Indonesia
merupakan negeri dengan keragaman yang sangat unik. Secara
geografis negeri ini terletak di antara dua Samudera
besar (Hindia-Pasifik), dua Benua besar (Asia dan
Australia). 30
persen wilayahnya berupa daratan, serta 70 persen sisanya berupa perairan.
Memiliki 13.466 pulau yang sudah diinventarisir, memiliki nama serta telah
didaftarkan ke PBB (data KKP 2012). Secara
demografis, Indonesia memiliki 254.862.034 Penduduk (data Kemendagri
2014), peringkat keempat dunia setelah China, India, Amerika Serikat. Jumlah
demografi Indonesia yang cukup besar tersebut terdiri dari beragam etnis,
agama, bahasa, aliran kepercayaan, adat istidat, kebudayaan dan kearifan lokal.
Secara
garis besar, Indonesia menganut enam keyakinan agama, antara lain: Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Memiliki 1128 suku bangsa,
dengan komposisi 1072 etnik dan sub etnik data (BPS 2000). Adapun
secara linguistik, mengacu pada hasil riset yang pernah disampaikan mantan Wakil
Menteri
Pendidikan
dan Kebudayaan,
Indonesia memiliki 743 bahasa dengan rincian: 442 bahasa sudah dipetakan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 26 bahasa ada di Sumatera, 10 bahasa di Jawa
dan Bali, 55 bahasa di Kalimatan, 58 bahasa di Sulawesi, 11 bahasa di NTB, 49
bahasa di NTT, 51 bahasa di Maluku, dan 207 bahasa di Papua. Inilah kondisi
keberagaman Indonesia, negeri dengan segudang kisah dan pusaka.
Tentang Bhinneka
Tunggal Ika
Realitas
sosial tentang keragaman Indonesia tidak lepas dari konsep sekaligus semboyan
kebangsaan bertajuk “Bhinneka Tunggal
Ika”. Secara historis, konsepsi ini pertama kali digagas oleh Empu Tantular
yang diadopsi dari teologi Hindu yang asalnya
berbunyi Bhina Ika Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mengrawa. Artinya,
berbeda-beda dia, tapi satu adanya, tak ada ajaran yang menduakannya. Semboyan
ini kemudian menginspirasi para founding
fathers bangsa yang lantas meletakkannya di bawah kaki garuda, lambang
kebanggaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suatu indikasi nyata
betapa negeri ini dibangun di atas perbedaan elemen bangsa. Berbeda
bukan berarti penghambat terwujudnya kesatuan dan persatuan bangsa, melainkan
perbedaan justru merupakan perekat dan pemersatu bangsa.
Setiap
anak bangsa harus menyadari bahwa sampai kapanpun Indonesia tidak akan pernah
sama dalam hal agama, etnis, suku, ras, dan bahasa, bangsa kita sungguh sangat
heterogen. Namun demikian, kita patut bersyukur masih disatukan dalam satu
cita-cita besar yaitu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan,
berprikemanusiaan, bersatu, dan berkeadilan sebagaimana yang tertuang dalam
sila-sila Pancasila sebagai dasar bangsa-negara. Sedari awal
ditiupkannya ruh NKRI, hingga kelahirannya kita sepakat untuk mendirikan negara
dan bangsa Indonesia yang bersatu dalam perbedaaan. Karena
itu, sikap saling menghormati, toleransi terhadap segala perbedaan adalah
keniscayaan demi tegaknya NKRI dan kejayaan Indonesia di mata dunia.
Fenomena Mutakhir dan Benang Merahnya
Dewasa
ini, di tengah usia Indonesia sebagai bangsa dan negara yang mestinya memasuki
usia matang, kenyataan yang tampak sebaliknya. Mentalitas sebagian
anak bangsa tidak mencerminkan kematangan sikap sebagai bangsa yang sudah lama
lahir. Pluralitas
bangsa yang seharusnya menjadi pemersatu malah dijadikan pemicu terjadinya
gesekan sosial. Tidak
mengejutkan, kasus intoleransi, kekerasan, dan paham radikalisme menjangkiti
pribadi-pribadi bangsa yang rapuh; tidak menyadari dan komitmen dengan ikrar
kebangsaan yang sepakat untuk saling menghargai dan menghormati segala
perbedaan yang ada. Di
antara kasus-kasus yang ada, isu Suku, Agama, Ras, dan
Antar Golongan (SARA) sangat
dominan dalam memicu terjadinya konflik horizontal. Beberapa
tahun terakhir, marak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Merujuk pada laporan The Wahid Institute, ada 121 peristiwa pada 2009.Jumlah
ini meningkat jadi 184 peristiwa tahun 2010, 267 peristiwa (2011), dan 278
peristiwa (2012). Tahun
2013, jumlahnya sedikit menurun jadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kian
menyebar.
Ironisnya,
aksi pelanggaran ini dilakukan aparat negara dan masyarakat. Bentuknya beragam
berupa: serangan terhadap kelompok berbeda, pelarangan terhadap aliran yang
dicap sesat, pelarangan/penyegelan rumah ibadah, atau kriminalisasi atas nama
agama. Kasus penyerangan terhadap warga Syiah di Desa Karanggayam, Kecamatan
Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Karangpenang, Sampang, 26 Agustus 2012
adalah contoh riil betapa nilai-nilai kebhinnekaan sudah luntur dari semangat
kebangsaan kita. Aksi anarkhis tersebut menewaskan satu orang, melukai 10
orang, dan 46 rumah terbakar. Selain itu, kekerasan bermotif SARA ini
mengakibatkan terkatung-katungnya nasib 173 jiwa warga Syiah di pengungsian. Jika
dihitung sejak tinggal sementara di GOR Sampang sebelum dipindah ke Rumah Susun
Jemundo Sidoarjo, dua tahun dua bulan sudah mereka mengungsi. Sampai detik ini
mereka masih tinggal di pengungsian tanpa kejelasan nasib, padahal sebelumnya
ketika era pemerintahan SBY masih berkuasa, mereka dijanjikan bisa kembali
pulang ke kampung halaman dengan dipandu tim rekonsiliasi.
Kisah
nelangsa lain juga dialami oleh kelompok Ahmadiyah yang sudah hampir delapan
tahun terkatung-katung di pengungsian di Asrama Transito Mataram, Nusa Tenggara
Barat. Begitu pula penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor, Jawa
Barat (berlangsung 5 tahun); izin pendirian masjid di Baluplat, Nusa Tenggara
Timur (3 tahun); dan penyegelan Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia
di Bekasi (2 tahun). Dan yang terbaru adalah kasus
pembakaran Masjid di Tolikara Papua, 17 Juli 2015 sera kasus pembakaran Gereja
di Aceh Singkil, Aceh 13 Oktober 2015 lalu. Inilah fakta empiris tentang kebhinnekaan
kita yang sangat keropos. Pertanyaannya
sekarang, mengapa hal ini bisa terjadi? Penulis berpandangan hal ini terjadi karena spirit kebangsaan kita mulai luntur dan memudar. Pun
demikian dengan kurangnya komitmen pemerintah dalam menjalankan
Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya.
Preseden
di atas sejatinya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa kembali
kepada jati diri sebagai bangsa majemuk yang toleran, terbuka dan moderat
adalah jalan keluar dari bahaya laten isu SARA yang terus mengancam keutuhan
bangsa Indonesia. Martabat bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang plural, ramah dan bersahabat harus senantiasa
kita jaga, dan sebagai pewaris negeri kita memiliki tanggungjawab untuk
mewujudkannya. Kalau bukan kita siapa lagi?
Artikel ini disempurnakan November 2015
Iya, penting menjaga kebhinakaan gan
ReplyDeletedg begitu kita mencintai Indonesia gan..
Deletepenting memang menjaga persatuan kesatuan gan
ReplyDeleteBersatu kita teguh, bercerai kita runtuh gan..
DeleteNice post gan ^_^
ReplyDeleteThank you gan..
Deletebener gan saat ini nilai itu dsudah mulai luntur
ReplyDeletekarena itu kita harus terus memupuk semangat persatuan Indonesia gan..
Deletebener ni gan
ReplyDeleteIa bang, memang kalau bhineka kita itu harus dijaga
ReplyDeletedijaga, dipelihara, dan diamalkan gan dg saling toleran..
Deletesaatnya kita peduli Indonesia ya gan..
ReplyDeleteBhinneka Tunggal Ika menjadi pemersatu bangsa indonesia mantap
ReplyDelete