Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat mendobrak tradisi lama perpolitikan negeri adidaya tersebut yang sebelumnya selalu diisi oleh sosok-sosok berlatarbelakang politisi, akademisi dan kaum elitis. Dalam sejarah, baru kali ini negara sekelas Amerika memiliki presiden berlatarbekalang pebisnis. Kemunculannya seakan menjadi harapan warga Amerika yang bosan dengan gaya kepemimpinan presiden berjiwa elit. Benar saja, Sosok Trump seperti pemuas dahaga bagi bangsa Amerika yang mengimpikan terciptanya nuansa politik baru.
Bak gayung bersambut, lewat kampanye-kampanye politik yang ia janjikan, misal Trump akan membuat tembok raksasa pemisah perbatasan AS-Meksiko, melarang imigran dari Timur Tengah masuk ke AS rupanya laris manis di pasaran politik AS yang berujung pada suksesnya konglomerat properti tersebut menjadi pemegang singgasana politik Amerika hingga 2020. Ajaibnya, tidak lama setelah dilantik Trump benar-benar mewujudkan janji-janji politik yang sempat ia umbar saat masa kampanye. Trump mengeksekusi rencana pembuatan tembok pembatas AS-Meksiko menjadi riil, melarang imigran dari tujuh negara mayoritas muslim masuk ke AS, dan mengkaji ulang kelanjutan kebijakan Obamacare.
Sukses besar Trump memenangi persaingan politik Amerika mengulang kisah sukses presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo atau akrab disapa dengan sebutan Jokowi. Dua tahun sebelumnya, Jokowi yang berlatarbelakang pengusaha mebel terpilih menjadi presiden dalam Pilpres 2014. Suasananya mirip dengan terpilihnya Trump, Jokowi waktu itu terpilih dengan menjual gagasan-gagasan visioner yang begitu menggebrak seperti Revolusi Mental, Nawacita, Tol Laut, Kartu Sakti, Poros Maritim Dunia.
Meskipun diserang dengan berbagai macam kampanye hitam di sana-sini Jokowi berhasil terpilih menjadi satu-satunya presiden Indonesia yang berlatarbelakang pengusaha, wali kota-gubernur. Menariknya ketika Presiden Jokowi dimintai tanggapan terkait terpilihnya Trump, presiden asal Solo tersebut mengaku tidak terkejut alias ia sudah memprediksi sebelumnya. Mungkin inilah yang disebut dengan senyawa, karena sama-sama berjiwa bisnis jadi bisa merasakan dan mengira apa yang bakal lewat.
Baik Jokowi maupun Trump, keduanya adalah potret nyata sosok presiden terpillih yang bernaluri bisnis. Tidaklah mengejutkan jika cara berpikir dan gaya memimpin mereka selalu di luar pakem orang kebanyakan. Setiap kebijakan yang diambil pastilah berorientasi hasil dan masa depan. Cepat, lincah, responsif, serta tegas menjadi ciri keduanya. Barangkali inilah yang diharapkan para pemilih kedua presiden tersebut, adanya perubahan gaya kepemimpinan dibandingkan dengan pendahulunya.
Bagaimanapun, Jokowi-Trump adalah bagian dari realitas politik dunia mutakhir yang tidak bisa dinafikan, karenanya kita mesti belajar dari kedua sosok berpengaruh tersebut. Bahwa kemandirian dan kedaulatan diri adalah kunci utama seseorang bisa berpikir dan bertindak besar. Jika manusia sudah tidak lagi memikirkan apa yang akan dimakan esok hari, maka bisa dipastikan ia akan leluasa berpikir besar, berani menyuarakannya dengan lantang, dan akan percaya diri untuk melaksanakannya dalam praktik nyata.
Ia akan tampil lepas, apa adaya, tidak peduli orang berkata apa, sepanjang diyakini itu baik dan positif, ia pantang mundur. Cibiran dan kritikan manusia dianggapnya sebagai vitamin penguat yang akan menyokong agenda-agenda besar. Setidaknya itulah yang ditunjukkan dua presiden berjiwa enterpreneur. Jokowi-Trump telah membuktikan ampuhnya kedaulatan diri, tidak ada keraguan mengenai hal tersebut. Saatnya menjadi pribadi independen, berdikari dan bernyali.
0 Response to "Belajar Dari Trump-Jokowi"
Post a Comment