Pilihan
politik pemimpin
Korea Selatan untuk mundur dari jabatan sebagai Perdana Menteri sangat menarik
untuk kita
telaah, lebih-lebih bagi bangsa Indonesia yang akan menghadapi suksesi
kepemimpinan nasional. Sikap kesatria seorang
Chung Hung Won yang memilih mengakhiri jabatan politiknya sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral atas musibah tenggelamnya Kapal
Feri
Sewol yang menewaskan ratusan korban jiwa warga Korea Selatan adalah potret
nyata sosok negarawan sejati. Di tengah gemuruh demokrasi
Indonesia yang melahirkan banyak politisi namun minus negarawan, bangsa ini
sejatinya mau belajar dari negeri ginseng tersebut.
Sikap
mau mengakui kealpaan, kelalaian dalam menjalankan amanah rakyat sehingga
merugikan kepentingan rakyat dan kesediaan mempertanggungjawabkannya dengan
pengunduran diri dari pucuk pemerintahan adalah ciri sosok negarawan. Ia
tidak memikirkan dirinya, jabatan politik yang melekat pada dirinya, namun ia
rela mengorbankan dirinya, bahkan sekalipun kehilangan jabatan. Tidak masalah
baginya kehilangan kekuasaan, asalkan kepentingan bangsa bisa jalan terus, dan
kebahagiaan rakyat bisa selalu terjaga.
Keadaan ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di negara kita, pemimpinnya tidak tahu diri. Sudah tahu kinerja pemerintahannya bermasalah, pejabat-pejabat pemerintahan diseret ke meja hijau akibat skandal kasus-kasus hina dan menjijikkan, dan rusaknya sistem pemerintahan, masih saja sosok pemimpin tidak tahu diri tersebut merasa nyaman duduk di kursi singgasana pemerintahan. Inikah ciri negarawan sejati? Tentu bukan, sungguh miris menyaksikan pemandangan seperti ini. Mentalitas pemimpin kita keropos, rapuh, dan rentan tersandera oleh kepentingan-kepentingan sektoral.
Di
tahun politik ini, setiap anak bangsa memiliki kesempatan dan peluang yang sama
untuk maju menjadi pemimpin. Ada yang jauh-jauh hari sudah mendaklarasikan
dirinya sebagai bakal Capres, pasangan bakal Capres-Cawapres,
animo anak bangsa begitu besar untuk menjadi suksesor kepemimpinan nasional. Namun,
sadarkah mereka bahwa memangku amanah kepemimpinan nasional tidaklah ringan?
Hanya sosok negarawan berjiwa pengabdi yang akan sanggup memikulnya.
Politik
tidak sekedar bermakna siapa dapat apa; kapan; dan bagaimana? Berbicara politik
tentunya berbicara kepemimpinan. Dan berbicara
kepemimpinan tentunya juga berbicara keteladanan. Omong kosong
seorang individu memangku jabatan politik sebagai Kepala
Pemerintahan
namun ia tidak cakap memimpin, dan sangat naif ia memimpin pemerintahan namun
ia tidak siap memberikan teladan bagi para jajaran pejabat di bawahnya. Di sinilah
kualitas kepemimpinan seorang pemimpin itu dipertaruhkan?
Apa
yang diperlihatkan oleh mantan PM Korsel adalah
teladan hebat yang sangat istimewa, dikatakan demikian karena di tengah kondisi
dunia yang dilanda perang akibat pertarungan politik dan ambisi pribadi muncul
sosok teladan yang menyejukkan. Kerelaan menanggalkan ambisi pribadi, dan
mengakui kekurangan dirinya sebagai pejabat publik adalah sesuatu yang sangat
mahal sekali. Karena itu, sosok seperti ini layak mendapat apresiasi sang
negarawan.
Kepada Capres Terpilih
9
Juli
2014 mendatang bangsa Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Presiden
(Pilpres). Hajatan lima tahunan ini merupakan wadah bangsa Indonesia
menyalurkan hak politiknya baik untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin.
Saat ini, sampai tulisan ini dibuat, sedikitnya sudah ada tiga bakal Capres
yang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai Calon
Presiden
yang akan maju dalam pertarungan Pilpres 2014. Ketiganya antara lain: Joko
Widodo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Prabowo Subianto
dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindara), Abu Rizal Bakri dri Partai
Golongan Karya (Golkar). Ketiganya mengusung platform kerja dan spiritnya masing-masing. Ada
yang mengusung visi ekonomi kerakyatan, pemerintahan tegas dan kuat, ada pula
yang mengusung visi kesejahteraan bangsa, ada pula yang mengusung visi
pemerintahan yang melayani, merakyat dan membaur. Publik tentu
mencatat rapi komitmen pencapresan masing-masing kandidat dan publik berhak
pula menagihnya.
Sebagai
calon pemilih yang akan berpartisipasi pada Pilpres mendatang, penulis mewakili
calon pemilih lain yang memiliki kesamaan pandangan dengan penulis ingin
menyatakan dengan seterang-terangnya kepada calon-calon yang ada untuk
menyadari bahwa menjadi Presiden itu
bukanlah tujuan, melainkan sarana dan media pengabdian. Karena itu, siapapun
kelak yang terpilih ia harus bisa menyemai spirit dan nilai-nilai pengabdian
kepada jajaran-jajaran di bawahnya tanpa terkecuali.
Bagaimanapun,
pemimpin adalah kepala, ia merupakan cermin dari segala organ; ia elemen
pertama yang akan menentukan badan-badan di bawahnya. Jika kepala baik dan
penuh dedikasi maka bisa dipastikan yang lainnya bisa mengikuti. Hal inilah
yang harus disadari oleh setiap bakal Capres, segala tindak-tanduk
mereka akan menjadi cermin tempat rakyat mengaca. Segala hitam putih mereka
pasti akan mendapat perhatian dan sorotan rakyat. Dan di atas semua itu,
keteladanan positif adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi Capres
terpilih.
Negeri
ini sudah jengah dengan retorika kosong pemimpin tak bernyali, yang hanya
menjual tampang dan dagelan-dagelan politik kemasan; ciut jika ditagih
jualan-jualan kampanye politik yang akan melakukan A,B,C; gentar jika dituntut
bertanggungjawab atas semakin karut marutnya kondisi negeri ini. Untuk menjadi
hebat, negeri ini mesti diawaki oleh sosok yang hebat pula. Sosok
yang rela mengabdikan hidup dan matinya untuk kepentingan dan kemaslahatan
seluruh elemen bangsa. Ia
juga sosok yang siap bekerja keras mewujudkan harapan-harapan bangsa menjadi
nyata, siap bertanggungjawab dengan menyerahkan kembali mandat rakyat jika
memang dalam perjalanan mengabdi tidak mampu merealisasikan komitmen untuk
berbuat sesuatu bagi terwujudnya Indonesia yang lebih cerah. Apa yang dilakukan
mantan PM Korsel bisa menjadi inspirasi bagi Capres
terpilih jika kelak merasa bingung dan tidak mampu melunasi janji-janji politik
yang kesemuanya bertekad untuk menjadikan Indonesia negeri bernasib lebih baik
dari sebelumnya.
Artikel ini ditulis April 2014
Good information gan, disitulah hati nurani dan jiwa besar yang harus ada.
ReplyDelete