Beberapa minggu lagi kita akan meninggalkan tahun
2015 untuk kemudian menyambut tahun baru 2016.
Bagi masyarakat negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(ASEAN), 2015 merupakan momentum luar biasa, tahun ini akan menjadi tonggak
penting berlakunya era baru ASEAN. Masyarakat ASEAN akan menghadapi tatanan
baru yang jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun ini konsensus
tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan perdagangan bebas ASEAN akan mulai
berjalan.
Sebagai salah satu angggota ASEAN yang turut menginisiasi pilot project MEA, Indonesia sejatinya menjadi patron positif bagi negara-negara ASEAN lainnya. Indonesia harus menjadi teladan yang mencerahkan, idealnya MEA tidak lain hanya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ASEAN yang lebih maju dan sejahtera. Namun begitu, siapkah kita menghadapi MEA?
Sebagai salah satu angggota ASEAN yang turut menginisiasi pilot project MEA, Indonesia sejatinya menjadi patron positif bagi negara-negara ASEAN lainnya. Indonesia harus menjadi teladan yang mencerahkan, idealnya MEA tidak lain hanya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat ASEAN yang lebih maju dan sejahtera. Namun begitu, siapkah kita menghadapi MEA?
Secara konsep, MEA adalah perwujudan cita-cita akan
terciptanya integrasi ekonomi ASEAN dengan pasar tunggal ASEAN sebagai ujung
tombaknya. MEA menandai bebasnya lalu lintas barang, jasa, investasi, modal,
dan tenaga kerja antar sesama anggota ASEAN. Sebagai negara terbesar ASEAN baik
secara geografi maupun demografi, dimana 40 persen persen penduduk ASEAN adalah
warga Indonesia, MEA tentu akan menjadi peluang besar sekaligus tantangan yang
sangat serius bagi Indonesia. MEA menjadi peluang potensial bagi masyarakat
Indonesia yang siap berkompetisi di tengah derasnya arus perdagangan bebas
kawasan yang sangat kompetitif. Namun MEA juga akan menjadi bencana besar bagi
masyarakat kita yang belum sepenuhnya siap menghadapi era persaingan kawasan
yang sangat bebas.
Apapun itu, kita harus bersiap diri menyambut MEA. Dan dalam pada itu, pemerintah
berkewajiban menyiapkan segala sesuatunya baik di hulu maupun di hilir,
pemerintah memiliki tanggungjawab moral membantu masyarakat menghadapi ketatnya
persaingan era MEA. Menurut jadwal, per 31 Desember
2015 MEA akan resmi beroperasi. Menyisakan bulan-bulan krusial ini, baik
pemerintah selaku pemangku kepentingan utama (prime stake holder) dan
masyarakat sebagai target sasaran MEA harus memaksimalkan sisa waktu dengan membenahi
kekurangan dan kelemahan yang ada. Persiapan matang adalah keniscayaan.
Secara fakta, ibu kota ASEAN berlokasi di Jakarta,
aktivitas masyarakat ASEAN dengan pilar-pilar turunannya tentu akan sering
berlalu lalang di negara kita. Negeri ini tentu saja akan dibanjiri oleh
orang-orang asing yang akan singgah baik sebagai praktisi ASEAN (pemerintah),
swasta maupun masyarakat pekerja professional, pelaku bisnis dan sebagainya.
Menghadapi semua kemungkinan tersebut, penguasaan bahasa asing utamanya bahasa Inggris
sebagai bahasa yang umum digunakan dalam pergaulan internasional adalah hal
mendasar yang harus dimiliki setiap individu masyarakat.
Bagaimanapun juga, zaman yang semakin mengglobal,
kawasan yang semakin terbuka adalah realitas yang tidak bisa ditolak, kita
harus menerimanya. Menyadari hal
tersebut, setiap individu harus memiliki keterampilan bahasa asing sebaik
mungkin dalam menghadapi era keterbukaan ini. Pemerintah baik pusat mupun
daerah seyogianya peka melihat persoalan
ini, mendirikan pusat-pusat keterampilan bahasa asing secara cuma-cuma utamanya
di daerah-daerah yang potensial menjadi obyek MEA dalam hemat penulis bisa
menjadi stimulus solutif guna merangsang masyarakat bersiap diri menyambut MEA.
Semakin matang persiapan masyarakat, semakin baik pula langkah kita menghadapi
MEA. Kita tidak saja menjadi penonton, tapi
lebih dari itu kita bisa menjadi pemain yang aktif memanfaatkan peluang MEA.
Selain keterampilan bahasa asing, pembekalan modal
usaha, peningkatan kapasitas pengetahuan baik konsep maupun teknis adalah hal
yang sejatinya juga dilakukan pemerintah. Hal
ini penting guna menyokong kelancaran usaha, minat,
dan bakat masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Penulis
sangat mengapresiasi langkah maju Pemkot Surabaya yang sudah bersiap diri
menghadapi MEA dengan mendirikan balai pelatihan keterampilan bahasa asing
secara gratis. Suatu poin permulaan yang patut dicontoh
oleh Pemerintah Daerah
lainnya.
Lebih dari itu, sebagai sentra kegiatan ASEAN yang
kebetulan memiliki posisi geografis yang sangat besar, strategis dengan begitu
banyak potensi sumber daya yang terkandung di dalamnya, konektivitas merupakan
hal urgen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi Indonesia. Mantan Menko
Perekonomian Hatta Rajasa awal tahun 2014, pernah mengatakan bahwa persiapan
Indonesia menghadapi MEA sudah 80 persen, ini artinya sisa 20 persennya bisa
dikejar dan dibenahi.
Masalah konektivitas adalah hal menarik untuk terus
ditunggu perwujudan riilnya, tahun 2011 lalu Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia pernah merilis buku bertajuk“ASEAN Connectivity in Indonesia Context: Peliminary Study on Geopolitics
of Hydropower and Maritime Transport.” Sebuah buku yang
berisi laporan riset lapangan yang menyoroti perbedaan geografis negara-negara
ASEAN di bagian barat dan bagian timur. Disimpulkan
bahwa negara-negara di bagian barat ASEAN (Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos,
Myanmar) letak geografisnya cendrung continental
sementara negara-negara di bagian timur ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina,
Brunei,) cendrung archipelagic
(kepulauan) yang sangat sukar dijangkau.
Buku ini merekomendasikan pembangunan konektivitas
maritim sebagai upaya cerdas membangun kesejahteraan masyarakat ASEAN. Dalam konteks negeri kepulauan sebesar
Indonesia, realisasi pembangunan konektivitas maritim mutlak harus segera
direalisasikan. Dan momentum Pilpres 2014 yang menghasilkan Presiden-Wapres
terpilih: Joko Widodo-Jusuf Kalla rupanya jodoh dengan gagasan pembangunan
konektivitas maritim sebagaimana yang dimaksud dalam buku di atas. Jokowi-JK
dalam kampanye politiknya beberapa waktu lalu bertekad, bahwa jika terpilih
akan membangun “Tol Laut” guna
menyokong pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Gagasan pembangunan
tol laut tidaklah berlebihan, mengingat letak geografis Indonesia yang 75
persen wilayahnya merupakan lautan dan terdiri dari belasan ribu pulau.
Tentu kemudahan akses dan adanya konektivitas maritim akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat pelaku usaha. Adanya tol laut sebagai transportasi maritim secara keekonomian sungguh sangat terjangkau sehingga memudahkan mereka melakukan aktivitas usaha, mendorong mereka memasarkan hasil produktivitas mereka memasuki pasar-pasar ASEAN. Dengan demikian, pembangunan konektivitas yang beriringan dengan berlakunya MEA bisa berdampak positif bagi terciptanya masyarakat Indonesia yang produktif dan siap bertarung dalam era perdagangan bebas kawasan ASEAN.
Tentu kemudahan akses dan adanya konektivitas maritim akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat pelaku usaha. Adanya tol laut sebagai transportasi maritim secara keekonomian sungguh sangat terjangkau sehingga memudahkan mereka melakukan aktivitas usaha, mendorong mereka memasarkan hasil produktivitas mereka memasuki pasar-pasar ASEAN. Dengan demikian, pembangunan konektivitas yang beriringan dengan berlakunya MEA bisa berdampak positif bagi terciptanya masyarakat Indonesia yang produktif dan siap bertarung dalam era perdagangan bebas kawasan ASEAN.
0 Response to "Menyambut MEA "
Post a Comment