Belajar tidak saja dimaknai harus di dalam kelas dengan seabrek buku dan tugas formal, belajar juga bisa dari mana saja. Alam atau lingkungan sekitar, fenomena yang terjadi, dan peristiwa monumental bisa menjadi sumber belajar bagi siapapun yang ingin terus berkembang dan maju. Tahun ini masyarakat dunia dikejutkan dengan fenomena lahirnya juara baru liga primer Inggris, sang fenomenal itu bernama Leicester City. The Fox" atau Si Rubah julukan Leicester berhasil menyegel gelar juara ligar primer Inggris setelah peringkat kedua Tottenham Hotspur hanya bermain imbang 2-2 melawan Chelsea, Senin (2/5/16). Hal ini mengakibakan poin Leicester City tidak mungkin terkejar dengan hanya menyisakan dua laga sisa.
Bagi saya, dan mungkin mayoritas orang akan sepakat untuk mengatakan bahwa pemenang liga Inggris musim 2015/2016 adalah anomali, tapi hal itu nyata terjadi. Bahkan seorang Presiden FIFA, Gianni Infantino berseloroh dengan mengatakan cerita kejayaan Leicester City di kancah sepak bola Inggris tahun 2016 ibarat kisah dogeng yang membuat kagum banyak orang. "Tidak ada satu pun manusia yang mengira mereka (Leicester) akan keluar sebagai kampiun baik ketika kompetisi baru barjalan maupun saat di pertengahan." Ujarnya
Hal ini wajar, mengingat status Leicester yang hanya sebatas tim pelengkap yang pada musim sebelumnya hanya berjuang agar tidak masuk jurang degradasi. Belum lagi dengan materi pemain yang mereka miliki, tidak ada satupun yang berkelas bintang, Kelas pemain Leicester tak ubahnya kelas batu, dibandingkan dengan mereka yang merumput di klub-klub mapan liga primer macam Mesut Ozil di Arsenal, Diego Costa di Chelsea, Raheem Sterling dn Kevin de Bruyne di Manchester City, atau Memphis Depay dan Bastian Schweinsteiger di Mancheter United. Semuanya kelas berlian yang mewah.
Semua dugaan minor itu rupanya tidak berlaku bagi Leicester City, dengan dengan skuat tim yang digaji sepertiga dari gaji pemain klub-klub bintang liga Inggris, Leicester City menjadikan musim 2015/2016 sebagai pembuktian bahwa sukses tidak hanya tentang duit, tidak hanya tentang materi melimpah, dan tidak hanya tentang kekayaan duniawi yang mudah habis. Sukses bagi Leicester harus dimulai dari mental, karakter, displin, dan semangat pantang menyerah untuk merengkuh kemenangan sejati.
Di bawah asuhan pelatih berusia senja bernama Claudio Ranieri (64), Leicester City berhasil membungkam mulut besar para pecundang yang kerap memandang remeh mereka, membuat kecewa klub-klub mapan yang sudah menggelontorkan banyak uang untuk belanja pemain namun tak kunjung juara. Dari statistik yang ada, selama musim kompetisi liga primer berlangsung hingga dipastikan sebagai juara liga primer dengan masih menyisakan dua laga sisa, Leicester baru kalah tiga kali, menang 22 kali, dan imbang 11 kali. Suatu fakta mengesankan yang sulit dipecakan oleh tim kelas gurem manapun.
Sepanjang sejarah sepak bola baru kali ini ada tim dengan modal pas-pasan bahkan bisa dikatakan di bawah standar rata-rata para rival yang umumnya menengah keatas, bisa meraih juara liga primer Inggris, suatu kompetisi liga domestik paling kompetitif sejagad. Tidak berlebihan jika seorang presiden FIFA mengatakan kisah sukses Leicester seperti dongeng yang membuat kagum banyak orang. Benar, memang benar begitu. Saya pun dibuat takjub, terkesima dan bangga dengan Leicester.
Anomali Leicester ini rupanya membawa banyak berkah tidak hanya bagi internal mereka seperti munculnya bintang baru yang lahir dari rahim Leicester macam Jamie Vardi, Riyad Mahrez, Danny Drinkwater, dan Kasper Schemeichel. Namun juga bagi seluruh pencinta sepak bola dan masyarakat umum di seluruh penjuru dunia bahwa juara itu tidak harus mahal dan menghabiskan banyak uang. Sukses ala Leicester City sungguh merupakan pelajaran mahal dan sangat berharga.
Selamat buat Leicester City! Semoga musim depan bisa tetap stabil dan banyak membuat kejutan lagi! Semoga!
Artikel ini ditulis sebagai apresiasi khusus penulis bagi prestasi gemilang Leicester City.
0 Response to "Pelajaran Juara Dari Leicester City"
Post a Comment