Aneh rasanya, di saat harga pasaran minyak dunia jeblok, Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar dunia malah tidak tertarik untuk berupaya memperbaiki harga pasaran minyak. Harga minyak dunia di pasaran saat ini mencapai 40 dollar AS per barrel, namun nyatanya, sebagai negara dengan produsen minyak yang paling melimpah Arab Saudi santai-santai saja.
Bahkan ketika defisit anggaran benar-benar menimpa negeri monarki ini, Arab Saudi tidak lantas mengambil kebijakan instan, dengan misal menurunkan produksi minyak agar harga minyak di pasaran dunia kembali naik dan dengan demikian bisa membantu menutupi jurang fiskal Arab Saudi yang dalam sejarah baru kali ini mengalami defisit. Menurut data yang ada, anggaran belanja pemerintah Arab Saudi tahun 2016 sebesar 224 miliar dollar AS, sementara anggaran pendapatannya hanya 137 miliar dollar AS. Secara logis, ada selisih anggaran yang cukup besar yang kemudian menjelma sebagai defisit bersejarah Arab Saudi yang mencapai angka 87 miliar dollar AS.
Bahkan ketika defisit anggaran benar-benar menimpa negeri monarki ini, Arab Saudi tidak lantas mengambil kebijakan instan, dengan misal menurunkan produksi minyak agar harga minyak di pasaran dunia kembali naik dan dengan demikian bisa membantu menutupi jurang fiskal Arab Saudi yang dalam sejarah baru kali ini mengalami defisit. Menurut data yang ada, anggaran belanja pemerintah Arab Saudi tahun 2016 sebesar 224 miliar dollar AS, sementara anggaran pendapatannya hanya 137 miliar dollar AS. Secara logis, ada selisih anggaran yang cukup besar yang kemudian menjelma sebagai defisit bersejarah Arab Saudi yang mencapai angka 87 miliar dollar AS.
Menghadapi kenyataan defisit seperti ini, mestinya Pemerintah Arab Saudi tidak perlu pusing mencari solusi, cukup dengan menggunakan cadangan devisa yang dimiliki yang nominalnya begitu besarnya, yaitu sekitar 700 miliar dollar AS atau seperti dijelaskan di atas bisa dengan mengurangi produksi minyak untuk menaikkan kembali harga minyak yang jeblok. Namun Arab Saudi enggan dengan dua opsi tersebut, dalam realiasnya, Arab Saudi cendrung memilih untuk mengambil kebijakan tidak populer. Untuk menutupi defisit fiskal, Arab Saudi berani mencabut subsidi BBM, harga BBM dinaikkan 50-67 persen, dan menerapkan pajak atas berbagai komoditas, serta berupaya menggali devisa dari sektor non migas. Kalau anda kritis tentu anda akan bertanya, apa motif Arab Saudi mengambil kebijakan seperti ini?
Kebijakan ekonomi Arab Saudi yang cukup berani tersebut dimaksudkan untuk menunjang tujuan geopolitik dalam menghadapi kompetisi kawasan yang semakin sengit. Sebagai contoh, Arab Saudi bersikap masa bodoh dengan mengacuhkan seruan Iran dan Rusia yang menghimbau Arab Saudi mengurangi produksi minyak sehingga harga minyak dunia kembali stabil. Keduanya (Iran-Rusia) adalah rival kuat Arab Saudi, di mana dalam kasus Suriah, Rusia-Iran mendukung Presiden Bashar al-Assad, sementara Arab Saudi menentang Assad. Bahasa sederhananya, Arab Saudi merasa lebih baik mempertahankan produksi minyaknya tetap normal dan membiarkan harga minyak dunia berdinamika sesuai mekanisme pasar. Kira-kira apa maksud dari sikap Arab Saudi yang seperti ini?
Secara eksplisit, dapat dipahami bahwa tujuan Arab Saudi mengambil kebijakan sebagaimana di atas agar Rusia dan Iran tidak mengambil keuntungan ekonomi-politik dari kenaikan harga minyak dunia jika Arab Saudi jadi mengurangi produksi minyaknya. Arab Saudi menginginkan, jika harga minyak dunia tetap tidak kunjung naik, Iran yang mengandalkan devisa dari minyak akan mengalami kesulitan membiayai ekspansi pengaruh dan politiknya di negara-negara seperti Irak, Suriah, Lebanon dan Yaman. Begitupun dengan Rusia, diharapakan juga akan menghadapi beban ekonomi untuk membiayai intervensi militer di Suriah. Arab Saudi juga mengharapkan anjloknya harga minyak dunia bisa membantu melunakkan Rusia-Iran dalam perundingan soal Suriah dan Yaman yang menurut rencana akan digelar Januari 2016. Inilah politik minyak Arab Saudi.
0 Response to "Politik Minyak Arab Saudi"
Post a Comment