Jika
ditanya apa dan bagaimana pandangan anda tentang dunia sekarang? Jawabannya
bisa penulis tebak, dunia sekarang semrawut dan antah berantah. Benarkah
demikian?
Cerita
dunia beberapa tahun terakhir penuh warna dan dimensi; mulai
dari politik, ekonomi, sosial, hingga konflik dan keamanan. Di
antara sekian banyak dimensi dunia di atas, konflik keamanan menjadi isu
dominan sekaligus paling seksis untuk terus diikuti perkembangannya. Hingga
akhir tahun 2015 ini, dunia
masih dirundung masalah pelik berkisar pada persoalan konfllik komunal dan
konflik regional. Konflik akut Suriah, Yaman, brutalnya Negara
Islam di Irak dan Suriah (ISIS), instabilitas Mesir, Thailand, konflik Laut
China Selatan, konflik
Laut China Timur yang melibatkan Jepang, Korea Selatan dan China, konflik laten
Semenanjung Korea, dan konflik yang mendera negeri seumur jagung Sudan Selatan
adalah sederet konflik mutakhir dunia yang patut
ditelaah bersama.
Konflik,
baik yang melibatkan aktor negara dan non negara tidak terjadi begitu saja,
sejatinya ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Konflik yang secara
etimologis berarti pertentangan (baik lisan maupun fisik) antara dua pihak atau
lebih sehingga menimbulkan kehancuran dan kerusakan secara akademis
dilatarbelakangi oleh motif-motif turunan seperti: politik, ekonomi, dan identitas/ideologi (Ho Won Jeong, 2008).
Bagaimana dengan konflik dunia yang terjadi belakangan ini? Secara
empiris, konflik dunia yang terjadi akhir-akhir ini tidak lepas dari tiga
faktor di atas.
Menahunnya
konfik nasional Suriah antara kubu pemerintah dan oposisi dalam praktiknya
dipicu oleh alasan politik (real politic),
masing-masing pihak yang bertikai berjuang untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan politik. Kedua
belah pihak tidak ada yang mau mengalah, perang dan kekerasan terjadi di
seantero negeri, rakyat tak berdosa menjadi sasaran dan korban empuk kekejaman
konflik komunal Suriah. Menurut data yang ada, hingga akhir tahun 2015, sebanyak 250.000 jiwa lebih rakyat Suriah tewas, dan 10 juta lebih rakyat Suriah menjadi pengungsi akibat konflik
akut ini (Kompas, 31/10/15). Pecahnya Serangan Arab Saudi bersama Sekutunya ke lokasi-lokasi pemberontak
di Yaman juga semakin menguatkan brutalitas dunia yang penuh dengan
keangkaraan. Konflik Yaman begitu kental nuansa politisnya, di mana ada dua
pihak yang berbeda haluan politik, kedua pihak tersebut adalah kubu Presiden Abd Rabbo
Mansour Hadi yang didukung Arab Saudi dan koalisinya serta
kubu Houthi yang notabene Syiah, oposan pemerintah yang tidak mengakui rezim
Mansour Hadi. Akibat dari konflik ini, warga sipil menjadi korban kebiadaban
perang.dan bangunan infrastruktur hancur. Menurut data yang penulis himpun, jumlah korban
tewas akibat konflik Yaman mencapai 1.849, sementara korban luka
7.394 orang, dan sekitar 1.850
orang dan 500 ribu lainnya mengungsi. (lihat di http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/15/05/19/nolk1c-1850-orang-tewas-sejak-perang-pecah-di-yaman).
Begitupun
yang pernah terjadi di Mesir, instabilitas yang terjadi di
negeri Piramida ini hampir serupa dengan yang terjadi di Suriah dan Yaman. Faktor politis
dan ideologis adalah pemicunya. Bedanya, pemerintah Mesir melalui Dewan
Militer
bisa mengatasi kelompok penekan
pemerintah dan mengambil alih
kekuasaan politik tertinggi Mesir dari Presiden Muhammad Mursi. Sementara di
Thailand, konflik komunal di negeri gajah putih ini dipicu oleh alasan yang
sama dengan sebelumnya. Upaya penggulingan rezim Yingluck Sinawatra oleh
kelompok oposisi dan masyarakat anti pemerintah menjadi katalisator terjadinya
gonjang-ganjing politik internal
Thailand. Para oposan kecewa dengan Yingluck yang dinilai pro terhadap mantan
Perdana Menteri Thailand terguling, Thaksin Sinawatra yang tak lain adalah
kakak kandungnya sendiri. Dalam beberapa demonstrasi politik masif yang melukai
ratusan orang dan menewaskan dua orang, di mana satu orang di antaranya
polisi (Kompas, 28/12/13) para oposan menuntut Yingluck mundur. Rezim Yingluck, PM wanita pertama Thailand tersebut
akhirnya tumbang.
Senada
dengan motif konflik-konflik di atas, konflik komunal Sudan Selatan rupanya
juga dipicu oleh faktor politik. Konflik yang
melibatkan kubu Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan kubu mantan Wakil
Presidennya
Riek Mahar sudah menelan 1.000 nyawa pihak-pihak
yang berkonflik (data
misi PBB di Sudan Selatan). Alasan klise berupa percobaan
kudeta mantan Wapres Riek Machar terhadap Presiden Kiir disinyalir menjadi
detonator meletusnya pertumpahan darah antara Pasukan
Pemerintah
yang didukung suku Dinka dan pasukan oposisi yang didukung suku Neur.
Sangat
kontras dengan konflik yang melanda beberapa negara di atas
yang rata-rata didorong oleh motif politik, konflik yang terjadi di kawasan Laut China Selatan, dan Asia Timur atau tepatnya di Laut
China Timur, memiliki
dinamikanya sendiri. Meskipun tidak sampai mengarah pada terjadinya chaos yang menyebabkan jatuhnya korban
jiwa namun adanya manuver militer dan perang pernyataan (bluffing) antara masing-masing pemangku kebijakan yang
berkepentingan seperti Jepang, Korea Selatan, dan China serta hadirnya pihak ketiga seperti Amerika Serikat terkait status quo pulau Senkaku Diayou, Sparatly, Paracel, dan Zona Identifikasi Pertahanan Udara
(ADIZ) di Laut China Timur sangat menyita perhatian dunia.
Dunia
khawatir sekaligus prihatin atas sensivitas isu laut China Timur dan Laut China Selatan, tidak sedikit yang meminta
pihak-pihak terkait untuk menahan diri, tak terkecuali Indonesia. Hal
ini lazim dan penting dilakukan mengingat begitu strategisnya peran pihak-pihak bersengketa dalam menopang stabilitas
ekonomi politik dunia pada umumnya dan kawasan Asia Pasifik pada khususnya. Faktor
geopolitik yang sarat nilai ekonomis adalah pemicu utama yang sering menyulut
terjadinya ketegangan di kawasan Laut China Timur dan Laut China Selatan. Pun demikian dengan konflik laten duo Korea,
antara Korea Utara-Korea Selatan yang dipicu oleh perbedaan garis ideologi
keduanya. Ketegangan keduanya kerap terjadi bahkan tidak jarang keduanya saling
melontar ancaman akan menyerang.
Fakta
di atas adalah justifikasi sesungguhnya betapa politik, ekonomi, dan ideologi
menjelma sebagai penyebab determinan terjadinya suatu friksi dan konflik
komunal terbuka. Inilah
potret nyata konflik dunia mutakhir, semuanya egois. Kalau
demikian, memang benar adanya adagium yang menyatakan dunia ini penuh dengan
anarkhi alias entitas didalamnya mau menang sendiri. Kepentingan (interest) di atas segalanya, tidak
peduli, apapun akan ditempuh sepanjang mendukung pencapaian kepentingan.
Artikel ini ditulis Desesember 2013 dan disempurnakan November 2015
0 Response to "Dunia Memang Anarkhi"
Post a Comment