Prolog
Oktober
2014 mendatang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipastikan akan
mengakhiri masa baktinya di panggung kepemimpinan nasional. Huru hara politik
nasional dan panasnya atmosfir pencalonan Presiden dua tahun menjelang
Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 sudah mulai kita rasakan bersama. Dalam
pada itu, hal penting untuk kita refleksikan bersama adalah masa depan
Indonesia di bawah pemimpin baru kelak.
Paralel
dengan frasa di atas, maka di tengah usia reformasi Indonesia yang semakin
matang sejatinya segenap bangsa Indonesia bisa semakin matang pula.
Manifestasinya, bangsa Indonesia semakin cerdas dan rasional dalam menentukan
siapa sosok pemimpin yang layak memimpin Indonesia untuk masa bakti 2014-2019?
Sehubungan dengan hal ini, hemat penulis; pada Pilpres 2014 Indonesia butuh Tranformative President,
yaitu
sosok pemimpin yang bisa mentransformasikan
segala kesemrawutan Indonesia akibat tuah dari banyaknya transaksi politik yang
harus dilunasi pemimpin nasional saat ini.
Pemilih
yang cerdas dan rasional tentu akan mendambakan lahirnya sosok Transformative President sebagaimana
penulis sebutkan di atas. Sederhananya, parameter utama dalam Pilpres 2014
mendatang adalah terpilihnya sosok Presiden Transformatif sebagai pemimpin nasional.
Wajah
Kepemimpinan Nasional
Seperti
sudah menjadi maklum bersama, situasi kepemimpinan nasional Indonesia dewasa
ini penuh dengan carut marut. Banyaknya skandal yang menimpa elit partai
berkuasa (ruling party), adanya kebijakan kontra produktif pemerintah,
terungkapnya kasus-kasus pelanggaran hukum berat yang hanya menyeret pelaku
sekunder, masih tingginya angka pengangguran, menjamurnya aksi anarkhisme di
tengah masyarakat, hingga isu disintegrasi Papua adalah sederet persoalan pilu
yang mengusutkan benang kepemimpinan nasional saat ini.
Kekusutan
benang kepemimpinan Indonesia sebagaimana penulis paparkan di atas terjadi
karena peran kepemimpinan yang dimainkan oleh pemimpin nasional saat ini tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Sangat ironis rasanya, seorang pemimpin berkata:
Korupsi adalah musuh nyata bagi Indonesia sementara kader-kader pemimpin
bersangkutan tersangkut skandal korupsi. Jelas, agenda nasional pemberantasan
korupsi berjalan di tempat. Alangkah aneh, di tengah kondisi
Indonesia yang terus diserbu oleh peredaran obatan-obatan terlarang semacam
sabu-sabu, narkotika, ganja dan zat adiktif lainnya pemerintah memberikan grasi
terhadap terpidana narkoba kelas kakap asal Australia (Schapelle Corby). Benar-benar
kontraproduktif dengan agenda penegakan hukum pemerintah yang memimpikan
Indonesia steril dari barang terlarang tersebut.
Alangkah
miris rasanya ketika dalam suatu momentum terkait Papua seorang Presiden
berkata: Pendekatan keamanan yang mengedepankan operasi militer sudah tidak
relevan untuk mengatasi persoalan Papua, sementara dalam manifesnya kekerasan
militer terhadap warga papua masih marak terjadi. Inilah paradoks kepemimpinan
nasional saat ini, penuh retorika kosong sehingga membuat penulis tergerak
untuk menuangkannya dalam bahasa kebenaran, bukan bahasa kebohongan sebagaimana
yang sering terjadi di republik ini.
Inilah
Saatnya
Demi
terciptanya Indonesia yang progresif, integratif dan prestatif,
negeri ini mutlak membutuhkan sosok pemimpin transformatif (transformative
leader) yang benar-benar komit sebagai pemimpin (Presiden)
nasional, bukan Presidennya
segelintir kelompok dan golongan, melainkan Presiden
bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Secara etimologis, transformative
leader berarti pemimpin yang memiliki inisiatif untuk melakukan perubahan
(transformasi). Targetnya
adalah untuk mentransformasikan masyarakat dan organisasi pemerintahan-yaitu
untuk merubah hati dan pikiran mereka; memperluas visi, wawasan, dan pemahaman,
mengklarifikasi tujuan-tujuan pemerintahan, membuat perilaku sebangun dengan
keyakinan, prinsip, atau nilai; membawa perubahan yang permanen, dan membangun momentum (Transformational Leadership
Report, 2007).
Berangkat
dari penjelasan ini, berikut kriteria calon Presiden
Transformatif
yang kita harapakan bersama bisa muncul pada Pilpres 2014.
Visioner: pemimpin nasional harus
memiliki visi (grand design) jauh kedepan, hal ini menyangkut kebutuhan
multidimensi Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Kapabel: seorang pemimpin
visioner dalam prakteknya harus memiliki kapabilitas untuk mengeksekusi
visi-visi yang dirancangnya. Kapabilitas tersebut dapat berupa kapabilitas
intelektual, pemimpin bersangkutan idealnya cerdas, berpengetahuan luas, dan open
minded. Selain kapabilitas intelektual, seorang pemimpin harus memiliki
kapabilitas manajerial, yaitu kemampuan untuk mendelegasikan tugas dan wewenang
kepada para menterinya di kabinet serta para aparatur pemerintahan di seluruh
penjuru negeri.
Kredibel: selain visioner dan
kapabel, seorang pemimpin juga mesti kredibel, ia berintegritas tinggi,
dipatuhi oleh para pembantunya di pemerintahan sehingga setiap instruksi dan
arahannya tidak hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Nasionalis: pemimpin nasional
dalam realitasnya mesti memiliki spirit nasionalisme, ia bisa mengayomi semua
entitas yang ada dalam wilayah kedaulatannya tanpa terkecuali. Aksi makar dan
isu disintegrasi yang marak terjadi dewasa ini bisa jadi karena minimnya
nasionalisme pemimpin Indonesia. Demi keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) pemimpin nasionalis mutlak dibutuhkan segenap bangsa
Indonesia.
Komitmen: Seorang pemimpin
nasional seyogianya komitmen dengan nilai, dan prinsip yang diemban.
Manifestasinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan tentu tidak bersebrangan
dengan platform kerja pemerintah. Jangan ada lagi, kebijakan pemerintah
Indonesia yang kontraproduktif di bawah Presiden baru. Pemimpin terpilih nanti
harus konsisten dan akuntanbel dengan agenda kerja yang digagasnya.
Akomodatif: Seorang pemimpin
terpilih sejatinya bisa menampung semua aspirasi dan input dari rakyatnya. Ia
mau mendengar dan menerima kritik demi kebaikan negara, ia pun tidak segan
turun ke tataran akar rumput untuk mendengar langsung keluh kesah masyarakat,
apa kebutuhan mereka, apa yang mereka inginkan dari pemerintah.
Agregatif: Salah satu ciri lain
seorang pemimpin ideal adalah ia mampu memilah dan memilih mana input dan
kebutuhan yang mendesak serta memerlukan penanganan segera, mana kebutuhan dan
input yang sifatnya tidak terlalu mendesak dan tidak terlalu memerlukan
penanganan segera. Hal ini penting dimiliki pemimpin demi terwujudnya maslahat
bersama.
Diplomat ulung: seorang pemimpin
nasional dalam prakteknya adalah simbol kebesaran bangsa dan negara, kiprah
serta perannya sangat menentukan kepentingan nasional Indonesia di kancah dunia
Internasional. Ketika Indonesia dipimpin Presiden Soekarno, Indonesia termasuk
negara yang disegani dunia, tak pelak hal ini memudahkan Indonesia untuk
mencapai kepentingan nasional khususnya berkenaan dengan keutuhan NKRI yang
ketika itu diusik oleh kekuatan internal (kelompok separatis) dan kekuatan
eksternal (Belanda, AS). Dalam forum dunia, Presiden Soekarno berhasil tampil
sebagai diplomat ulung yang membuat gentar musuh Indonesia dan membuat terpana
negara sahabat. Selain itu, Indonesia di bawah Soekarno pernah berhasil
memainkan pendulum “Politik Luar Negeri
Bebas Aktif” dengan gerakan Non Blok
sebagai gagasan penggerak kepentingan nasional Indonesia. Dalam konteks
mutakhir di mana persoalan bangsa sudah sedemikian kompleks dan tantangan
global sudah sedemikian menggurita, jelas kemampuan berdiplomasi dan
bernegosiasi mutlak harus dimiliki oleh pemimpin Indonesia.
Kesatria: Seorang pemimpin
nasional haruslah seorang kesatria, dalam upaya mewujudkan amanah Pancasila,
amanah UUD 1945 dan undang-undang ia harus berani mengambil risiko dari
kebijakan yang dikeluarkannya. Dengan catatan, kebijakan yang diambil tentu
tidak paradoks alias dapat diterima oleh segenap masyarakat Indonesia. Sebagai
turunan dari sifat kestria, seorang pemimpin tentu harus tegas, tidak pandang
bulu terhadap siapapun yang mencoba mengganggu pencapaian cita-cita dan kepentingan
Indonesia. Tidak peduli apakah gangguan itu berasal dari dalam maupun dari luar
negeri.
Inspiratif: seorang pemimpin akan
dilihat dan disorot masyarakat, setiap ucapan, tingkah laku, dan segala hal
yang menyangkut pemimpin bersangkutan akan menjadi pusat perhatian rakyat.
Pemimpin yang baik adalah mereka yang
mampu menginspirasi rakyatnya dengan hal-hal positif yang dibuatnya.
Tidak dengan hal-hal konyol semisal “curhat gaji” dan “curhat hal pribadi lain”
yang membuat risih rakyat. Pencitraan (Branding)
penting, tapi kalau terlalu berlebihan dan tidak tepat sasaran masyarakat pasti
muak juga.
Humanis: Salah satu ciri pemimpin
idaman menurut filsuf China Sun Tzu adalah humanis, yaitu seorang pemimpin
harus memiliki rasa kemanusiaan (The 100 Greatest Leadership Principles of
All Time, 2007). Sebagai konfigurasinya, Presiden terpilih nantinya bisa
lebih down to earth, mau membaur dengan rakyat tanpa memandang kasta
mereka, sebisa mungkin menghindari penyelesaian masalah dengan cara-cara
militer dan mengedepankan cara-cara persuasif.
Independen: bangsa yang besar
adalah bangsa yang independen, tidak bergantung pada bangsa lain. Salah satu
faktor ketertinggalan Indonesia dari negara tetangga dewasa ini adalah
ketergantungan kita pada negara-negara besar. Dalam hal perekonomian misalnya,
kita masih bergantung pada injeksi dana bantuan dan pinjaman asing. Tidaklah
mengejutkan jika sampai sekarang, utang luar negeri kita semakin membengkak dan
banyak kebijakan pemerintah yang didekte oleh pemerintah asing. Hal ini sebagai
konsekuensi logis dari ketergantungan kita pada mereka. Presiden Indonesia
terpilih nantinya harus mentransformasikan ketergantungan menjadi kemandirian.
Terlepas
dari subjektifitas, inilah hasil telaah penulis terkait dengan 12 kriteria
ideal calon Presiden Indonesia pada Pilpres 2014 mendatang.
Artiekl ini ditulis
Juni 2012 dan pernah dimuat di harian Malang Post, 30 April 2013
0 Response to "Transformative President"
Post a Comment