Dunia dewasa ini dilanda
ancaman besar, ancaman itu berupa radikalisme dan terorisme. Bak cendawan di
musim hujan yang tumbuh subur, radikalisme dan terorisme juga tumbuh pesat. Satu
jaringan mati, sel jaringan baru cepat tumbuh dan siap menggantikan jaringan
lama. Modus operandinya pun semakin canggih, mulai dari yang vulgar, sadis,
keji, misalnya dengan memenggal kepala tawanan, hingga yang brutal dan barbar
dengan menyerang objek-objek keramaian yang dianggap sarang musuh, meledakkan
diri dengan bom berhulu ledak tinggi yang memakan banyak korban jiwa serta
modus-modus lainnya. Preseden serangan bom yang melanda Paris, Perancis, 13
November 2015, serangan teroris di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta 14
Januari 2016, dan serangan keji teroris di Bandara Undara Brussel, Belgia 22
Maret 2016 lalu adalah konfirmasi riil betapa terorisme nyata terjadi dan
mengancam siapapun, tanpa peduli kapan dan di mana aksi terror akan
dilancarkan.
Dahulu kisah dan jaringan
terror identik dengan Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, namun kini dunia dikejutkan
dengan lahirnya kelompok teror baru yang bernama ISIS alias singkatan dari Islamic State in Iraq and Syria. ISIS
yang mulai naik daun semenjak tahun 2013 dengan memanfaatkan celah perang
saudara di Suriah, konflik sektarian di Iraq berhasil membuat gelombang baru terorisme
dengan menjual dan melecehkan nama besar Islam, ISIS juga berhasil mencuci otak
banyak generasi muda, merekrut mereka menjadi agen teror yang berjiwa sadis,
kejam, barbar, dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
PSP3 Mencerahkan
pemuda agar tidak terperangkap radikalisme-ekstrimisme
|
Islam diplintir sedemikian
parahnya, ajaran agama untuk menebarkan rahmat bagi semesta oleh ISIS dibalik
menjadi seruan untuk menebarkan kebencian dan kerusakan. Tidak sedikit mantan
agen ISIS yang menyesal setelah tidak lagi menjadi bagian dari mereka, hal ini
karena apa yang mereka pikirkan tentang ISIS yang sebelumnya dianggap sesuai
dengan kredo dan ajaran Islam menyimpang 180 derajat dari syariat. Memerkosa,
membunuh, menjarah, berbuat makar dan aksi brutal lainnya adalah hal yang
lumrah dilakukan agen-agen ISIS, benar-benar perbuatan yang tidak pernah
dibenarkan Islam. Menariknya, mereka yang berafiliasi dengan ISIS banyak dari
kalangan muda, tak terkecuali pemuda Indonesia. Menurut data yang dirilis Polri
per 18 November 2015, ada sekitar 384 warga negara Indonesia yang bergabung
dengan ISIS dan sebanyak 46 orang sudah kembali ke Indonesia. Di antara ratusan
jumlah WNI yang bergabung ISIS tersebut mayoritasnya tergolong muda. Generasi
muda benar-benar menjadi sasaran empuk kelompok teror untuk dijadikan agen
teror, bahkan sekedar mengingat serangan teroris di Plaza Sarinah awal tahun
2016 lalu, mayoritas pelakunya adalah anak muda. Sungguh suatu masalah serius yang mesti menjadi perhatian
bersama untuk kemudian dicarikan solusinya.
Maraknya kaum muda yang
terlibat jaringan ISIS sejatinya menjadi refleksi bersama bahwa perlu langkah
korektif semua pihak untuk menyelamatkan generasi muda dari bahaya propaganda
ISIS dan paham-paham radikal. Dalam skala nasonal, selain ISIS, saat ini
Pemerintah Indonesia juga sedang berjuang menghadapi ancaman teror kelompok
Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso. Kondisinya sama dengan ISIS, agen-agen
teror di dalamnya banyak yang direkrut dari kalangan muda. Masa muda adalah
masa yang rentan dipengaruhi dan disusupi oleh ideologi-ideologi garis keras,
untuk itu perlu pendekatan dan strategi jitu dalam menangkal radikalisme dan
terorisme tidak merasuki generasi muda Indonesia. Menurut hemat penulis, ada
beberapa pendekatan yang mesti diupayakan oleh pemerintah dan pihak-pihak
pemangku kepentingan dalam melawan radikalisme dan terorisme. Dalam tulisan
ini, penulis ingin berbagi pengalaman sebagai Pemuda Sarjana Penggerak
Pembangunan Perdesaan (PSP3) di Kabupaten Garut dalam memainkan peran dan mengerahkan
upaya membendung radikalisme dan terorisme.
Dalam praktik, penulis
menggunakan pendekatan ekonomi dan ideologi persuasif. Konkretnya, penulis
membentuk kelompok usaha bersama yang beranggotakan anak-anak muda yang
menganggur. Kelompok usaha yang penulis bina tersebut bergerak di bidang
kuliner, kebetulan kulinernya adalah makanan ringan yang menjadi ciri khas
kampung di mana anggota kelompok berada. Selama ini, kuliner tersebut hanya
sebatas dijadikan selingan tanpa ada keseriusan untuk menjadikannya ladang
bisnis yang menghasilkan. Penulis menilai potensi kuliner tersebut sangat
berpeluang jika dikembangkan secara benar dan serius. Kuliner tersebut namanya
Pungpa, singkatan dari tepung beras dan kelapa, karena itulah penulis menghimpun
anak-anak muda yang menganggur untuk berkelompok dan produktif membuat Pungpa, masalah permodalan penulis yang
memberikan insentifnya. Pendekatan ekonomi penulis lakukan karena disadari atau
tidak anak-anak muda atau pelaku teror terperangkap jaringan teroris karena
mereka terlilit dalam rantai kemiskinan dan ketidakberdayaan. Perut yang kosong
(lapar) akan cendrung mudah diprovokasi dan membuat penderitanya berbuat
sesuatu di luar akal sehat seperti terlibat terorisme dan sebagainya. Memberdayakan
anak-anak muda kampung yang menganggur dengan kegiatan ekonomi adalah salah
satu cara penulis menangkal terorisme di kalangan anak muda. Pendekatan ini
cukup ampuh dan efektif dalam membantu meningkatkan kesejahteraan anak-anak
muda kampung yang menganggur.
Selain pendekatan ekonomi, hal
lain yang penulis lakukan dalam upaya memerangi terorisme dengan memberikan
pendekatan idelogis persuasif, penulis memberikan pemahaman dan pelurusan pola
pikir (paradigma) yang kerap bengkok
dan keliru. Baik secara formal ataupun informal seperti dalam acara pelatihan
dan peningkatan kapasitas pemahaman tentang empat pilar kebangsaan, ataupun
ketika penulis blusukan ke ruang-ruang kelas di sekolah dan madrasah, perang
melawan radikalisme dan terorisme selalu penulis kobarkan. Salah satu persepsi
yang coba penulis luruskan adalah paradigma menjadi teroris itu keren karena kalau
mati statusnya syahid, penulis sampaikan bahwa salah kaprah menganggap menjadi
teroris itu seperti menjadi pejuang (mujahid) namun sebaliknya menjadi teroris
tak ubahnya menjadi penjahat dan pembunuh, jika mati statusnya mati konyol.
Berjihad dalam konteks sekarang bukan lagi harus merusak, membunuh, dan membuat onar. Namun demikian,
jihad sesungguhnya saat ini adalah memerangi kebodohan, kemiskinan,
keterbelakangan dan kejumudan pola pikir.
Tidak sungkan pula penulis
sampaikan bahwa warisan pendiri bangsa seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah peningggalan berharga
yang harus terus dipelajari, dihayati, dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Dengan begitu, celah serta peluang paham radikal, godaan menjadi
teroris tidak mudah masuk dan menular. Penulis selalu meyakinkan anak-anak bangsa di
kampung bahwa prinsip dasar bisa terhindar dari terorisme adalah dengan selalu
menjaga pola pikir (ideology) tetap
lurus, bersikap toleran dan tidak merasa paling benar sendiri, mengingat
kebenaran seseorang belum tentu sama dengan apa yang dipersepsikan orang lain.
Karena itulah sikap saling menghargai dan manghormati mutlak diperlukan dalam
menjaga keharmonisan hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk. Sebagai
agen pemuda, inilah kiprah yang bisa penulis lakukan dalam upaya memerangi
radikalisme dan terorisme.
Moh.
Zahirul Alim,
PSP3 Kemenpora RI 2014-2016
0 Response to "Cerita PSP3 Memerangi Terorisme"
Post a Comment