Ditetapkannya Donald Trump
sebagai calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik membangkitkan
kekhawatiran terkait masa depan perekonomian negara super power tersebut. Hal ini tidak lain karena jika memperhatikan
jargon kampanye Trump “membuat Amerika kembali hebat” sangat diragukan dan
dinilai nyinyir oleh banyak kalangan. Para ekonom kredibel tidak saja
skeptis, tetapi juga khawatir akan efek
negatif jika jargon-jargon ekonomi Trump diwujudkan.
Salah satu yang dijanjikan
Trump dalam kampanye-kampanye politiknya adalah penutupan perbatasan dengan
Meksiko termasuk merundingkan kembali Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas
Amerika Utara (NAFTA) yang melibatkan Kanada, AS dan Meksiko. Untuk diketahui,
selama periode 1993-2015, nilai perdagangan ketiga negara tersebut naik dari
297 miliar dollar AS menjadi 1,4 triliun dollar AS. Pun demikian aliran
investasi meningkat tajam begitu pula sektor jasa. Ironisnya, Trump menganggap
NAFTA sebagai proyek yang telah merugikan karena pekerjaan di AS semakin
menyusut.
Lebih jauh, Trump juga merencanakan
kenaikan tarif impor terhadap produk-produk Tiongkok yang dianggap sebagai penyebab
meroketnya angka pengangguran di AS. Terkait hal ini, Trump merencanakan akan nada
minimal 40 persen tarif impor atas produk Tiongkok. “Tiongkok telah merampok
pekerjaan di AS,” ujar Trump sesumbar.
Sementara rival Trump, calon
presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, tidak terlalu mempersoalkan
NAFTA dan Tiongkok. “Saya tahu ada masalah tetapi faktanya tidak mudah
menyalahkan pihak lain,” ujarnya. Diakui
atau tidak, jargon Trump benar-benar menakutkan para ekonom terkait
perdagangan. “Di akhir 1920-an, kubu Republiken melakukan apa yang persis
sekarang Trump canangkan,” kata ekonom Lee Branstetter dari Carnegie Mellon
University, AS.
Sekedar informasi, seiring
dengan munculnya depresi ekonomi kubu republiken menaikkan tarif impor hingga
60 persen pada 1929. Pada ekonom waktu itu menentang kebijakan tersebut,
demikian pula kubu Demokrat, tetapi Presiden Herbert Hoover saat itu tetap
berupaya meyakinkan publik dengan alasan menyelamatkan pekerjaan. Alhasil,
kenaikan tarif dilakukan pada 1930. “Sejarah telah menunjukkan apa yang terjadi
berikutnya, ekonomi Amerika mengalami depresi besar” tutur Branstetter tentang
salah satu contoh depresi terbesar dalam
sejarah.
Saat itu kenaikan tarif
impor oleh AS memicu terjadinya perang dagang karena negara-negara mitra dagang
membalas. Transaksi perdagangan global pun anjlok drastis. “Saya bukan aktor
politik, tetapi hanya seorang ekonom. Opini saya adalah kebenaran universal,”
ujar Branstetter.
Sementara itu, Derek
Scissors, ekonom dari American Enterprise Institute, sebuah think-tank konservatif, mengatakan,
“usulan pengenaan tarif 40 persen terhadap impor Tiongkok akan menjadi solusi
mengerikan bagi AS dan malah merugikan warga miskin AS.” Masalah lain yang
menjadi perhatian Trump adalah hutang negara yang sudah mencapai 19 triliun
dollar AS. Trump menjanjikan pengurangan utang, tetapi di sisi lain menurunkan
pajak. Hal ini dua hal yang sangat kontradiktif dan membingungkan pasar.
Terkait isu satu ini,
Hillary berpikir sebaliknya, ia lebih menekankan kenaikan pajak, termasuk pajak
korporasi. Soal perdagangan bebas dan utang adalah dua isu yang yang dianggap
paling penting, tetapi cukup mematikan bagi perekonomian. Mark Zandi, ekonom
senior dari Moody`s Analytics, mengatakan, AS akan kehilangan 3,5 juta
pekerjaan jika Trump terpilih sebagai presiden. Benar-benar sangat mengerikan.
Adapun menurut MarketWatch,
pada awal penobatan Trump sebagai calon presiden AS, pasar sudah memantau apa
yang akan dia dilakukan. Sekitar 400 dari 650 investor kelembagaan yang
disurvei Morgan Stanley mengatakan, jika Trump menang, mereka akan mengubah
strategi bisnis pada pertama Trump memerintah. Pasar memperkirakan kebijakan
Trump akan berefek pada kekacauan kurs dollar AS, membuat indeks saham merosot,
dan mengganggu pasar obligasi pemerintahan AS.
“Perekonomian AS akan melemah secara signifikan jikan usulan
Trump terkait ekonomi direalisasikan,“ ujar Zandy. “Perekonomian akan mengalami
resesi dalam waktu yang lama. Ekonomi menciut di akhir masa jabatan pertama
Trump jika dia menang. Akan ada kenaikan angka pengangguran sampai 7 persen
dibandingkan 5 persen sekarang ini. Di bawah Trump, pendapat rumah tangga akan
stagnan dan nilai riil perumahan akan merosot,” ungkapnya secara detail.
Para ekonom Oxford Economics
juga mengatakan, di bawah Trump, AS akan kehilangan 3 juta pekerjaan. Ini lebih
buruk daripada kehilangan 2,8 juta pekerjaan periode 2001-2003. Pengangguran di
AS akan naik menjadi 7,6 persen pada 2019. Inilah kemungkinan-kemungkinan yang
bakal terjadi jika Trump terpilih. Pertanyaannya sekarang adalah, anda mau milih
yang mana, Trump atau Hillary? Ask your self! (REUTERS/AFP)
0 Response to "Nasib Ekonomi AS Jika Trump Terpilih"
Post a Comment