Hampir setiap kali saya
menyelenggarakan acara, saya selalu melibatkan media untuk meliput. Dari sekian
kali mengundang media hadir dalam acara yang saya gagas, ada satu cerita yang
patut dibagikan, bukan untuk apa? Tapi sebagai pelajaran bagi siapapun yang mengaku
jurnalis agar tidak seperti yang sudah-sudah. Orang baik di bumi ini masih ada,
namun yang tidak baik, bermental korup, tidak sedikit alias melebihi target.
Demikian pula dengan jurnalis, ada yang tulus, namun ada juga yang culas, kisah
berikut semoga menyadarkan anda betapa rusaknya mental wartawan yang satu ini.
ada sembilan
menteri, 19 gubernur, 44 anggota DPR, dua mantan Gubernur Bank Indonesia, dan
empat ketua umum partai yang telah dipenjara karena korupsi (Kompas, 03/12/15).
Mengacu pada data di atas, mental
korup benar-benar nyata menjadi suatu masalah riil Indonesia, karenanya saya
sampaikan juga kepada segenap undangan yang terdiri dari pelajar, pemuda, unsur
pimpinan masyarakat dan insan pers bahwa
akar inti persoalan korupsi adalah paradigma pelaku korupsi yang begitu
rusaknya. Apa maksudnya? Mereka (para koruptor) salah memandang hidup, mereka
pikir dengan menjadi pejabat publik seperti menteri, gubernur, anggota DPR,
birokrat/PNS bisa kaya dan bergelimang harta. Padahal masuk dalam ranah
politik, birokrasi, dan pemerintahan hakikatnya adalah penderitaan.
Siapapun yang masuk kedalamnya harus siap
untuk mengabdi, melayani dan berkorban. Bukan sebaliknya, untuk dilayani,
senang-senang dan memperkaya diri. Namun demikian, masih banyak manusia berparadigma
yang tidak semestinya disebutkan di atas, menumpuk kekayaan dan memuaskan hasrat
perut masih menjadi tujuan utama. Karena itu, tidaklah mengejutkan jika kabar
korupsi tidak pernah surut dari pemberitaan, berkali-kali manusia masuk ke
lubang korupsi, menjadi hina dan pesakitan akibat korupsi, namun masih saja ada
manusia yang mengulangi kesalahan yang sama. Seakan mereka tidak mau belajar
dari kesalahan manusia sebelumnya, kasus korupsi selalu saja terjadi berulang
kali.
Inilah fakta miris yang terjadi
di republik ini, banyak manusia di dalamnya yang sudah keblinger, mabuk korupsi
sehingga pelajaran apapun susah ditangkap dan dipraktikkan. Menyadari hal ini,
berparadigma bintang dan berperilaki bintang menjadi penting disampaikan dan
dimiliki semenjak dini. Karena itu, saya sengaja mengundang mayoritas pelajar
hadir dalam peluncuran karya saya yang bertajuk PARADIGMA BINTANG agar kelak
mereka benar-benar memiliki arah dan paradigm yang benar dalam memandang hidup.
Bahwa hidup ini tidak lain hanya untuk mengabdi dan berkarya. Itulah esensi
PARADIGMA BINTANG.
Momen peluncuran PARADIGMA
BINTANG benar-benar saya gunakan untuk mengkomunikasikan ide, gagasan dan nilai
karya di dalamnya. Anehnya, sudah tahu saya berkoar-koar tentang korupsi dan
mental rusak yang harus dilawan dan diperangi, usai acara masih saja ada
jurnalis yang mencoba mencari peruntungan dari acara yang saya selenggarakan.
Mereka mungkin malu untuk berbicara dan menawarkan langsung dengan saya, karena
mereka mungkin masih ingat dari awal sampai akhir saya berorasi tentang
pentingnya paradigma dalam upaya melawan korupsi.
Mereka berbicara dengan salah
satu panitia, menyampaikan bahwa liputan acara akan dimuat dalam koran harian
mereka jika saya mau membayar mereka dengan sejumlah nominal uang. Panitia yang
mendapat tawaran mereka langsung menghampiri saya menyampaikan modus jurnalis
berparadigma rusak tersebut. Mendengar siasat dan modus mereka itu, spontan
saya sampaikan: “Apa, saya harus bayar mereka? Apa mereka tidak menyimak
bahwa hari ini saya koar-koar tentang
PARADIGMA BINTANG dan revolusi mental, terus saya rusak sendiri bangunan
paradigma yang saya bangun dengan membayar mereka. Berarti saya menjilat ludah
saya sendiri. Setahu saya, dalam kode etik jurnalistik, tidak boleh yang
namanya jurnalis minta-minta selama meliput. Pengalaman saya sebelumnya
menggelar acara di Malang dengan mengundang pers, tidak ada yang minta-minta. Per
setan, mau dimuat atau tidak saya tidak peduli,” begitu kalimat saya
merespon jurnalis bermental uang.
Keesokan harinya, saya mencoba
jalan-jalan ke lapak agen koran, saya cek koran harian mereka, apakah memuat
liputan acara peluncuran PARADIGMA BINTANG atau tidak? Dan ternyata, mereka
masih memuat liputan acara meskipun terkesan setengah hati dan dipaksakan.
Isinya sama sekali tidak mencerminkan liputan dari subjek pemilik acara, berbeda
kontras dengan liputan yang dibuat dan dimuat oleh penulis blog Paradigma
Bintang. Coba ada perhatikan gambar di atas, isinya malah mengalihkan perhatian
kepada sambutan undangan yang bukan merupakan inti dari persoalan yang dimaksud
pemilik acara. Saya pun hanya bisa tertawa, ternyata liputan setengah hati yang
dipaksakan itu disebabkan oleh karena mereka tidak berhasil membujuk saya memberi
mereka ongkos liputan alias suap liputan. Inilah mental brengsek jurnalis lokal
yang tidak berparadigma. Siapapun yang membaca harap bisa mengambil hikmah dan
pelajaran.
0 Response to "Mendobrak Mental Korup Jurnalis"
Post a Comment