Hari ini, Kamis (23/6/16) rakyat Inggris menentukan masa depan bangsanya. Tetap bersama Uni Eropa (UE) atau kembali menjadi independen di luar blok raksasa yang terdiri atas 28 anggota. Apapun hasilnya, Inggris berada di titik yang tidak bisa kembali lagi.
Tahukah anda apa yang mendorong Inggris melakukan keputusan yang sangat berisiko ini? Mari kita kembali ke tahun 2013 menjelang pemilu perdana menteri. Saat itu, seperti juga di berbagai negara di Eropa, dukungan terhadap Partai Independen (UKIP) yang menyuarakan anti UE terus meningkat. Perdana Menteri David Cameron juga mendapat tekanan dari sejumlah elite di Partai Konsrvatif agar lebih melawan Brussel.
Persoalan utama yang diajukan kelompok anti UE adalah soal pekerja migran, di mana Inggris tak berdaya menerima sekitar 3 juta pekerja migran dari sesama anggota UE. Undang-undang UE menjamin pergerakan bebas warganya untuk tinggal maupun bekerja di 28 negara (sekedar catatan, warga Inggris yang tinggal dan bekerja di negara-negara UE sekitar 1,3 juta orang).
Untuk meredam perpecahan di tubuh Konservatif dan juga untuk merebut hati pemilih yang bersimpati pada UKIP, Cameron berjanji akan menyelenggarakan referendum jika ia terpilih. Setelah terpilih menjadi perdana menteri, Cameron yang dikenal sebagai politisi ulung bermain "dua kaki" terus dikejar janji politik menggelar referendum. Dengan alasan referendum, UE ditekan untuk memenuhi persyaratan yang diminta Inggris. Sementara di dalam negeri, Cameron akan berkampanye untuk tetap berada di dalam blok.
Ada sejumlah persyaratan yang diajukan pada UE, dan akhirnya disetujui, yaitu soal kesejahteraan migran. UE menyetujui pekerja migran yang datang ke Inggris tidak serta merta memperoleh tunjangan sosial, tetapi mereka baru akan memperoleh tunjangan itu secara berangsur tergantung lamanya tinggal. Kemudian, masalah mata uang, Inggris akan tetap mempertahankan poundsterling dan tidak akan masuk ke zona euro.
Komitmen penting lainnya yang diperoleh Cameron adalah Inggris tidak akan menjadi bagian gerakan penyatuan (ever closing union). Selain itu, jika ada RUU UE yang tidak diinginkan, 55 persen parlemen negara anggota bisa bersama-sama menolak RUU itu. Namun, kerja keras Cameron untuk meyakinkan UE tidak memperoleh apresiasi di dalam negeri. Para politisi Inggris menganggap apa yang diperoleh Cameron terlalu kecil. Cameron tidak menyangka bahwa gerakan Brexit yang didukung antara lain mantan Wali Kota London Boris Johnson memperoleh dukungan besar dari warga.
"Cameron terkejut dengan kekuatan Brexit. Padahal, jangan pernah melakukan referendum kecuali benar-benar yakin akan memenanginya. Dia sepertinya yakin kubu moderat akan bertahan. Namun, nyatanya jajak-jajak pendapat menunjukkan kenyataan yang berbeda," kata James Hanning, penulis biografi Cameron, kepada Reuters.
Sampai pertengahan Juni, atau kurang sepekan dari tanggal referendum, sejumlah jajak pendapat menunjukkan kubu Brexit terus menguat dan unggul 3-5 poin atas kubu "pro UE". Lalu terjadilah tragedi mengenaskan, anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh , Jo Cox saat sedang berkampanye "pro UE" di Birstall, Inggris. Ia ditembak dan ditusuk berkali-kali. Di tengah susana menduka yang mendalam itu, rakyat Inggris kembali mempertanyakan tentang "kebencian" dan "perpecahan" yang telah membuat mereka terbelah.
Pasca tragedi Cox. sejumlah jajak pendapat menunjukkan kubu "pro UE" memperoleh momentum titik balik berupa penguatan dan berhasil mengejar ketertinggalannya, bahkan unggul tipis. Sejumlah politisi Brexit kemudian menuduh bahwa kubu "pro UE" telah mengeksploitasi tragedi kematian Jo Cox untuk meraih simpati dan menakut-nakuti rakyat Inggris.
Namun, tuduhan kubu Brexit terbantahkan oleh pernyataan suami Jo, Brendan Cox. Kepada wartwan, ia menegaskan bahwa istrinya memang dibunuh karena alasan politis. "Istri saya memiliki pandangan politik yang kuat dan saya yakin ia dibunuh karena pandangannya," kata Brendan kepada BBC.
Sementara itu, Cameron menegaskan, ia akan tetap bertahan menjadi Perdana Menteri Inggris meski referendum menghasilkan Brexit. " Saya akan melanjutkan tugas saya untuk menyusun pemerintahan, termasuk orang-orang berbakat di dalam Partai Konsevatif," kata Cameron kepada BBC.
Namun, para pengamat meragukan hal itu. Jika kubu Brexit yang menang, Cameron kemungkinan akan segera dilengserkan oleh partainya sendiri yang sudh terpecah. Boris Johnson disebut-sebut sebagai kandidat terkuat untuk menggantikannya.
Jika hasil referendum mengharuskan Inggris tetap di dalam UE, Cameron pun diperkirakan tidak akan lama bertahan sebagai Ketua Partai Konservatif. Alasannya, ini adalah periode kedua Cameron. Partai Konservatif harus mempersiapkan calon baru untuk menghadapi pemilu 2020. Dengan kondisi partai yang terbelah seperti sekarang, Cameron akan dipaksa turun lebih cepat. Inilah pertaruhan sekaligus perjudian besar seorang David Cameron. (REUTERS/AFP/BBC/)
0 Response to "Brexit dan Pertaruhan Nasib Cameron"
Post a Comment