Komunitas Association
of South East Asian Nations/Persatuan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN)
2105 tidak lama lagi akan direalisasikan, berbagai persiapan mulai intens
dilakukan stake holder ASEAN.
Membicarakan Komunitas ASEAN 2015 dan strategi-strategi implementasinya tentu tidak
akan lepas dari problematika yang mendera organisasi kawasan ini. Di antara
persoalan krusial yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah ASEAN adalah
keseriusan ASEAN dalam merealisasikan kesepakatan bersama serta keberanian
ASEAN menagih komitmen anggota-anggotanya agar commited dan konsekuen dengan apa yang telah menjadi mufakat
bersama.
Absennya peranan ASEAN dalam mencegah jatuhnya
korban jiwa yang tidak sedikit dalam kasus klaim legalitas Sabah yang
melibatkan Angkatan Bersenjata Malaysia dan kelompok militan dari Kesultanan
Sulu Filipina periode Maret 2013 (Kompas, 16 Maret 2013), disadari atau tidak
telah mencoreng citra positif ASEAN yang mendambakan terwujudnya kawasan Asia
Tenggara yang damai dan stabil.
Dalam kasus ini, ASEAN benar-benar abai dengan komitmen bersama yang menginginkan setiap sengketa yang terjadi harus diselesaikan dengan prinsip persaudaraan (amity), tidak dengan cara-cara kekerasan yang mengakibatkan tumbangnya nyawa masyarakat ASEAN. Praktis, hanya Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Kimoon yang bersuara lantang menyerukan pihak-pihak yang bertikai agar menahan diri, sementara ketua ASEAN 2013 diam seribu bahasa, tidak berani mengambil langkah tegas untuk sekedar memperingatkan apalagi memaksa pihak-pihak yang bersengketa menghentikan ego masing-masing.
Dalam kasus ini, ASEAN benar-benar abai dengan komitmen bersama yang menginginkan setiap sengketa yang terjadi harus diselesaikan dengan prinsip persaudaraan (amity), tidak dengan cara-cara kekerasan yang mengakibatkan tumbangnya nyawa masyarakat ASEAN. Praktis, hanya Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Kimoon yang bersuara lantang menyerukan pihak-pihak yang bertikai agar menahan diri, sementara ketua ASEAN 2013 diam seribu bahasa, tidak berani mengambil langkah tegas untuk sekedar memperingatkan apalagi memaksa pihak-pihak yang bersengketa menghentikan ego masing-masing.
Lebih dari itu, adanya beberapa negara ASEAN yang
menerapkan standar ganda semisal Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam dan
Thailand yang membentuk aliansi militer dengan kekuatan eksternal dimana
Malaysia-Singapura tergabung dalam aliansi militer bersama Inggris, Australia,
dan Selandia Baru (Five Power Defence
Arrangements/FPDA).
Sementara Filipina, Vietnam dan Thailand beraliansi dengan Amerika Serikat adalah bukti yang mengindikasikan betapa rapuhnya ASEAN sebagai suatu organisasi kawasan yang pernah mendeklarasikan prinsip bahwa kawasan Asia tenggara merupakan zona bebas, damai dan netral (ZOPFAN). Selain itu, kurang tanggapnya ASEAN terhadap hak-hak insani kelompok marginal yang ada di kawasan, seperti lambannya ASEAN menangani penindasan terhadap kaum minoritas muslim Rohingya Myanmar oleh warga Buddha yang mengakibatkan 70 orang meninggal, 3.000 bangunan rusak, dan kurang lebih 60.000 orang kehilangan tempat tinggal (Kompas, 16 Maret 2013), dan abainya ASEAN dalam meredam konflik komunal di Thailand Selatan-Pattani, Yala, dan Narathiwat- Maret 2013 lalu di mana konflik sempat memanas, dan menewaskan sedikitnya enam orang semakin menjustifikasi dugaan bahwa komitmen ASEAN dalam melaksanakan apa yang telah menjadi tujuan dan cita-cita bersama benar-benar diragukan. Tidaklah berlebihan kiranya jika kemudian banyak pihak yang skeptis dengan keseriusan ASEAN menyongsong komunitas ASEAN 2015. Mereka dan termasuk penulis masih meragukan komitmen negara anggota ASEAN.
Sementara Filipina, Vietnam dan Thailand beraliansi dengan Amerika Serikat adalah bukti yang mengindikasikan betapa rapuhnya ASEAN sebagai suatu organisasi kawasan yang pernah mendeklarasikan prinsip bahwa kawasan Asia tenggara merupakan zona bebas, damai dan netral (ZOPFAN). Selain itu, kurang tanggapnya ASEAN terhadap hak-hak insani kelompok marginal yang ada di kawasan, seperti lambannya ASEAN menangani penindasan terhadap kaum minoritas muslim Rohingya Myanmar oleh warga Buddha yang mengakibatkan 70 orang meninggal, 3.000 bangunan rusak, dan kurang lebih 60.000 orang kehilangan tempat tinggal (Kompas, 16 Maret 2013), dan abainya ASEAN dalam meredam konflik komunal di Thailand Selatan-Pattani, Yala, dan Narathiwat- Maret 2013 lalu di mana konflik sempat memanas, dan menewaskan sedikitnya enam orang semakin menjustifikasi dugaan bahwa komitmen ASEAN dalam melaksanakan apa yang telah menjadi tujuan dan cita-cita bersama benar-benar diragukan. Tidaklah berlebihan kiranya jika kemudian banyak pihak yang skeptis dengan keseriusan ASEAN menyongsong komunitas ASEAN 2015. Mereka dan termasuk penulis masih meragukan komitmen negara anggota ASEAN.
Di bidang ekonomi, belum meratanya kapabilitas
ekonomi negara anggota ASEAN, di mana dilihat dari indikator pertumbuhan
ekonomi makro seperti Gross Domestic
Product (GDP), tampak hanya segelintir negara saja yang dominan sementara
yang lain tertinggal. Demikian
pula dalam sektor ekonomi mikro, tidak sedikit para pengusaha kecil menengah
yang merasa bingung dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN 2015. Menyadari hal ini, tentu solusi cerdas
harus segera diupayakan menyongsong berlakunya Komunitas ASEAN 2015. Begitupun dalam sektor sosial-budaya,
absennya peranan ASEAN dalam mencegah terjadinya konflik klaim budaya antar
anggota ASEAN yang marak terjadi beberapa tahun terakhir sejatinya bisa menjadi
catatan tersendiri yang harus diperhatikan ASEAN kelak setelah Komunitas ASEAN
benar-benar terwujud.
Sederet persoalan sebagaimana penulis uraikan di
atas dapat terjadi karena minimnya komitmen ASEAN dalam mewujudkan cita-cita
pendirian ASEAN: untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan
perkembangan budaya di kawasan serta untuk mempromosikan perdamaian dan
stabilitas regional melalui penghormatan terhadap keadilan dan supremasi hukum
dalam hubungan antara negara-negara di kawasan. Kecendrungan yang mengemuka:
ASEAN terlihat elitis, terkesan abai akan kepentingan masyarakat kawasan.
Inilah tantangan-tantangan besar yang harus dijawab ASEAN dengan solusi-solusi
bijak seiring berlakunya Komunitas ASEAN 2015.
Menuju
Komunitas ASEAN 2015
Secara konseptual, realisasi Komunitas ASEAN 2015
dengan tiga pilar utamanya, yaitu pilar politik keamanan, pilar ekonomi, dan
pilar sosial budaya adalah terwujudnya kerjasama kawasan yang komprehensif dan dicirikan dengan terbangunnya civil society di kawasan ASEAN. Pada
fase ini, kerangka organisasi dan institusi kawasan memfasilitasi serta
mempromosikan komunikasi sosial serta pertemuan nilai-nilai seluruh negara
anggota dan masyarakat kawasan (Craig A. Snyder, 2008:234). Muaranya kemudian adalah terbentuknya
kawasan ASEAN yang terintegrasi, terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling
peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis.
Secara garis besar, konsepsi ini sangat ideal. Namun, adanya sederet persoalan serius
yang harus dihadapi ASEAN menjelang dan saat berlangsungnya Komunitas ASEAN
2015 dalam praktiknya memerlukan konsep turunan aplikatif yang dapat berfungsi
sebagai petunjuk operasionalisasi semua pilar kerjasama yang diwadahi Komunitas
ASEAN 2015. Sehubungan dengan ini, penulis menggagas
konsep aplikatif Komunitas ASEAN 2015 bertajuk ASEAN Care, sebuah konsep yang
diharapkan bisa menjadi solusi alternatif dalam merealisasikan Komunitas ASEAN
2015. Selain itu, penulis merancang konsep ini
sebagai upaya untuk menjawab kompleksitas persolan yang dihadapi ASEAN.
Secara spesifik, konsep ASEAN Care mencoba
menawarkan resep sederhana bagaimana mengeksekusi masterplan Komunitas ASEAN 2015 beserta blue print pilar-pilar kerjasama yang ada di dalamnya. Konsepsi ini
juga mencoba mengajak entitas ASEAN bangkit dari penyakit lama seperti
rendahnya komitmen negara anggota ASEAN dalam melaksanakan apa yang telah
menjadi keputusan bersama. Sederhananya, ASEAN Care adalah konsepsi yang
bertujuan untuk mengajak seluruh anggota ASEAN sadar dan peduli akan tujuan,
prinsip, serta cita-cita besar ASEAN sebagaimana yang tertuang dalam ASEAN Charter 2007. Bagaimana
wujud konkret konsep ASEAN Care dalam kaitannya dengan realisasi Komunitas
ASEAN 2015? Berikut eksplanasi penulis.
Realisasi
ASEAN Care
Sebagai konsep turunan dari pilot project Komunitas ASEAN 2015, gagasan ASEAN Care pada
prinsipnya cukup sederhana. Pada tataran konsep dan praktis, gagasan ini hanya
menginginkan transformasi riil terwujud di kawasan Asia Tenggara seiring dengan
berlakunya Komunitas ASEAN 2015, yaitu ASEAN yang mau peduli, mendengarkan dan
benar-benar mengorientasikan kepentingan masyarakat kawasan di atas kepentingan
sektoral. Dengan kata lain, inilah momentum emas bagi ASEAN untuk lebih dekat (down to earth), dan mengayomi masyarakat
ASEAN. Kepedulian, kemanusiaan, dan gotong royong adalah varian-varian yang
terkandung dalam konsep ini. Sehubungan dengan tiga pilar utama Komunitas
ASEAN, maka aplikasi konsep ASEAN Care secara lebih rigid penulis sesuaikan
dengan masing-masing pilar kerjasama Komunitas ASEAN, wujudnya sebagai berikut:
ASEAN
Care dalam Pilar Kerjasama Politik-Keamanan
Pilar politik-keamanan memiliki peran yang cukup
vital dalam realisasi Komunitas ASEAN 2015, ia adalah penentu bagi stabilitas
kawasan. Jika pilar kerjasama politik-keamanan ini dapat berjalan sebagaimana
mestinya maka bisa dipastikan pilar kerjasama lainnya bisa mengikuti. Namun demikian, belajar dari pengalaman-pengalaman
sebelumnya, secara empiris dapatlah dikatakan bahwa kondisi politik-keamanan
ASEAN tergolong sukar diprediksi. Merujuk
pada Amitav Acharya (2001:5), Asia Tenggara disebutnya sebagai Region of Revolt and Balkan of the East
alias Kawasan Pergolakan dan Balkan dari Timur.
Preseden konfrontasi militer Indonesia-Malaysia
periode 1963-1966 yang berlanjut pada ketegangan keduanya dalam konflik klaim
Sipadan-Ligitan (1979-2002), Ambalat (2005, 2009), dan klaim batas maritim
di Perairan Tanjung Berakit, Kepulauan Riau (2010), Konflik Kamboja-Thailand
terkait perbatasan (2011), Konflik Laut China Selatan yang melibatkan empat negara
ASEAN, antara lain: Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam, hingga konflik laten
Malaysia dan Kesultanan Sulu Filipina terkait klaim legalitas Sabah yang sempat
pecah pada Maret 2013 adalah fakta konkret yang dapat menjustifikasi asumsi
bahwa memang benar adanya ASEAN merupakan kawasan pergolakan yang memerlukan
perhatian dan penanganan khusus.
Kepedulian ASEAN mutlak diperlukan dalam upaya
mengantisipasi segala kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi di kawasan. Oleh karena itu, ASEAN Care dalam hal
ini bisa direalisasikan dengan pembentukan ASEAN Force for Peace /Pasukan Perdamaian ASEAN. Dengan demikian,
penulis mengharapkan nantinya ASEAN di bawah kerangka organisasi baru bernama
Komunitas ASEAN harus memiliki pasukan perdamaian ASEAN yang memiliki mandat
khusus untuk menjaga, menciptakan dan membangun perdamaian di kawasan. Setiap negara ASEAN dapat mengirim
wakil-wakil terbaiknya untuk didaulat menjadi anggota Pasukan Perdamaian ASEAN. Tujuannya, sebagai langkah antisipatif,
preventif, dan kuratif dari ber-eskalasinya
konflik yang melibatkan entitas-entitas ASEAN yang mengarah pada hilangnya
nyawa masyarakat ASEAN secara sia-sia.
Kasus bentrokan Tentara Malaysia dan gerilyawan
Kesultanan Sulu Filipina yang menelan korban jiwa yang tidak sedikit, pecahnya
konflik komunal di Myanmar dan Thailand Selatan dimana ASEAN tidak bisa berbuat
banyak dalam mencegah terjadinya tragedi tersebut adalah pelajaran berharga
yang tidak boleh dibiarkan terjadi lagi. Selain itu, semakin kompleksnya
masalah keamanan di mana tuntutan keamanan kawasan tidak hanya bertumpu pada
lepasnya kawasan dari ancaman tradisional semisal konflik bersenjata antar
sesama negara kawasan, melainkan juga dari ancaman non tradisional seperti
bencana alam, konflik komunal, terorisme, pencucian uang, penyelundupan
obat-obatan terlarang, trafficking,
maka pasukan perdamaian ASEAN bisa ambil peran dalam mencegah, menanggulangi,
serta meredakan setiap potensi ancaman yang ada.
ASEAN
Care dalam Pilar Kerjasama Ekonomi
Berlakunya komunitas ASEAN 2015 disadari atau tidak
tentu akan membawa dampak pada sektor perekonomian masyarakat kawasan, dampak
yang ditimbulkan bisa positif dan sebaliknya. Secara ekonomi makro, pilar
ekonomi Komunitas ASEAN 2015 tidak diragukan lagi membawa maslahat bagi sektor
fiskal negara-negara ASEAN. Namun demikian, dilihat dari ekonomi mikro, pilar
kerjasama ekonomi Komunitas ASEAN ibarat pisau yang memiliki dua fungsi
(positif-negatif) yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pada satu sisi, integasi
kawasan semakin memudahkan lalu lintas orang, barang, dan jasa, sehingga
idealisme perdagangan bebas antara negara kawasan untuk saling menguntungkan
satu sama lain melalui konsep interdependensinya besar kemungkinan dapat
terealisir dengan efektif dan efisien. Namun pada sisi lain, terbuka lebarnya
kran perdagangan bebas ini tentu akan menjadi mimpi buruk bagi masyarakat
kawasan yang belum tahu, belum paham, dan belum siap dengan realisasi Komunitas
ASEAN 2015.
Mereka akan tergerus oleh derasnya arus pasar bebas
kawasan, tidak sedikit masyarakat menengah ke bawah
yang khawatir dan bingung dengan komunitas ASEAN 2015, sebagaimana kekhawatiran
pengusaha asal Indonesia bernama Kertonadi. Ia berpandangan bahwa sebagai
pengusaha kecil, ia merasa kecewa belum mendapatkan informasi tentang akan
berlakunya tatanan baru masyarakat ekonomi ASEAN, ia mengaku belum memahami
situasi ekonomi kawasan pada saat Komunitas ASEAN 2015 benar-benar terwujud,
ia juga bingung bagaimana mengatasi
permasalahan semakin ketatnya persaingan bisnis antar pengusaha ASEAN (Kompas,
6 Juli 2013). Penulis meyakini curahan hati Kertonadi di atas merupakan
representasi dari kegundahan hati pengusaha-pengusaha kecil lainnya yang
kebetulan belum terpublikasi luas oleh media.
Sebagai tindak lanjut dari keluh kesah masyarakat
pelaku usaha kalangan menengah kebawah, maka konsep ASEAN Care sejatinya dapat
diimplementasikan dengan pembentukan ASEAN Empowerment Committee/Komite Pemberdayaan ASEAN, suatu komite
khusus ASEAN yang memiliki tugas pokok dan fungsi seperti: menjaring semua
aspirasi masyarakat pelaku usaha ASEAN tanpa terkeculi, baik mereka yang
tergolong sebagai golongan menengah ke atas
lebih-lebih mereka yang tergolong sebagai golongan menengah ke bawah. Suara-suara mereka harus didengarkan,
ditampung, diperhatikan, dan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret
semisal: memberikan bekal pengetahuan, pemahaman, pelatihan bagaimana cara
bernegosiasi bisnis dan bagaimana cara meningkatkan daya saing bisnis yang baik
di tengah semakin terintegrasinya masyarakat kawasan Asia Tenggara.
Selain itu, pendirian ASEAN Bank rasanya perlu
juga dilakukan guna memberikan akses sumber daya finansial kepada para pelaku
usaha mikro ASEAN. Sehingga dengan
demikian, harapan terciptanya iklim usaha dan
pemberdayaan usaha mikro di kawasan bisa terwujud secara merata.
ASEAN
Care dalam Kerjasama Sosial-Budaya ASEAN
Komunitas ASEAN 2015 mendatang menandai era baru
masyarakat ASEAN yang saling menyatu, dan peduli. Menyadari
hal tersebut, pilar kerjasama sosial-budaya diharapkan dapat menjadi jawaban
atas permasalahan sosial-budaya yang kerap terjadi di kawasan ASEAN. Konflik klaim budaya yang terkadang
menjadi pemicu panas dinginnya hubungan bilateral anggota ASEAN, di bawah
kerangka kerjasama sosial-budaya Komunitas ASEAN 2015 penulis berharap
hal serupa tidak berulang lagi. Sehubungan
dengan ini, konsep ASEAN Care hadir sebagai solusi penyederhana atas
permasalahan yang ada.
Wujudnya bisa berupa pendirian ASEAN Culture Institute/Lembaga
Kebudayaan ASEAN, suatu Lembaga Kebudayaan ASEAN yang berfungsi untuk
menginventarisir warisan budaya nasional masing-masing negara anggota. Dengan demikian, setiap produk budaya
negara ASEAN dapat didata dan diidentifikasi dengan pasti dan memiliki
legalitas budaya yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga
tidak ada celah bagi suatu masyarakat atau pemerintah negara ASEAN untuk
mengklaim produk budaya yang bukan milik mereka.
Selain itu, massifnya arus globalisasi tentu membuat
transmisi informasi semakin mudah. Maka dari itu, lengkap rasanya kalau
mayarakat sosial budaya ASEAN 2015 mendatang memiliki media audio visual
bersama bernama ASEAN Channel, media ini dalam imajinasi
penulis dapat berfungsi sebagai media kebanggaan masyarakat ASEAN. ASEAN
Channel merupakan media informasi, komunikasi dan transmisi nilai-nilai sosial
budaya negara ASEAN. Bahkan melalui
media ini, setiap warga ASEAN diharapkan dapat berpartisipasi menjadi Citizen Journalist yang hasil liputannya
kita harapkan bisa mencerdaskan segenap masyarakat kawasan. Semoga!
0 Response to "Menyongsong Masyarakat ASEAN "
Post a Comment