Pilpres 8 November 2016 yang berlangsung di negeri paman syam Amerika Serikat menghasilkan presiden baru bernama Donald Trump. Ia secara mengejutkan mampu menumbangkan lawan politiknya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Dalam sejarah perhelatan Pilpres AS, baru kali ini sosok perempuan tampil sebagai calon presiden dalam arena pertempuran politik terbuka. Beberapa pihak dan media mainstream pun memuja setengah mati kemunculan Hillary, berharap mantan Menteri Luar Negeri era Presiden Obama tersebut keluar sebagai pemenang. Namun begitu, jauh panggang dari api, fakta mengatakan sebaliknya. Sejarah perpolitikan AS mau tidak mau harus mencatat Hillary adalah perempuan pertama yang ketika dicalonkan untuk bertarung dalam Pilpres AS harus menerima takdir pahit kalah dari sosok Trump, pesaing terkuatnya dari Partai Republik.
Apa yang salah dari kekalahan tragis Hillary? Tidak ada yang salah, yang ada hanya rasa kecewa yang mendalam bagi pendukung Hillary. Tampil begitu mempesona dalam tiga debat calon presiden dan kampanye-kampanye publik, unggul dalam setiap survei politik, ternyata pada hari-H pemilihan, Hillary kalah dan tertinggal jauh di belakang Trump yang dianggapnya sebagai lelucon dan penghibur panggung Pilpres semata. Suara Hillary dari perwakilan negara bagian hanya 218 sementara Trump berhasil mendapatkan 278, melebihi batas minimal 270 suara untuk melaju ke kursi presiden AS.
Lantas apa makna terdalam dari kekalahan Hillary yang menyakitkan tersebut? Bukankah Amerika selalu menggaungkan kesetaraan gender yang mengharapkan tidak ada dikhotomi Venus-Mars. Mendorong perempuan bisa ambil bagian dalam urusan politik yang selalu dominan dipangku oleh laki-laki. Bisa dipastikan begitu banyak perempuan yang berharap munculnya Hillary dalam Pilpres AS bisa berlanjut dengan terpilihnya mantan first lady tersebut sebagai presiden.
Jika hal ini terjadi, sudah bisa dipastikan Hillary akan menjadi role model politisi perempuan sejagat yang akan menginspirasi perempuan-perempuan lain untuk berani bertarung dengan lelaki dalam gelanggang politik praktis. Namun apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, harapan hanya tinggal harapan. Harus lantang dikatakan bahwa berdasarkan fakta yang ada, negara sekelas Amerika sampai saat ini ternyata belum siap menerima perempuan tampil sebagai pemimpin utama. Warga Amerika belum menghendaki perempuan menjadi presiden-komandan tertinggi. Jika Amerika saja begitu, bagaimana negara-negara lain yang derajat demokrasinya di bawah Amerika.
Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga sedunia boleh berbangga, karena jika dibandingkan dengan AS dan India, Indonesia satu-satunya negara yang pernah memiliki presiden perempuan. Megawati Soekarnoputri adalah sosok perempuan pertama Indonesia yang berhasil terpilih sebagai presiden kelima Republik Indonesia menggantikan presiden sebelumnya. Sebuah pencapaian demokrasi yang belum pernah dimiliki AS, para perempuan di seluruh penjuru Amerika dan bahkan dunia perlu banyak belajar dari kekalahan Hillary dan negara sekelas Indonesia jika ingin sukses dalam kontestasi politik tingkat tinggi. Mereka harus mengkaji mengapa superioritas Hillary tidak berbanding lurus dengan kemenangan. Pasti ada yang keliru dan bisa dijadikan sebagai pelajaran berharga. Selalu ada hikmah dari setiap peristiwa. Silahkan analisa sendiri hikmah kekalahan Hillary.
bukanya presiden jerman juga perempuan yaa, beratii bukan cuman ibdonesia aja
ReplyDeletenice article
ReplyDeleteKalo Jerman bukan presiden tapi knselir gan..namanya Angela Merkel..sy hanya membandingkan 3 negara demokrasi terbesar sedunia menurut populasi gan..AS, India, dan Indonesia..
ReplyDeletebegitulah politik kagak bisa ditebak, yang kuat dialah yang menang
ReplyDelete