Kekalahan Hillary Clinton dari Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2016 lalu menyisakan hikmah penting bagi siapapun, tak terkecuali dunia perpolitikan. Kalah telak dari seseorang yang sama sekali tidak diunggulkan, diremehkan, bahkan dianggap hanya sebatas dagelan karena pernyataan-pernyataan kontroversial yang sengaja dibuatnya benar-benar membuktikan bahwa memang panggung politik itu penuh teka-teki dan misteri.
Hillary yang terlihat sangat percaya diri memenangi Pilpres karena selalu merajai hasil survei dan kapasitas personalnya yang selalu memukau publik dalam setiap kampanye pada akhirnya harus berbesar hati, mau mengakui bahwa Donald Trump adalah pemenangnya bukan dirinya. Hillary pada akhirnya menelpon Trump, memberinya selamat. Pada sisi ini, kita mesti belajar menjadi pribadi yang sportif. Menang tidak sombong, kalah berlapang dada.
Ada makna berharga dari setiap peristiwa yang terjadi termasuk kekalahan Hillary. Sebagai orang yang mencermati dinamika politik AS, saya melihat tumbangnya Hillary tidak lepas dari faktor-faktor berikut:
Elitis, diakui atau tidak Hillary adalah sosok elit politik tulen yang sudah malang melintang berkecimpung dalam perpolitikan AS. Sebaliknya warga Amerika sudah tidak lagi percaya dengan elit yang dipercaya tidak bisa membawa perubahan. Dari hasil suara Pilpres yang ada, bisa dipastikan Hillary kalah telak. Dengan begitu mimpinya untuk menjadi presiden perempuan pertama yang terpilih melalui mekanisme demokrasi otomatis terkubur selama-lamanya. Karir politiknya pun bisa dipastikan berakhir karena usianya yang sudah senja kurang memungkinkan untuk terus bertarung dengan sosok-sosok potensial muda, belum lagi ia mengidap penyakit pneumonia (radang paru).
Lantas ada apa dengan variabel ‘elitis’? Gaya penampilan Hillary memang terlihat elit, belum lagi dengan terkuaknya fakta bahwa dalam durasi hitungan jam saja Hillary bersama suaminya Bill Clinton harus dibayar dengan nominal besar ketika diminta menjadi pembicara dalam suatu acara publik menguak selubung betapa Hillary dan penyokongnya sosok elitis. Menurur kabar yang beredar, tarif yang mereka patok untuk setiap tampil sebagai pembicara sebesar 200.000 dollar AS atau sekitar 2,3 miliar rupiah. Belum lagi dengan dugaan kuat Hillary berpihak pada Wallstreet, elit seperti Hillary dalam pandangan warga Amerika dianggap tidak akan bisa dan mau membuat gebrakan-gebrakan berani. Di lain pihak, Donald Trump tampil dengan gaya yang begitu berani. Belum menjadi presiden saja, ia sudah membuat gebrakan hebat lewat orasi-orasi kampanyenya.
Normatif, slogan kampanye Hillary yang mengusung tema ‘Stronger Together’ secara riil bisa dibilang tidak laku dalam pasar suara politik AS. Platform ini sangat lazim dan tidak meyakinkan. Terbukti, dalam paparan visi misinya Hillary terkesan main aman dengan menghindari hal-hal yang menggiringnya ke arah yang menjebak. Kebijakan pajak dalam negeri misalnya, Hillary tidak berani untuk menurunkan pajak korporasi sementara Trump dengan lantang berkomitmen untuk menurunkan pajak jika terpilih. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan tema besar kampanye Trump yang bertajuk ‘Make America Great Again’. Sepintas, kalimat ini sangat menohok dan menjatuhkan wibawa Amerika sebagai negara superpower di muka bumi. Namun jika ditelisik lebih jauh makna dari tagline tersebut bahwa Trump berambisi akan membawa Amerika jauh lebih hebat dari yang sekarang sudah hebat. Politik kata Trump benar-benar ampuh menghempaskan perlawanan politik kata Hillary yang memang tidak berciri dan menjual.
Masa lalu suami, bisa dibilang bayang-bayang masa lalu suami Hillary, Bill Clinton turut mempengaruhi kekalahan Hillary. Seperti menjadi maklum bersama, sewaktu Bill Clinton menjabat sebagai presiden ia pernah terlibat skandal perselingkuhan yang hampir berujung dengan pemakzulan dirinya. Selain itu, lingkaran kekuasaan Clinton saat itu sering diasosiasikan dengan hal negatif lain seperti penyimpangan wewenang dan sebagainya. Memori kolektif warga Amerika akan Clinton rupanya tidak hilang dan terus menempel dalam benak mereka. Kandasnya perjuangan Hillary dari Trump yang dalam kampenye politiknya berulang kali menggunakan fakta masa lalu suaminya ampuh dalam menggaet dukungan politik. Belum lagi dengan Bill Clinton Foundation, sebuah yayasan sosial yang dikritik sinis oleh Trump sebagai lembaga korup turut membentuk persepsi warga akan sosok Hillary dan sekitarnya. Citra Hillary sebagai elit dipandang rawan terhadap penyalahgunaan.
nice artikel sobat. jadi lebih tahu nih
ReplyDeletesemoga bermanfaat
ternyata si hillary bisa tumbang juga ya, padahal menurut Q lebih terkenal dia daripda trump
ReplyDeleteTinggal nunggu rahasia besarnya Donal Trump di next artikel sob.
ReplyDelete