Pemilihan
Umum Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) yang berlangsung 9 Juli 2014 lalu
menyisakan riak dan friksi yang sangat mengkhawatirkan. Salah
satu yang paling menonjol adalah munculnya dualisme pemenang Pilpres versi hitung cepat (quick count). Dua calon Presiden
peserta Pilpres; Prabowo Subianto dan Joko Widodo sama-sama mengklaim sebagai
pemenang Pilpres versi hasil hitung cepat Lembaga
Survei
yang memenangkan diri mereka. Dalam sejarah pagelaran Pilpres secara langsung,
baru kali ini terjadi anomali yang sangat kontras,
Lembaga-Lembaga
survei yang menyelenggarakan hitung cepat Pilpres berbeda dalam merilis hasil
survei yang mereka lakukan.
Sedikitnya
ada delapan Lembaga
Survei
yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, mereka antara lain: Lingkaran Survei Indonesia (Prabowo-Hatta 46,
56 persen dan Jokowi-JK 53,44 persen), Litbang Kompas (47,66: 52,34), Indokator
Politik Indonesia (47,06: 52,94), CSIS-Cyrus (48,00: 52,00), SMRC (47,09:
52,91), RRI (47,29: 52,71), Poltracking Institute (46,63: 53,37), dan Populi
Center (49,05: 50,95). Sementara empat Lembaga Survei
lain memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, mereka antara lain: Puskaptis
(Prabowo-Hatta 52,05 dan Jokowi-JK 47,95), Jaringan Suara Indonesia (50,14:
49,86), Lembaga Survei Nasional (50,56: 49,44), dan Indonesia Research Center
(51,11; 48,89).
Preseden
ini sungguh sangat menarik dan penting untuk kita kritisi bersama, ada apa
dengan jagat survei Indonesia? Siapa Lembaga Survei
yang tulus dan siapa Lembaga Survei
yang culas? Inilah
pertanyaan mendasar yang patut diajukan masyarakat Indonesia menyikapi
perbedaan rilis hasil hitung cepat Pilpres yang sudah terlanjur beredar luas
dan kerap membingungkan masyarakat. Perbedaan temuan mereka sangat substantif
karena menyangkut nasib pemimpin baru Indonesia yang akan menentukan hajat
hidup bangsa lima tahun mendatang.
Sembari
menunggu penetapan resmi pemenang Pilpres 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
22 Juli mendatang, dinamika yang berkembang mengindikasikan bahwa kedua pasang
calon masih tetap kukuh dengan keyakinan masing-masing bahwa dirinya mendapat
mandat rakyat sebagai Presiden terpilih. Melihat kondisi
seperti ini, masyarakat tidak perlu risau, nalar dan akal sehat haruslah
dikedepankan. Di antara
12 Lembaga
Survei
yang ada, dengan komposisi: 8 lembaga berbanding 4 lembaga, dimana kedelapan Lembaga
Survei
terkategorikan independen, kredibel, mereka memenangkan Jokowi-JK, dan empat Lembaga
Survei
dengan reputasi yang masih diragukan, memenangkan Prabowo-Hatta, setidaknya
bisa memberi gambaran masyarakat perihal kebenaran dan kejujuran. Siapa yang
benar, jujur dan siapa yang berdusta?
Hidup
di zaman demokrasi seperti saat ini memang memperkenankan setiap individu,
kelompok, lembaga dan siapapun untuk bersuara, berekspresi, meriset dan
mempublikasikannya. Hanya
saja, di atas semua itu, yang terpenting adalah bagaimana mempertanggungjawabkannya. Boleh
saja Lembaga
Survei
mengklaim temuannya tentang kemungkinan satu dan dua hal. Namun
begitu, harus berani bertanggung jawab juga jika klaimnya melenceng dari
perkiraan semula, lebih-lebih jika menyimpang dari koridor dan standar yang
sudah menjadi blue print bersama.
Rumpun
sosial politik sejatinya merupakan rumpun yang sangat liquid dan dinamis. Karena itu, segala kemungkinan
bisa saja terjadi. Ironisnya,
sampai tulisan ini dibuat, empat lembaga survei yang memenangkan pasangan
Prabowo-Hatta tidak bersedia diaudit, mereka enggan mempertanggungjawabkan
rilis hasil hitung cepat yang mereka lakukan. Karena Pilpres
kali ini hanya diikuti dua pasangan calon, pasangan yang diprediksi menang oleh
8 lembaga kredibel tentu akan tertawa-sebal dengan Lembaga
Survei
abal-abal yang memprediksi mereka kalah. Apa yang terjadi pada pagelaran
Pilpres kali ini sejatinya menyadarkan kita betapa kredibilitas dan integritas
sangatlah mahal harganya. Hanya lembaga berintegritas yang siap dan pantang
menolak jika dimintai pertanggungjawaban kapanpun diperlukan. Sebaliknya, Lembaga
Survei
yang tidak kredibel, dependen
dengan kepentingan kelompok tertentu, akan ciut jika dimintai
pertanggungjawaban perihal penyimpangan yang mereka lakukan.
Tidaklah
berlebihan jika kemudian merebak berbagai spekulasi: Lembaga
Survei
yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik pelaksanaan hitung cepat telah
melacurkan nilai-nilai akademis dan menggadaikannya dengan kepentingan
tendensius (profit) semata. Penulis mengapresiasi ketegasan lembaga Perhimpunan
Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) yang memanggil seluruh Lembaga
Survei
yang merilis hasil hitung cepat Pilpres 2014 dan mengaudit mereka secara fair
serta mengumumkan hasil auditnya kepada publik secara transparan dan akuntabel.
Meskipun ada Lembaga
Survei
yang menolak diaudit, setidaknya publik semakin mengerti ada apa di balik
kejanggalan-kejanggalan Lembaga Survei
yang di satu sisi memenangkan kubu Prabowo-Hatta dan di sisi lain memenangkan
kubu Jokowi-JK. Pelan tapi pasti, belakangan fakta tentang siapa Lembaga
Survei
yang bias kepentingan mulai terkuak. Dan di atas semuanya, kebenaranlah yang
akan menang.
Terlepas
dari realitas yang ada, seyogianya Lembaga-Lembaga
Survei
yang notabene merepresentasikan sebagai
agen keilmuan politik melakukan refleksi, sejauh mana independensi dan akurasi
hasil survei yang mereka lakukan? Jika pada kenyataannya, hasil survei mereka
tidak akurat jika dipadankan dengan realitas mutakhir, mengakui ketidakakuratan
dan meminta maaf secara terbuka pada publik adalah suatu keniscayaan. Bukankah
prinsip dan kredo peneliti “boleh salah
tapi tidak boleh bohong”. Hal ini penting
dilakukan, demi menjaga integritas Lembaga Survei
Indonesia sebagai agen riset dan keilmuan politik. Selain
itu, hal demikian perlu dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan atmosfer
politik Indonesia yang semakin dewasa dan matang. Preseden seperti
ini tidak boleh terulang lagi di masa-masa mendatang, sudah saatnya arah
demokrasi Indonesia menuju demokrasi substantif dan membangun. Semoga!
Artikel ini ditulis Juli 2014 sebagai respon atas terjadinya pelacuran Pilpres 2014
0 Response to "Pilpres dan Pelacuran Akademis"
Post a Comment