Demam Pokemon Go akhir-akhir
ini benar-benar mengguncang dunia, terutama sekali Indonesia. Padahal game ini
belum diluncurkan secara resmi di Indonesia. Gejalanya bisa dilihat di
mana-mana, tidak hanya di jalan, di kantor-kantor instansi (pemerintah atau
swasta) begitu banyak banyak orang yang tidak bisa lepas dari gawai kesayangan
berbasis android dan memburu sang pokemon.
Game yang berbasis GPS dan reality ini sangat menarik dan membius
minat pengguna smartphone lantaran
pemainnya seperti terpacu untuk membidik dan menangkap pokemon yang lokasinya
disesuaikan dengan dunia nyata. Namun, ketika sesorang terpaku dengan terpaku
layar gadget dengan gambaran pokemon di dalamnya, kesadaran akan sekeliling
seakan sirna, orang dibuat mabuk karena keasyikan berburu pokemon. Alhasil,
risiko tabrakan, menerobos masuk properti orang lain, ataupun melanggar wilayah
yang dinilai masyarakat sekitar sebagai hal yang sacral pun kerap terjadi dan
bahkan cendrung tinggi.
Di Indonesia, pejabar
sekelas gubernur, menteri, sampai wakil
presiden rupanya berhasil terpancing po kemon sehingga sesekali ikut
mengeluarkan komentar. Dampaknya, larangan demi larangan pun muncul. Wujudnya,
adanya surat edaran dan instruksi agar para pemain Pokemon Go tidak bermain dan
berkeliaran di lingkungan markas besar Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Negara RI, sampai kompleks Istana Kepresidenan. Menteri Pemberdayaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi pun telah menerbitkan surat edaran
perihal larangan di atas tanggal 20 Juli 2016.
Game fenomenal ini dilarang
dimainkan di lingkungan instansi pemerintah. Alasannya, utnuk mengantisipasi
potensi kerawanan di bidang keamanan dan kerahasiaan instansi pemerintah.
Selain itu, larangan dikeluarkan juga guna menjaga produktivitas dan disiplin
kerja aparatur sipil negara. Ancaman Pemecatan pun bisa dikenakan oknum pegawai
yang terbukti melanggar.
Terkait hal ini, pengajar
Kebijakan Publik Universitas Padjajaran, Bandung, Yogi Suprayogi menilai,
larangan itu bisa diterima sebab aparatur sipil negara (ASN) memang terikat
kontrak janji tidak boleh membocorkan rahasia negara. Namun, semestinya hal ini
tidak hanya berlaku untuk PNS, tetapi juga pejabat ataupun keluarga mereka yang
bukan PNS.
Di sisi lain, sejatinya
larangan ini tidak hanya menyangkut permainan virtual seperti pokemon.
Realitasnya, banyak pegawai pemerintah yang bermain game di komputer meja atau
gawai mereka pada jam aktif kerja. Jika alasannya untuk produktivitas,
seharusnya larangan mencakup semua bentuk permainan.
Game Pokemon Go yang dibuat oleh John Hanke dari Niantic Labs,
menjadi luar biasa karena berbasi Google maps dan Google street views. Namun
begitu, apakah aktivasi geolokasi di
ponsel pintar membuat pemain seakan menjadi mata-mata (spy) sehingga data gambar instalasi pertahanan suatu negara bisa
dipantau pihak asing? Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression
Network Damar Juniarto menilai, hal ini terlampau lebay alias berlebihan.
Sejauh ini, negara-negara
dengan teknologi maju tidak menganggap Pokemon Go sebagai ancaman bagi
pertahanan negara. Umumnya, larangan lebih pada penghormatan atas hak orang
lain. Di Australia dan Portugal misalnya, peman diharap tidak menerobos masuk
rumah atau tanah milik orang lain. Holocaust Museum di Washington DC dan
Auschwitz-Birkenau State Museum Polandia juga meminta tak ada yang bermain Pokemon
Go di museum tersebut dengan alasan kepantasan dan kepatutan. Hal serupa untuk
larangan bermain Pokemon Go di tempat-tempat ibadah di Jepang. Belarus juga
mengingatkan warganya agar tidak bermain Pokemon Go di kawasan rawan ranjau
darat.
Berbeda dengan negara-negara
di atas, di Korea Selatan yang memang melarang Google map, game Pokemon Go bisa
dipastikan tidak bisa digunakan. Otoritas Korsel hanya membolehkan warganya
bermain Pokemon Go di sebuah kota dekat Korea Utara, yakni Kota Sokcho.
Sementara Malaysia dan Singapura tidak merasa harus permainan tersebut. Damar
menilai tidak perlu menggunakan Pokemon Go jika pihak asing ingin mengakses
data dan gambar wilayah pertahanan. Google Map dan Google Earth memiliki
peralatan dan akses yang lebih baik ketimbang sekadar gambar yang diambil dan
dikirim via ponsel pintar. Bahkan peta pintar berbasis Google Map, seperti Waze
sekalipun bisa memotret kemacetan dan dikirim ke servernya. Di mana servernya?
Sekarang di Google karena Waze dibeli Google. Oleh karenanya, lebih
mengkhawatirkan metadata dari pemain yang bisa dijadikan sebagai bahan profiling oleh penjahat. Sekalipun
Google menjamin proteksi pengguna akun Gmail, potensi itu tetap ada.
Terlepas dari paparan di
atas, hemat penulis, model permainan Pokemon Go yang sudah kadung mewabah tidak
perlu direspon secara berlebihan. Sepanjang tidak mengganggu produktivitas
kerja dan keselamatan diri, sekitar, dan semesta menikmati game yang telah melalui proses kreatif 20 tahun ini sah-sah saja.
Toh, pada saatnya, masyarakat penikmat game
ini pasti akan mengalami titik jenuh yang tentu akan membuat permainan virtual
berbasis GPS dan reality ini memudar
dengan sendirinya. (Dikembangkan dari KOMPAS, 23 Juli 2016)
Menurut saya teknologi tidak bisa dipersalahkan. Hanya saja manusianya (pengguna) harus bijak dalam mengaplikasikan teknologi tersebut dalam keseharian. Begitu juga teknologi di permainan Pokemon Go sebenarnya baik-baik saja. Hanya mungkin kehawatiran berbagai pihak mengiringi perkembangan game satu ini. Jujur saja saya bukan Gammers, tp turut berbaptisipasi menanggapi fenomena ini.
ReplyDeleteSalam
Iya saya sepakat dg anda, karena itu sy tuliskan secara khusus di blog ini.
DeleteIya saya sepakat dg anda, karena itu sy tuliskan secara khusus di blog ini.
ReplyDeleteyah, memang sesuatu yg sifatnya baru terus booming emang suka, gitu.
ReplyDeleteapalagi lagi ramai"nya teori konspirasi beberapa tahun ini
wah ada teori konspirasi juga ya..tpi bisa dikasi contoh tidk bagian mana yg menunjukkan adanya konspirasi?
ReplyDelete