lembaga survei kredibel seperti Litbang Kompas, Indokator, Indobarometer, Charta Politika, Lingkaran Survei Indonesia, Polmark, semuanya secara seragam menyimpulkan bahwa berdasar hasil hitung cepat pasangan nomor urut 3 ini dipastikan memenangi Pilkada DKI putaran kedua dengan angka kemenangan yang sangat telak di atas 15 persen. Sebagai sampel, hasil hitung cepat Litbang Kompas menyimpulkan perolehan suara Ahok-Djarot sebesar 42% dan Anies-Sandi 58%. Sementara menurut Indokator, Ahok-Djarot 42,11% dan Anies-Sandi 57,89%.
Adapun menurut Polmark, Ahok-Djarot 42,44% dan Anies Sandi 57,56%. Versi Indobarometer Ahok-Djarot 41,50% dan Anies Sandi 58,50%. Demikian pula menurut Charta Politika, Ahok-Djarot 42,13% dan Anies-Sandi 57,87%. LSI juga merilis bahwa Ahok-Djarot memperoleh 44,59 % dan Anies-Sandi 55.41%. Sebuah realitas politik yang sangat mengejutkan, di luar dugaan Anies-Sandi mengungguli Ahok-Djarot dengan gap yang cukup jauh, melampaui temuan lembaga survei beberapa hari sebelum hari H pemungutan suara digelar yang memprediksi akan ketatnya perolehan suara Anies-Sandi vs Ahok-Djarot di angka satu digit, 1 persen-8 persen.
Kita patut bersyukur, rupanya masing-masing pihak tahu diri, dari kubu Anies-Sandi misalnya, menanggapi kemenangan secara bijak dengan tidak merasa jumawa, berniat akan segera silaturahim-menjalin komunikasi dengan Ahok-Djarot, mengajak semua warga DKI bersatu serta bekerja sama membangun Jakarta. Sebaliknya di pihak Ahok-Djarot, secara kesatria keduanya berbesar hati-legawa, dengan terbuka baik Ahok maupun Djarot menyampaikan ucapan selamat kepada gubernur-wakil gubernur DKI terpilih. Keduanya juga berkomitmen akan membantu Anies-Sandi dalam mempersiapkan peralihan kepemimpinan yang akan mulai mereka jalani Oktober 2017. Suatu pendidikan politik yang sangat positif, elok, dan perlu untuk dicontoh.
Ada yang menarik daripada sekadar mengatakan bahwa Pilgub DKI sudah usai, adalah fakta terkait gubernur-wakil gubernur terpilih Jakarta, bahwa semenjak mekanisme pemilihan gubernur-wakil gubernur dilakukan secara terbuka tahun 2007 sampai Pilgub DKI 2017 putaran Kedua digelar tidak ada satu pun petahana yang berhasil mempertahankan singgasana untuk periode berikutnya. Siklus kekuasaan di DKI hanya mau berputar sekali pada sosok penantang yang berhasil memenangkan pertarungan elektoral melawan petahana.
Era Fauzi Bowo yang mulai menjabat sebagai Gubernur DKI pasca menang atas pesaingnya Adang Darojatun tahun 2007 harus berakhir karena kalah dengan pasangan penantang Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI 2012. Sementara Ahok sendiri yang maju sebagai petahana bersama pasangannya Djarot harus berlapang dada mengakui keunggulan Anies-Sandi, lawan terberatnya dalam persaingan politik DKI 2017. Praktis sampai tulisan ini dibuat belum ada petahana gubernur DKI yang berhasil terpilih untuk periode kedua. Itu artinya Pilgub DKI bisa dibilang sebagai Pilgub yang sarat dinamika, penuh romantika, dan ketidakpastian.
Lebih dari itu, penting untuk disadari bersama bahwa kemenangan yang diraih Anies-Sandi dan kekalahan yang dialami Ahok-Djarot menyiratkan pesan eksplisit, kekuasaan itu hanyalah sesaat, bisa datang dan pergi kapanpun. Siapa yang menyangka di tengah deretan prestasi kinerja Ahok-Djarot yang banjir pujian dan apresiasi, bahkan menurut survei angka kepuasan publik terhadap kinerja petahana di atas angka 70 persen justru tidak berbanding lurus dengan derajat keterpilihan petahana saat Pilgub digelar. Aneh tapi nyata terjadi. Kita harus senantiasa belajar dan mengambil hikmah. Pasti ada yang salah dengan petahana, silahkan telaah sendiri, kira-kira apa yang menyebabkan petahana berprestasi seperti Ahok harus tumbang dengan penantang baru? Bukankah dulunya Ahok juga penantang yang sukses bersama Jokowi mengalahkan gubernur petahana Fauzi Bowo. Hemat penulis, ujian kekuasaan itu saat manusia berkuasa, apakah bisa hati-hati menjaga diri atau malah blunder? Sayangnya, Ahok beberapa kali melakukan blunder yang merugikan dirinya.
Mulai dari gaya komunikasi yang kontraproduktif, kebijakan yang memicu polemik, hingga terjebak sensitifnya persoalan identitas agama yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tidak salah jika banyak pengamat mengatakan, di satu sisi warga DKI puas dengan kinerja Ahok, namun di sisi lain kepuasan ini tidak berbanding lurus dengan keterpilihan Ahok. Sulit untuk menyangkal bahwa sentimen agama adalah faktor determinan Ahok tidak terpilih, juga sukar untuk ditolak bahwa jauhnya perolehan suara Ahok di belakang Anies pada Pilgub putaran kedua ini kalau tidak karena adanya blunder politik yang tidak perlu seperti video kampanye provokatif yang belakangan ditarik ulang dan dugaan politik sembako yang dilakukan tim sukses Ahok.
Apapun itu, nasi sudah menjadi bubur, tahapan Pilgub DKI 2017 sudah selesai. Inilah ujung penantian kita bersama, setelah sekian bulan berkubang dalam panasnya tensi politik Pikada, kita bisa menyaksikan lahirnya gubernur-wakil gubernur baru DKI. Selamat kepada gubernur- wakil gubernur terpilih! Segalanya sudah berakhir, saatnya kita merajut kembali spirit kebangsaan yang sempat terkoyak akibat persaingan politik Pilgub DKI. Ingat, Pilgub hanyalah instrumen demokrasi, sementara persatuan, kesejahteraan, dan keadilan sosial adalah muaranya. Bersiaplah mengeksekusi janji-janji kampanye, program KJP Plus, OK-OCE, DP rumah 0 rupiah, integrasi transportasi harus benar-benar ditunaikan. Semoga!
0 Response to "Akhir Drama Pilgub DKI 2017"
Post a Comment