Di antara tahapan-tahapan Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menarik untuk dikupas adalah sesi debatnya. Ada tiga debat terbuka antar pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur, dari ketiga debat tersebut publik bisa menilai bagaimana kedalaman dan kesiapan seorang kandidat gubernur dan wakilnya jika terpilih menjadi pemimpin DKI periode masa 2017-2022. Pada kenyataannya, debat menjadi momen terbaik untuk memperlihatkan kualitas calon, dan bahkan bisa menjadi cara ampuh untuk menyerang pasangan lain, menguliti kekurangan lawan dan mendongkrak elektabilitas. Akibat debat tingkat keterpilihan suatu pasangan meningkat, pasangan lain merosot tajam. Pasangan Agus-Sylvi misalnya, sebelum debat digelar sempat merajai survei, namun setelah debat digelar elektabilitasya turun tajam, dari kisaran 37 persen menjadi 21 persen. Sebaliknya, lawan yang elektabilitas sebelumnya kurang baik seperti Ahok-Djarot, Anies Sandi pasca debat mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Mengapa bisa demikian?
Dari ketiga debat, sangatlah jelas bagaimana performa masing-masing pasangan. Ada pasangan yang program kerjanya hanya mengambang, di awang-awang, tidak terukur, normatif, terkesan memaksakan, dan tidak meyakinkan. Ada pasangan dengan platform kerja yang jelas, terukur, tidak normatif, apa adanya, disampaikan dengan bahasa yang lugas, mudah dipahami, dan masuk akal. Ada juga pasangan dengan agenda kerja yang bombastis, mengobral segenap janji yang disampaikan dengan gaya retorika persuasif-komunikatif.
Secara riil, Ahok bisa dibilang sebagai sosok yang sukses memaksimalkan panggung debat. Dengan gaya ceplas ceplos, tenang, rasional, dan tanpa beban Ahok bisa memukau penonton debat dan menempatkan dirinya sebagai sosok calon gubernur petahana yang bermental juara. Meski dirundung kasus dugaan penodaan agama yang menguras energi, penampilan Ahok tidak terdampak, dari panggung debat ia sukses menyihir penonton dan para calon pemilih bahwa ia siap dan mampu memimpin lagi DKI Jakarta. Simpati dan animo warga DKI untuk memilihnya bahkan bertambah, terbukti dengan rilis survei lembaga-lembaga mainstream seperti Kompas, Indikator, Poltracking, Populi, Charta Politica yang menempatkan Ahok di urutan pertama sebagai kandidat yang berpeluang memenangi Pilkada DKI.
Kekuatan magis Ahok sebenarnya adalah kepolosan dirinya dalam menyampaikan visi misi politik, gaya komunikasinya sangat efektif, santai, sederhana, tidak menjual janji-janji surga yang sukar direalisasikan, gaya bahasanya lugas sebagaimana diakui kandidat nomor urut satu Agus Harmurti Yudhoyono (AHY), mudah dicerna oleh semua kalangan. Lebih dari itu, Ahok juga sangat menguasai masalah, terlihat ketika pasangan nomor urut satu dan tiga mencoba untuk menyerang dirinya terkait komitmen Ahok terhadap penyandang disabilitas.
Dengan sigap, Ahok menjawab bahwa keduanya memaparkan fakta yang sesat karena tidak sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Bahwa sesungguhnya Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok benar-benar berkomitmen terhadap penyandang disabilitas, Pemprov telah mengalokasikan 1-2 persen jatah kerja untuk penyandang disabilitas, mematahkan tudingan Sylviana Murni yang menyerang Ahok tidak peduli dengan kaum difabel. Juga jawaban Ahok bahwa Pemprov DKI telah memiliki bus Transjakarta yang disetting khusus untuk kaum disabilitas sehingga mereka tidak perlu repot ketika harus menikmati transportasi publik berhasil mematahkan serangan pasangan nomor urut.
Inilah makna debat, bahwa berdebat berdebat bukan sekedar berorasi, beretorika kosong, berdebat itu tentang meyakinkan publik dengan data, fakta, dan argumentasi yang bisa diterima oleh akal sehat. Jika tertarik dengan debat, gaya debat Ahok kiranya bisa menjadi referensi dan pertimbangan yang mencerahkan. Tidak ada salahnya belajar kepada sosok yang katanya dituduh menista agama.
Ada acara Debat dalam pilkada membuat kita dapat memilih dan menilai sosok pemimpin yang benar dan bertanggung jawab.
ReplyDeletemntep gan sangat kren
ReplyDeleteAhok pasti menang dah
ReplyDelete